Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

"Terus bagaimana, Mbak?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Mbak Wati yang terus tertuju ke selangkanganku, mungkin dia mengira ngira seberapa besar kontolku.

"Salah satu diantara kita akan berhasil dan yang berhasil harus membantu pasangannya agar mereka bisa sama sama kaya kalau tidak, yang berhasil akan jatuh bangkrut. Kamu mau ya, menemni Mbak ke Gunung Kemukus ? Di sana kita bisa ngentot sepuasnya. ' ajak Mbak Wati sambil membusungkan dadanya yang montok, seolah ingin menunjukkan keseriusannya mengajakku melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Iiii, iya, saaaya pikkkir, dulu." kataku, berusaha menenangkan diri, menerima tawaran yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Tawaran nikmat yang tidak mungkin bisa kutolak. Tapi lidahku berkata lain, terlalu sulit untuk bisa mengatakan : iya, aku mau.

"Mbak serius, Jang. Kamu tidak akan rugi, bisa ngentotin Mbak sepuasnya..!" kata Mbak Wati merangkak menghampiriku yang duduk gelisah. Mbak Wati duduk di hadapanku, dengkulnya menempel pada dengkulku membuatku semakin gugup melihat keberaniannya.

"Mbak..!" aku terpaku saat Mbak Wati meraih tanganku dan meletakkannya di atas pahanya yang tidak tertutup daster yang menyingkap hingga pangkal pahanya. Kulitnya halus dan hangat. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dalam situasi seperti ini.

"Ja jangan Mbak, nanti Mas Gatot..!" ucapanku terhenti saat Mbak Wati tiba tiba mencium bibirku dengan bernafsu membuatku terdorong ke tembok, sekujur tubuhku menjadi kaku, inilah pertama kali dalam hidupku seorang wanita menciumku terlebih yang melakukannya seorang wanita cantik.

"Maukah kamu nemenin Mbak melakukan ritual sex di Gunung Kemukus? Mas Gatot setuju kalau aku ritual dengan kamu, walaupun Mbak harus hamil karena ritual, anaknya pasti seganteng kamu." kata Mbak Wati meraih tanganku ke arah selangkangannya dan aku semakin gugup saat tanganku menyentuh memeknya yang lembab, keringat langsung mengucur deras membasahi tubuhku. Ini memek pertama yang aku sentuh.

"Iya Mbak, saya mau..! Saya pulang dulu..?" jawabku dan tanpa menunggu jawaban Mbak Wati, aku bangun hingga menyenggol gelas kopi hingga tumpah membashi lantai. Tanpa menoleh, aku meninggalkan Mbak Wati sebelum ada orang yang melihatnya. Aku benar benar ketakutan dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat kecuali pergi meninggalkannya sebelum aku diperkosa Mbak Wati.

Sepanjang perjalanan pulang, aku memaki kebodohanku yang sudah melepas kesempatan yang ada di depan mata. Harusnya aku memanfaatkan kesempatan yang belum tentu kudapatkan di lain waktu, tapi bukankah Mbak Wati mengajakku ke Gunung Kemukus, berarti kesempatan itu akan segera datang kembali.

Ya, aku hanya perlu bersabar.

********************†

Sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, aku menjadi gelisah untuk segera ke Gunung Kemukus melakukan ritual sex dengannya, ritual yang belum sempat aku lakukan di kontrakan padahal kesempatan itu sudah tersaji di di depan mata, hanya karena kebodohanku, kesempatan itu raib begitu saja, bahkan aku belum sempat membicarakan kapan kami akan berangkat ke Gunung Kemukus. Bodoh, aku benar benar bodoh. Di saat banyak pria menggunakan berbagai macam cara untuk dapat menikmati tubuh indahnya, aku malah melepas kesempatan itu begitu saja.

Bahkan aku tidak berani bertatapan mata dengan Mbak Wati saat kami bertemu, lidahku kelu dan mulutku terbungkam, hanya sekedar sekedar membalas senyumnya. Dan kesempatan itu kembali berlalu sia sia, aku hanya bisa memaki kebodohanku yang belum berakhir. Harusnya aku bertanya, kapan akan berangkat ke Gunung Kemukus.

Sudah tiga hari sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, semangatku berjualan agak mengendur, masih terbayang kesempatan yang terbuang sia sia. Aku mendorong gerobak mie ayam menyusuri gang yang kiri kanannya tembok perumahan, dari kejauhan aku melihat Mbak berjalan ke arahku. Sepertinya dia sudah mau pulang, jamunya pasti sudah habis.

Hatiku berdesir melihatnya, lututku gemetar dan degup jantungku semakin kencang. Aku harus berani bertanya, kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, harus berani. Perlahan aku menarik nafas mengumpulkan semangat. Langkahku terhenti hanya untuk mengumpulkan keberanian yang berada jauh di dasar hatiku.

"Kamu kenapa, Jang? Sakit gigi?" tanya Mbak Wati melihatku berdiri diam sambil mengatur nafas. Huf, dia sudah berada di sampingku padahal keberanian yang sedang kukumpulkan masih belum terkumpul.

"Tidak, kenapa napa Mbak." jawabku singkat. Aku mulai berani menatap wajahnya yang cantik menggemaskan. Hatiku berkecamuk untuk menanyakan kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, tapi keberanianku hilang begitu saja begitu melihat senyumnya yang menawan.

"Kita jadi, ke Gunung Kemukus?" tanya Mbak Wati

"Yaaa...!" jawabku bersorak kegirangan. Inilah yang ingin aku dengar dari bibir mungilnya, kepastian berangkat ke Gunung Kemukus. Inilah yang membuatku sulit tidur sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati. Akhirnya kesabaranku menampakkan hasilnya.

"Kok kamu malah bersorak begitu, Jang? Jadi nggak?" tanya Mbak Wati tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak kecil.

"Ja jadi, Mbak. Aku lagi ngumpulin uang buat ongkos." jawabku antusias. Aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, agar aku bisa menikmati tubuhnya tanpa takut digerebek masyarakat dan diarak keliling kampung dan Mas Gatot sepertinya sangat mendukung kepergian kami ke Gunung Kemukus. Aku tidak perduli dengan Ritual Pesugihan, belum tentu juga aku benar benar kaya karena ritual di Gunung Kemukus, aku hanya ingin menikmati tubuh indah Mbak Wati agar aku sempurna sebagai pria dewasa.

"Masalah ongkos jangan kamu pikirkan, aku sudah mempersiapkan semua biaya kita selama ritual. Aku yang mengajakmu, verarti aku juga yang harus menanggung semua biaya." jawab Mbak Wati tersenyum nakal. Payudaranya yang besar tercetak jelas di balik kebayanya yang terlilit kain untuk menggendong keranjang jamu, pemandangan yang membuatku menelan ludah.

"Tapi, Mbak..! Menurut Abah/kakekku, ketika kita mempunyai sebuah hajat, maka kita harus berani mengorbankan waktu tenaga dan uang agar hajat kita terlaksana. ( Meuntas kudu make cukang.) entah apa maksud dari kalimat itu, aku tidak begitu paham. " kataku keberatan, aku lelaki tidak mungkin membebankan semuanya ke Mbak Wati.

"Gak ada tapi tapian, hari Senin kita berangkat, pulang hari Jumat Pon. Memangnya kamu nggak mau ngentot?" kata Mbak Wati meninggalkanku yang melepas kepergiannya dengan mata melotot melihat pantatnya yang besar, bergerak gemulai. Kata temanku, cewek yang mempunyai pantat seperti Mbak Wati sangat enak dientot lewat belakang.

Aku mendorong gerobak Mie Ayam setelah sosok Mbak Wati hilang di tikungan. Pikiranku terus tertuju padanya aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus. Hari Senin, berarti tinggal tiga hari lagi, aku harus bersabar walau waktu yang tiga hari akan terasa lama, lebih lama dari pada biasanya.

"Jang, Mie Ayam..!" suara merdu yang kuhafal memanggil membuyarkan lamunanku tentang Mbak Wati, hampir saja aku melewati rumah langganan setiaku yang setiap hari membeli mie ayam, aku menoleh ke arahnya. Lilis wanita yang menjadi buah bibir di kampung ini karena kecantikan dan keanggunannya, sayang dia sudah punya suami. Pak Budi orang terkaya di kampung ini. Pria paling beruntung yang aku kenal, dia memiliki semuanya, harta dan istri yang cantik jelita.

"Iya, Teh..!" jawabku berhenti tepat di depan pintu pagar rumahnya, tanpa dipanggil pun aku biasanya berhenti dan menunggunya keluar membeli mie ayam dan tadi hampir saja aku melewatinya. Aku tersenyum memandang Lilis yang berjalan dengan gemulai menghampiriku.

"Kirain gak jualan, Jang..!" kata Lilis membuka pintu pagar rumahnya yang besar dan pekarangannya yang luas bisa menampung beberapa buah mobil sekaligus

"Jualan donk, kalau nggak jualan nggak bisa makan..!" kataku tersenyum membalas senyumnya yang sangat menawan. Jilbab yang dikenakan menambah kecantikan wajahnya.

"Bisa saja kamu, Jang." kata Lilis tertawa kecil. Tanpa diminta aku segera membuat satu mangkok Mie Ayam untuknya. Sesekali aku melirik ke arahnya yang berdiri di sampingku. Andai aku punya istri secantik dia atau dia belum punya suami aku akan memeletnya dengan ilmu pelet warisan Abah. Bahkan kalaupun ilmu pelet warisan dari Abah tidak mempan, aku akan mencari dukun pelet paling hebat yang berada di Pelabuhan Ratu, Sukabumi yang paling terkenal.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel