Bab 8. +++
Sesampainya Eva di rumah, Eva mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu.
"Huuufff" Eva menghembuskan napas berat.
Rasa sepi mendatanginya, Eva hanya bisa melirik kiri dan kanan. Tak ada siapa pun di rumah besar ini.
Eva hanya bisa menggigit bibir bawahnya. "Aku mau di temani, apa mungkin aku harus cari pembantu gitu? Tapi aku suka mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga ini, aaaaa ...!!!" Tiba tiba Eva mendapat ide yang bagus.
"Betul ya? Kenapa selama ini aku gak kepikiran? Oh astaga ... Ebin pasti gak akan larang kalau yang ini" Soraknya.
Eva hendak menghubungi Ebin, tapi kembali di ingatnya, Suaminya itu sekarang sedang dalam penerbangan.
Eva kembali menghela napas jengah, tiba tiba kembali teringat kenyataan kalau kini suaminya sedang ke kantor cabang bersama seorang perempuan.
Meski itu adalah rekan kerja atau bawahan, tapi tetap saja Eva merasa risau mengetahui fakta itu. Namanya juga istri. Dan istri mana juga yang tak kepikiran jika suaminya sedang bersama perempuan lain, karena di antara laki laki dan perempuan mungkin saja akan datang setan yang akan menggodai keduanya.
Eva tak ingin terjebak dalam prasangka yang tidak tidak. Di hempaskannya semua pikiran tak berakar itu secepatnya dan memilih untuk mengerjakan apa saja yang patut di kerjakannya hari ini.
Eva mulai dari dapurnya yang selalu rapi. Tapi sayang di sana sudah rapi dan tak ada yang dapat di kerjakan Eva.
"Kamar?" Eva berbalik arah ke kamarnya.
Di kamarnya sedikit ada kegiatan seperti menyetrika dan melipat pakaian. Eva sangat senang melakukan pekerjaan pekerjaan ini. Ia merasa lega dan tenang ketika mengerjakannya.
Sementara itu di pesawat yang di tumpangi Dinda dan Ebin, Ebin dan Dinda sejak tadi tidak tenang karena sejak masuk pesawat Ebin sudah gundah.
Kabin yang di pesan Stuart adalah kabin untuk kelas ekonomi, yang di inginkan Ebin adalah kelas bisnis.
Beberapa menit yang lalu Ebin meminta pada seorang pramugari untuk memindahkan mereka ke kabin kelas bisnis.
Maksud terselubung Ebin adalah, di kelas bisnis Ebin dan Dinda leluasa saling bercengkrama. Sementara jika di kelas ekonomi, Ebin merasa kurang nyaman.
"Sabar ya" Janji Ebin pada Dinda.
"Iya gak apa apa kok" Dinda dengan sabar mengelus elus lengan Ebin.
Ebin sudah melirik lirik baju yang di kenakan Dinda. Kemeja putih bersih tapi sangat ketat di tubuhnya. Bagaimana Ebin bisa tenang jika hanya menatapnya saja.
"Permisi Tuan, kelas yang anda minta sudah di siapkan. Mari ikuti saya" ucap ramah pramugari itu.
"Terima kasih" Ebin merasa tertolong.
Meski sebenarnya ia harus mengeluarkan uang yang lebih besar lagi tapi itu tak masalah karena ia mendapatkan akan kenikmatan yang sama besarnya.
Ebin dan Dinda tiba di kelas yang di inginkan. Ebin membisikkan sesuatu kepada Dinda.
Dinda mengangguk setuju dan berlalu ke toilet pesawat. Beberapa menit kemudian Dinda kembali.
"Sudah?" Ebin menatap Dinda dari atas sampai bawah.
"Udah" Dinda duduk di samping Ebin.
"Baguslah. Bisa bisanya Stuart belikan tiket kelas ekonomi."
"Ya 'kan kalau kelas bisnis berarti dia tahu maksud kamu sayang" Dinda mulai menggodai Ebin.
"Eh iya juga, dia gak tahu apa apa. Okelah" Ebin memeluk tubuh mempesona ini.
Lekuk tubuh dan kenyalnya tubuh ini begitu memanjakan tangan Ebin.
"Udah di buka 'kan? Kok masih kencang?" Tanya Ebin.
"Udahlah, sesuai permintaan Sayang, ini tuh emang kencang tanpa penyangganya tetap kencang kok" Dinda bergelayut manja.
"Siapkah?" tanya Ebin.
Dinda mengangguk antusias dan merapikan rambutnya agar semuanya kebelakang punggungnya.
Ebin sudah tak sabarnya mencicipi tubuh itu.
***
Stuart yang sedang berada di kantor tengah sibuk sibuknya.
Mulai dari menugaskan, melakukan tugasnya dan melakukan tugas sekretaris yang tengah cuti melahirkan itu.
Beberapa kali Stuart menggerutu sangkin sibuknya hari ini. Setelah 2 jam pekerjaannya di laksanakan, tiba tiba saja ia mendapatkan pesan dari bank.
"Transaksi? Ebin? Kok transaksi di pesawat? Mau beli apa?" Cicit Stuart.
"Haruskah di pesawat?" Gumamnya terus.
Stuart memutar matanya ke kiri dan kanan, ada rasa yang janggal dengan transaksi tak terduga ini. Tak seperti biasanya Ebin melakukan transaksi. Bahkan ini di pesawat pula.
Stuart mengira Ebin membutuhkan sesuatu. Stuart berinisiatif mengirimkannya pesan singkat.
Pesan itu sudah terkirim, beberapa menit tak di balas masih bisa di mengerti. Tapi ini hampir setengah jam pesan itu tak di balas Ebin.
Sementara itu Ebin dan Dinda sudah keluar dari pesawat dan tiba di kota B di mana kantor cabangnya berada.
Ebin hanya mengenakan kemeja yang rapi satu koper di tentengnya, sedangkan Dinda dengan rapi menutupi bajunya dengan switer berwarna hitam.
Pipi Dinda merona dan tak henti hentinya terus menggigit bibir bawahnya. Sentuhan yang di berikan Ebin tadi begitu membekas. Belum lagi kemeja putih yang belum kering akibat aksi Ebin di dalam pesawat tadi.
"Sembunyikan mainan terbaikku di dalam switermu. Kalau sedikit aja terbuka, bisa bisa keliatan tuh" goda Ebin.
"Ssttt ... Aku masih menikmati basahnya." Dinda menjinjing tasnya elegan.
"Kamu bisa aja" Ebin merangkul Dinda bersamanya.
"Eh kita kemana dulu nih?"
"Aku barusan pesan taksi online, nanti kita nginapnya di hotel. Meski sebenarnya Angga minta aku nginap aja di rumahnya, tapi aku rasa lebih asik kalau aku nginap sama kamu di hotel"
"Aaaaaaaa! Aku mengerti" Dinda memeluk erat tubuh Ebin.
"Ya'kan, lebih asik."
***
Sesampainya di kamar hotel, Dinda di manjakan dengan pemandangan yang indah. Ebin sengaja memilih hotel yang memiliki nuansa romantis.
"Aku sedikit berkeringat karena di pesawat tadi. Aku mandi dulu yaa ..." Pamit Ebin.
"Oke" Dinda masih fokus ke pemandangan dari jendelanya itu.
Setelah puas memandang ke luar jendela, Dinda mulai berbenah. Dinda membuka switer yang di kenakannya, terlihatlah kemeja putih polos yang tipis.
Tepat di dua titik bagian dadanya yang kiri dan kanan, kain itu tampak tembus pandang karena basah. Mungkin itu yang berusaha di tutupinya menggunkan switer hitam tadi.
Di telitinya kedua bekas basah bahas itu, yang tak lain adalah hasil perbuatan Ebin yang tak tertahankan. Di dalam pesawat tidak mungkin Dinda membuka lebar lebar bajunya. Tentu harus di lakukan dengan rapih. Ebin meminta Dinda membuka penyangga kedua gunung kembar dan dari balik kemeja putih polos itu Ebin meresapnya. Karena kemeja itu tipis, sangat mudah Ebin merasakan bulatan bulatan kecil di puncak gunung meski hanya dari balik kemeja. Dinda juga sama terpaksa menahan nahan suaranya agar tak terlalu berisik di dalam penerbangan ini. Padahal dirinya sangat ingin mendesah dan meleguh.
Tentu aksi itu meninggalkan bekas basah dan karena berwarna putih, kemeja itu jadi tembus pandang dan dapat dengan mudah memperlihatkan bulatan hitam di dalam sana.
Ebin keluar dari kemar mandi dengan tubuh yang lebih segar. Di tatapnya nakal Dinda yang tengah bercermin.
"Kamu lagi godain aku ya?" Ebin mendekati Dinda dan memeluknya.
"Tahu aja. Aku lagi nungguin laki laki tampanku ini" Dinda mengelus dagu Ebin.
"Ck ... Kamu tu lho bener bener luar biasa" Tatapan Ebin kini kembali pada dada Dinda.
"Heem ...? Apanya yang luar biasanya?" Dinda pura pura tak mengerti tatapan itu.
"Kamu terus menggoda?" Ebin siap memangsa perempuan di depannya ini.
Tangan Ebin mulai meremas, mulai menggenggam kedua gundukkan itu dengan kedua tangannya.
"Aaahhhh" Dinda rela saja.
Ebin mulai berkelana ke surya duniawi, kelembutan dan kenikmatan di hadapannya bukan pertanyaan lagi.
Tapi tiba tiba bunyi dering ponsel Ebin mengehentikan aksinya.
"Aissshh siapa?" Kesal Ebin.
"Angkat dulu, mungkin dari istrimu, kalau dari istrimu, mending diangkat dulu, biar dia gak pikir macam macam, oke" Saran Dinda.
"Iyalah kalau gitu" Ebin mengalah dan menghentikan dulu aksinya.
"Halo?" Ebin menurunkan suaranya agar lebih lembut, karena benar saja itu adalah Eva.
"Sayang, sudah sampai?" Tanya Eva perlahan.
"Udah, aku baru aja selesai mandi. Maaf lupa kabar tadi. Rasanya keluar dari pesawat entah kenapa gerah" Ebin menoleh ke arah Dinda yang menggerahkannya tadi.
Dinda tersenyum puas. Ia kemudian memberi kode dengan handuk jika ia ingin mandi juga.
Ebin menganggukkan kepalanya sambil mendengarkan ucapan Eva di sebrang telpon.
"Jadi gini, aku rasa, agak sepi di rumah Yang gak ada kamu, jadi aku pengen minta izin untuk pelihara kucing. Aku 'kan suka banget kucing. Boleh?" Tanya Eva lagi.
"Oohh pelihara kucing. Boleh kok boleh. Tapi satu aja ya, jangan kucing yang ganas bisa gigit gigit. Takut aku. Cari yang cute aja" Saran Ebin.
"Oh oke deh ... Abis ini Sayang mau ngapain?"
"Aku?" Ebin tercekat seperti tengah di introgasi.
"Aku mau istirahat Sayang, aku mau makan siang nih, tadi aku gak nafsu makan di dalam pesawat" Jelas Ebin.
"Oh baguslah. Ya udah Sayang lanjut aja ya, aku mau istirahat juga. Abis makan istirahat yaaa"
"Siap istriku" diiringi senyum Ebin menjawab imbuhan Eva.
"Oke, aku tutup dulu yaa"
"Yookk"
Panggilan pun selesai, Ebin tersenyum puas. "Iya, aku abis ini makan, makan yang nikmat, Sayang"
***
"Kita makan di sini?" Dinda menatap restoran yang di datangi mereka.
"Iya, apa kamu suka?"
"Suka banget, aku dulu kepengen banget cobain masakan masakan Jepang di restoran ini. Tapi baru sekarang kesampaian." Dinda memeluk Ebin senang.
"Iya, harus sama orang spesial donk artinya" Goda Ebin.
"Iya, Kamu memang orang yang paling spesial sayang" tanpa malu Dinda mengecup pipi Ebin di depan orang orang di restoran itu.
Tapi tak ada satu pun yang mengetahui kedua pasangan ini, dan langsung saja mengira keduanya adalah sepasang kekasih atau bahkan sepasang pasutri.
"Pilihlah" Ebin menyerahkan semuanya menu untuk Dinda pilih.
***
Eva di rumahnya juga merasa senang satu dari harapannya terkabulkan. Besok rencananya Eva akan mencari kucing untuk di peliharanya.
Eva mulai mencari alamat alamat toko peliharan atau pet shop yang dapat di kunjunginya esok hari.
Tiba tiba Eva teringat, ia harus ke kantor Ebin besok setidaknya menyapa.
"Eh, kira kira berapa ya harga kucing Anggora? Atau Persia?" Eva bertanya tanya.
"Apa aku boleh pake uang lebih dari biasanya?" Eva sedikit ragu.
"Aku hubungi lagi deh Ebin" Cicitnya.
"Eemm gak ... pesan singkat aja, pasti lagi makan nih" Inisiatif Eva.
Eva mengirimkan pesan singkat keinginannya menggunakan uang lebih, Eva berharap Ebin mau menurutinya.
Malam pun tiba bersama Eva yang seorang diri di rumahnya. Eva hanya bisa menatap bintang bintang yang tengah berkedip kedip padanya.
Angin malam menerpa Eva, tiba tiba timbul perasaan aneh di hati Eva. Hatinya resah, apalagi ketika mengingat ucapan Stuart tentang siapa yang tengah berangkat bersama Ebin, Seorang perempuan.
"Aku coba kirim pesan lagi aahh" Eva mengambil ponselnya dan membuks chat singkat terakhirnya pada Ebin.
Masih meninggalkan centang satu abu abu untuk pesan terakhirnya. Eva menyerngitkan keningnya, sesibuk sibuknya Ebin, jika masalah membuka pesannya maka Ebin tak pernah terlambat atau gak membuka sama sekali seperti ini.
Perasaan Eva makin di campur aduk lagi, kembali teringat perempuan yang sedang ikut Ebin. Eva tetap mencoba berpikir tenang dan dingin, berpikir jika memang yang ikut Ebin adalah perempuan, maka perempuan itu pasti menginap di hotel, sedangkan Ebin menginap dengan Angga di apartemennya.
Itulah yang coba Eva pikirkan. "Ah apa aku hubungi adek Angga?" terbesit pikiran itu di Eva.
"Tapi, aku malu. Masa aku hubungi Angga. Hemmm" Eva menggelengkan kepalanya.
"Ayolah Eva, jangan terlalu berprasangka buruk gitu sama Ebin, dia suami terbaik, dia sendiri bahkan gak mau berangkat ke sana sebenarnya. Ya itulah yang terjadi" Eva mengangguk untuk kepercayaan dirinya.
Tapi jujur. Ucapan itu masih tidak dapat mengurangi rasa berdebar di hati Eva.
***
Hal yang di tunggu tunggu Ebin tiba. Malam ini ia akan bermalam dengan seorang Dinda.
"Sudah belum" Tanya Ebin.
"Sebentar, dalamannya belum nih" Cicit Dinda dari dalam kamar mandi.
"Oke siap"
Ceklek.
Pintu kamar mandi terbuka, sosok Dinda keluar dengan busana yang tak biasa. Ebin menatap Dinda tanpa berkedip. Matanya terhipnotis dengan pemandangan di hadapannya ini.
Ebin sangat ingin Eva seperti ini tapi sayangnya meski berkali kali Ebin meminta Eva selalu menolak dengan alasan tak percaya diri, karena bukan dirinya yang biasa menggunakan baju seksi seperti lingerie yang sedang di kenakan Dinda.
###
