Bab 3 Saling Cerita
Bab 3 Saling Cerita
Rafael mengulurkan tangannya pada Agatha namun tatapannya tak berhenti memandang Agatha. Seperti melihat Bidadari turun dari kahyangan saja, Rafael terus menatapnya tak berkedip. Agatha merasa salah tingkah dengan tatapan mata Rafael yang tak berkedip melihat dirinya. Agatha menerima uluran tangan Rafael, lalu Agatha dan Rafael pun saling berjabat.
"Rafael."
"Agatha."
Mereka saling memperkenalkan dirinya, dan seolah-olah tidak saling kenal satu sama lain.
Suster Retha lalu mengajak mereka masuk ke ruang tamu dan menjamu Rafael dengan baik. Rafael tidak begitu memperhatikan apa yang dibicarakan oleh Suster Retha, dia hanya serius memperhatikan Agatha. Namun Agatha hanya tertunduk saja dan tidak berani memandang ke arah Rafael.
"Jadi bagaimana, Pak Rafael? Kita akan memulainya dari mana dulu?" tanya Suster Retha pada Rafael yang duduk di depannya.
Tapi Rafael hanya diam saja, justru dia malah memperhatikan Agatha yang duduk di samping Suster Retha. Rafael tidak menyangka kalau dia harus bertemu dengan Agatha dalam keadaan seperti sekarang ini, keadaan dimana Agatha sudah menjadi seorang biarawati. Sungguh sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan selama ini.
Suster Retha merasa heran dengan sikap dari Rafael yang hanya diam, tak menjawab pertanyaan darinya.
"Maaf, pak Rafael ... Apa Bapak mengerti maksud saya?" tanya Suster Retha mempertegas pertanyaannya.
"Hah ... iya Suster, Suster lakukan saja bagaimana bagusnya, saya mengikuti saja," jawab Rafael sedikit gugup.
Rafael hanya sibuk memperhatikan Agatha, dan ingin sekali mengajukan sejuta pertanyaan untuknya, karena dia merasa bingung dan heran kenapa Agatha memilih jalan ini.
Hari itu jadwal Suster Retha kebetulan sangat padat, dan tugas Beliau hanya ingin memperkenalkan antara Agatha dan Rafael saja, yang selanjutnya nanti aksi sosial itu akan mereka kerjakan bersama.
"Karena Pak Rafael dan Suster Agatha sudah saling kenal, maka saya bisa meninggalkan tempat ini, dan untuk selanjutnya biar Suster Agatha yang menanganinya," Suster Retha lalu pamit pada mereka dan meninggalkan tempat itu.
Kini tinggal mereka berdua di ruangan itu, tanpa suara dan hanya keheningan yang ada.
Sesaat ruangan itu menjadi sunyi, dan kesunyian itu pecah dengan suara lirih dari Agatha.
"Kita akan mulai dari mana dulu?"
"Oh ... Iya, terserah, terserah kamu akan mulai dari mana?" sahut Rafael agak bingung.
"Sebentar, tunggu dulu, aku harus memanggil kamu apa?" sambung Rafael bertanya pada Agatha.
"Terserah kamu, mau memanggil aku apa." jawab Agatha padanya.
"Jika hanya kita berdua, nggak masalah kan jika aku memanggil namamu saja? dan tidak perlu terlalu formal juga."
Agatha hanya mengangguk dan tersenyum tipis pada Rafael.
Ingin sekali Rafael bertanya pada Agatha, mengenai perjalanan hidupnya hingga seperti sekarang ini. Namun Rafael takut jika itu akan membuatnya marah dan tersinggung.
***
"Kamu bisa memulainya sekarang," suruh Rafael pada Agatha.
Lalu Agatha mulai menceritakan dengan detail mengenai kegiatan sosial yang dibinanya dan bagaimana kendala yang dia hadapi.
"Beberapa tahun yang lalu aku ditugaskan oleh kongregasiku untuk bertugas disini, di Biara Santa Theresia ini, aku mendapat tugas untuk mengurus anak-anak yang terlantar, termasuk mereka anak yatim piatu dan juga anak jalanan, tapi tugasku sebatas pada bidang pendidikan buat mereka. Awalnya mereka hanya sedikit sehingga tempat yang kami sediakan masih cukuplah untuk mereka, namun seiring berjalannya waktu mereka semakin hari semakin bertambah banyak terutama mereka anak-anak jalanan yang putus sekolah dan ingin mendapatkan pendidikan secara gratis di tempat ini. Bahkan tak jarang mereka harus sampai duduk di luar ruangan, asalkan mendapatkan pendidikan gratis dari kami."
Rafael hanya diam dan mendengarkan dengan detail setiap apa yang diceritakan Agatha, selain itu dia juga memperhatikan wajah lembut serta kecantikan yang dimiliki oleh Agatha.
Agatha merasa Rafael hanya diam mendengarkan ceritanya maka dia beranggapan kalau Rafael tidak mendengarkan ceritanya.
"Kok diam?" tanya Rafael tiba-tiba.
"Apa kamu masih mendengarkan ceritaku?"
"Iya, masih. Kenapa?"
"Aku kira dengan diammu itu, kamu tidak mendengarkan aku."
"Nggak, kamu salah. Aku mendengarkan kok. Lanjutin aja ceritanya."
" Baik aku lanjutkan ya?"
"Silahkan!"
"Aku dibantu oleh satu temanku, namanya Suster Regina. Kami bekerja menjadi satu tim untuk mendampingi anak-anak belajar. Tidak hanya tempat yang kami butuhkan, tapi media belajar serta peralatan lainnya juga kurang dan tidak memadainya lagi. Kami butuh Dermawan yang bisa membantu kami untuk memberikan pendidikan gratis pada mereka."
"Apa yang bisa kami berikan untuk mereka? Serta Bantuan apa yang mereka butuhkan?" Sahut Rafael memotong pembicaraan Agatha.
"Banyak hal yang kami butuhkan."
"Ceritakan saja."
Lalu Agatha menceritakan dengan detail apa yang menjadi kendala di sana.
"Pertama, kami butuh ruang kelas tambahan, lalu beberapa media belajar serta buku-buku pelajaran lainnya dan juga alat tulis lainnya. Dan mungkin masih ada beberapa tambahan lagi yang kami butuhkan berdasarkan kebutuhan di lapangan nanti."
"Kami akan membantu sampai tuntas apa yang mereka butuhkan, Yayasan yang aku kelola bersama teman-teman rekan kerjaku akan membantunya."
"Terima kasih banyak, sungguh karunia Tuhan yang tak terkira buat kami, dan semoga Yayasan yang kamu kelola senantiasa mendapat berkat dari Allah."
"Amin," jawab Rafael mengaminkan doa Agatha.
"Lalu bagaimana langkah kami selanjutnya."
"Pertama, kamu ajukan dulu proposal pada Yayasan kami, jelaskan aja semuanya kebutuhan mereka apa saja, jangan sampai ada yang ketinggalan. Kami pasti akan membantu 100% semua kebutuhan mereka."
"Baiklah, aku akan buatkan proposal itu secepatnya. Lalu aku harus kirim kemana?"
"Jika semua sudah siap, kamu bisa kirim ke emailku, alamatnya sudah tertera di kartu nama yang aku kasih ke Suster Retha."
Lalu Agatha mengingat bahwa kartu nama itu sudah diberikan oleh Suster Retha padanya.
"Baiklah, terima kasih banyak atas bantuannya."
"Sama-sama, semoga kita dapat menjalin kerjasama ini dengan baik."
Agatha mengangguk dan tersenyum pada Rafael, lalu dia beranjak dari tempat duduknya. Dia pikir Rafael akan segera pulang dan meninggalkan tempat itu, namun justru sebaliknya Rafael tidak beranjak sama sekali dari tempatnya dan justru hanya diam menatap Agatha.
"Kamu mau kemana?" tanya Rafael sedikit mencibir.
"Bukankah urusan kita sudah selesai?"
"Belum!" jawab Rafael singkat dan spontan.
"Belum? Apa maksudnya belum?" tanya Agatha heran.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
" Sedikit pribadi nggak apa-apa ya?"
"Selama masih wajar dan aku bisa menjawab, aku akan jawab."
"Sejak kapan kamu memutuskan untuk menjadi Biara? Apa kamu siap menjalani hidup seperti ini?"
Agatha hanya tertawa kecil mendengar pertanyaan Rafael. Tapi dia tetap menjawab pertanyaan itu.
"Sejak lulus dari SMA aku sudah memutuskan untuk masuk Biarawati, awalnya orang tuaku menolaknya, namun panggilan hatiku untuk melayani Tuhan dan sesama tak dapat aku ingkari, aku menentang keputusan orang tuaku sampai akhirnya mereka pun menyetujuinya walaupun sebenarnya dengan berat hati mereka menyetujuinya," jawab Agatha, lalu dia diam sejenak dan tak lama dia melanjutkan lagi jawabannya.
"Siap atau tidak, aku tidak bisa menjawabnya. Hanya yang bisa aku lakukan sekarang, aku harus fokus pada pelayananku dan meninggalkan semua keduniawian yang selama ini selalu melekat dalam diriku. Aku sudah siap dengan konsekuensinya, dan aku juga tidak mengejar harta duniawi."
Dengan penuh rasa damai di hatinya, Agatha menceritakan itu pada Rafael, dengan yakin dan optimis Agatha menjawabnya. Dan selalu diikuti dengan tawa manisnya itu. Tawa itu yang selalu mengingatkan Rafael pada sosok baik Agatha yang pernah dia kenal.
