Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rumah Baru

Rentenir vs hantu

Part 2

***

Awal tahun aku dan Mas Iwan pindah ke rumah impian kami itu. Selama tiga hari kami baru selesai menata barang-barang dan merapikan seluruh ruangan yang ada di dalam rumah tersebut.

Semua furniture aku membeli baru, yang semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Set kursi tamu, lemari bufet kaca, kursi angsa plus meja datar berukir, dipan, lemari baju, kaca hias, lemari untuk menyimpan barang pecah belah, meja TV, set meja makan dan kitchen set. Semua barang-barang tersebut aku membelinya langsung dari pengrajin ukiran Jepara dengan harga yang lumayan mahal.

Aku lalu melihat-lihat seluruh ruangan yang telah tertata rapi dengan rasa puas. Tak henti aku mengucapkan rasa syukur atas semua rezeki yang diberikan Allah pada keluarga kami.

Selama tinggal di rumah kontrakan, doa ingin mempunyai rumah impian adalah doa yang selalu aku panjatkan di setiap sepertiga malam, dan alhamdulillah, belum genap tujuh tahun Allah telah mengabulkannya.

***

Satu minggu setelah menempati rumah baru, aku dan Mas Iwan mengundang rekan kerja kami masing-masing, untuk makan siang di rumah, sebagai bentuk rasa syukur atas diberikannya rezeki oleh Allah.

Keesokan siang di hari berikutnya, aku pun mengundang para tetangga untuk makan siang di rumah kami. Aku mempersilakan mereka yang ingin melihat-lihat seluruh ruangan di rumah kami. Mereka tentu saja berdecak kagum melihatnya.

Aku juga mengundang ibu-ibu pengajian yang ada di lingkungan kami, sekalian memperkenalkan diri menjadi anggota baru di lingkungan mereka.

***

Satu bulan kami tinggal di rumah baru, Allah seperti membuka lebar-lebar kran rezeki kami.

Setiap hari kunjungan pasien berlimpah, karena aku adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang tinggal di desa kami. Bengkel motor Mas Iwan pun kian ramai. Lokasi bengkel yang awalnya hanya mengontrak, suamiku kemudian bisa membelinya.

Satu tahun kemudian, kami sudah bisa membeli sebuah mobil toyota kijang. Setiap hari kami berangkat dan pulang bersama dengan mengendarai mobil itu.

Aku mulai menjadi manusia konsumtif, tapi masih dalam taraf wajar. Setiap bulan setelah menerima gaji, aku langsung mengajak Agung dan Melda untuk bersenang-senang. Jalan-jalan, makan di restoran mewah dan shopping.

Aku menghabiskan semua uang yang terkumpul selama satu bulan hanya dalam waktu satu hari. Aku dan kedua anakku bersenang-senang dari pagi hingga menjelang magrib. Mas Iwan tak pernah mau jika kuajak ikut serta, jadilah hanya kami bertiga saja yang pergi.

Ohh ... iya, selain berprofesi sebagai bidan, aku juga mempunyai sebuah butik yang lokasinya bersebelahan dengan bengkel motor suamiku.

Bermacam barang branded dijual di sana. Pakaian, tas, sepatu, aksesoris dan masih banyak lagi. Aku menggaji seorang karyawan untuk menjaganya. Dia yang mengasuh kedua anakku saat mereka masih kecil.

Hingga kedua anakku sekolah di bangku SMA (Agung kelas 3 dan Melda kelas 1), aku masih saja melakukan semua hal itu, yang secara tidak langsung aku telah mengajari mereka menjadi manusia yang konsumtif juga.

Aneh bukan, aku mempunyai butik yang menjual bermacam barang branded, yang tentu saja harganya pun lumayan mahal, tapi aku masih saja berbelanja baju, tas, sepatu di mall. Tapi itulah kenyataannya.

***

"Selamat siang, Bu," sapa seorang laki-laki ketika aku sedang berada di butik suatu hari.

Belakangan aku tahu kalau dia bernama Gunawan, pegawai Bank Doramon yang bertugas mencari 'mangsa' (bukan nasabah kubilang, karena mereka menjerumuskan).

Setelah berbasa-basi sebentar, Gunawan lantas menawarkan pinjaman uang yang lumayan besar padaku. Senilai 50 juta rupiah dan bisa diangsur selama 60 bulan dengan cicilan sebesar 2 juta rupiah setiap bulan.

Awalnya aku sama sekali tak tertarik dengan tawarannya, karena memang aku tak pernah berurusan dengan yang namanya utang. Aku selalu membeli apa saja secara kontan tidak pernah mencicil.

Akan tetapi pegawai Bank Doramon itu terus saja menghubungiku, menawarkan pinjaman uang. Baik secara langsung maupun via telepon. Hingga akhirnya aku tergoda dengan rayuannya.

Aku kemudian mengajukan pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah selama 60 bulan dan sertifikat rumah kami aku jadikan sebagai jaminannya.

Aku tak memberitahu Mas Iwan soal ini sebelumnya, dan dia sangat marah saat harus menandatangani surat perjanjian dengan pihak Bank Doramon.

"Pokoknya kalau terjadi apa-apa, aku nggak mau tahu ya, Mah!" katanya kesal saat membubuhkan tanda tangan di surat perjanjian itu.

Diri ini diam saja, tak menjawab ucapan Mas Iwan. Uang dua juta rupiah setiap bulan itu sangat kecil bagiku. Karena gaji saja sudah lebih dari itu. Belum lagi uang praktik sebagai bidan di rumah dan hasil dari penjualan barang-barang di butik, sudah sangat berlebih dari jumlah dua juta rupiah, begitu pikirku.

Namun, ternyata perkiraanku meleset jauh. Uang yang hanya dua juta rupiah terasa kecil menurutku, pada bulan ketiga belas, (aku sudah membayar cicilan utang selama 12 bulan) aku tak bisa lagi membayarnya.

Pasien dan butikku mulai sepi. Bahkan untuk menggaji karyawan yang hanya 350 ribu rupiah sebulan pun, harus tersendat-sendat. Beruntung dia masih loyal padaku, sehingga aku membayarkan gajinya saat ada uang.

ART yang mengurusi rumah sudah tak lagi bekerja pada kami, karena dia menikah dan itu bisa sedikit meringankan bebanku.

Selama tiga bulan aku menunggak cicilan utang di Bank Doramon. Barulah terlihat bentuk aslinya. Gunawan yang awalnya begitu ramah saat mencari mangsa, berubah menjadi garang bagaikan singa.

Dia berulang kali datang ke butik dan ke rumah sambil marah-marah menagih utang. Tak jarang dia memukulkan tangannya ke atas meja. Betul-betul membuat harga diriku jatuh, dan aku hanya bisa diam karena memang merasa bersalah.

Di tengah kebingungan, suatu hari datang seseorang ke rumahku, sebut saja namanya Parto. Dia menawarkan pinjaman dengan sistem bayar sesuai harga gabah per-kwintalnya setiap satu juta rupiah dan dibayar setiap panen, tanpa jaminan apa pun.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyanggupinya. Maka aku meminjam uang sebesar 50 juta rupiah pada Parto, itu pun tanpa sepengetahuan Mas Iwan, suamiku.

Aku langsung pergi ke Bank Doramon, bermaksud akan melunasi semua sisa utangku. Tapi, betapa terkejutnya diri ini, utang yang sudah dicicil selama satu tahun, tak berkurang sedikitpun. Bahkan setelah dihitung, aku harus membayar sisa utang sebesar 54 juta rupiah. Betul-betul gila, utangku malah bertambah, yang semula hanya 50 juta rupiah.

Dengan perasaan jengkel yang teramat sangat, aku keluar dari bank kepxrxt itu. Aku kemudian mencoba menghubungi Parto, bermaksud meminjam uangnya lagi sebesar empat juta rupiah untuk mencukupi kekurangan utangku.

Diluar dugaan, Parto malah menawarkan pinjaman sebesar 10 juta rupiah lagi. Tentu saja langsung aku terima tawarannya.

Maka, lunaslah sudah semua utangku di Bank Doramon. Aku sempat mengumpat kepada Gunawan, yang juga ada di sana, sebelum keluar meninggalkan bank kepxrxt itu.

***

Selama dua bulan aku bisa bernapas dengan lega. Tak ada lagi orang yang datang menagih utang, baik di rumah ataupun di butik.

Saat memasuki bulan keempat, aku mulai kebingungan lagi. Aku harus membayar utang kepada Parto, padahal aku sama sekali sudah tak punya sumber penghasilan selain gaji bulanan sebagai PNS. Butik dan pasienku sudah sepi.

***

"Kak, ada dukun mantap loh. Bisa kasih penglaris," kata Tina sahabatku, saat kami sedang di puskesmas suatu siang.

Aku diam saja, tak menanggapi ucapannya. Aku masih sibuk berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk membayar utang ke Parto.

"Aku udah ke sana tiga kali, dan alhamdulillah pasienku sekarang banyak," lanjutnya, tanpa peduli aku mendengarkan atau tidak ceritanya.

Sekarang gantian aku yang mulai tertarik dengan cerita Tina.

"Beneran, Tin? Di mana tempatnya?" tanyaku antusias.

"Beneranlah. Di Pitiman. Kalau kamu mau, nanti pulang kerja kuantar ke sana, Kak," jawab Tina.

Dalam hati aku merasa ragu sebetulnya, apa iya ada dukun yang secanggih itu, bisa mendatangkan orang untuk membeli dagangan kita. Kalau memang dukun itu hebat, kenapa dia tak berdagang saja, pasti akan laku semua dagangannya.

Namun, pikiran warasku telah tertutup oleh kebingungan harus segera mendapatkan uang untuk membayar utang pada Parto.

Maka, sepulang kerja, aku menelepon Mas Iwan, memberitahu akan ke Pitiman dengan Tina, agar dia tak menungguku untuk pulang bersama.

***

Selama satu jam dalam perjalanan, kami sampai di rumah Tina. Aku meminjam bajunya untuk ganti, karena pergi ke rumah dukun tak aku rencanakan sebelumnya.

Dengan mengendarai sepeda motor, kami menuju ke rumah dukun yang dimaksud oleh Tina.

Sesampainya di sana, terlihat sudah banyak orang yang sedang mengatri. Aku tersenyum dalam hati, biasanya aku yang ditunggu pasien, sekarang aku yang menunggu.

Sebuah rumah kuno khas milik orang Tionghoa. Bau dupa seketika menguar, tercium sangat menyengat begitu memasuki teras rumah itu. Ada papan nama di sebelah kiri dinding temboknya. Tertulis di sana nama 'Baba'.

Sebelum mendapatkan giliran masuk untuk bertemu dengan Baba, nama sang dukun, kami harus terlebih dulu membeli dupa dengan harga 15 ribu rupiah sebungkus, yang dijual oleh perempuan tua yang tak lain adalah ibu-nya Baba.

Tina kemudian berbincang dengan perempuan tua tersebut. Terlihat sangat akrab, wajarlah karena dia bilang sudah beberapa kali datang berkunjung ke tempat ini.

Beberapa lama berselang, tiba giliran kami. Aku dan Tina memasuki ruangan, dimana kulihat Baba sedang duduk bersila di salah satu sudut ruangan itu, dengan sebuah meja panjang di depannya.

Ruangan itu berukuran sekitar 16 meter persegi. Di dalamnya kulihat ada meja sudut yang di atasnya terdapat bermacam patung dengan berbagai ukuran.

Di antara patung-patung itu ada tempat untuk membakar dupa. Aku dan Tina kemudian disuruh Baba untuk membakar dupa yang kami beli sebelumnya. Setelah itu kami duduk di hadapan Baba.

Aku melihat dia membakar kertas emas lalu mulutnya komat kamit, mungkin sedang membaca mantra. Entahlah, aku tak bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

Baba lalu mengambil kertas dan bolpoin. Kemudian dia menggambar sebuah ruangan, aku memperhatikan tak berkedip, ternyata yang dia gambar adalah ruangan di dalam rumahku.

Diri ini benar-benar heran dan merasa takjub, dari mana Baba bisa tahu seluk beluk ruangan yang ada di dalam rumahku, padahal aku sama sekali belum bicara sepatah kata pun padanya. Betul-betul dukun yang hebat, pikirku.

"Pantas saja rezeki Lo abis, rumah Lo kebanyakan pintu. Dapur Lo juga nggak sesuai tempatnya," katanya kemudian, setelah selesai menggambar.

"Jadi saya harus gimana, Ba?" tanyaku.

"Lo tutup salah satu pintu rumah Lo itu dan pindahkan dapurnya."

Aku diam saja, karena untuk melakukan semua itu tidaklah mungkin. Rumahku sudah didesain sedemikian rupa oleh seorang arsitek, kami membayar satu juta rupiah waktu membuat desainnya. Arsitek itu tentu tidak sembarangan ketika membuat desain rumahku, dia pasti sudah memikirkan semuanya dengan matang dan penuh perhitungan.

Setelah aku dan Tina selesai mengutarakan keinginan kami masing-masing, Baba lantas memberikan kertas bertulisan huruf China, yang tentu saja aku tak paham artinya. Dia memintaku agar kertas itu ditanam di dalam butik, untuk mendatangkan pembeli katanya.

"Tin, kamu yakin dengan apa yang Baba bilang tadi?" tanyaku saat kami sudah berada kembali di rumah Tina.

"Yakin banget, Kak. Aku sudah menanam kertas itu di sini," katanya seraya menunjuk ke arah sebuah pot bunga yang ada di depan ruang praktiknya.

Setelah mengobrol sebentar, aku pamit pulang. Menjelang magrib aku baru sampai rumah dengan naik ojek, karena Mas Iwan, Agung dan Melda telah pulang terlebih dahulu siang tadi.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel