Pustaka
Bahasa Indonesia

Rentenir vs hantu

32.0K · Tamat
Ryanti
23
Bab
108
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bidan Wati terjerat utang karena gaya hidupnya yang konsumtif. Sampai pada suatu ketika dia tidak bisa lagi membayar utangnya. Dia lalu mendatangi beberapa orang dukun untuk meminta pertolongan. Tapi apa yang terjadi? Masalah tidak selesai, malah menimbulkan masalah baru. Bukan hanya rentenir yang melakukan teror terhadapnya, tapi juga makhluk tak kasat mata (hantu) Bagaimana Bidan Wati menyelesaikan semua masalah itu? Dapatkah dia keluar dari semua kesulitan hidupnya? Sebuah kisah nyata yang diberi sedikit bumbu. Kisah ini sangat menguras emosi, banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari kisah perjalanan hidup seorang Bidan Wati.

SupernaturalPerceraianThrillerSuspenseKeluargaIstriMenyedihkan

Bidan Wati

Rentenir vs Hantu

Part 1

***

Setting cerita tahun 1989. Kisah nyata dengan sedikit bumbu.

***

Aku membuka pintu samping rumah perlahan, setelah sebelumnya menengok ke sekeliling halaman, untuk memastikan bahwa keadaan aman, tak ada seorang pun yang melihat keberadaanku. Kemudian diri ini memasukkan sepeda motor yang baru saja aku pakai.

Bergegas aku mengunci pintu, begitu sepeda motor sudah berada di dalam. Aku lalu menuju ke ruangan dalam rumah. Sampai di ruang tengah aku duduk beristirahat sejenak, melepaskan lelah, karena sepanjang hari diri ini berada di atas sepeda motor, menyusuri jalan tak tentu arah dan tujuan.

Jam di dinding ruang tengah telah menunjukan pukul setengah sebelas malam. Namun entah kenapa aku sama sekali tidak merasa mengantuk.

Sebentar pandanganku mengitari semua sudut ruangan di dalam rumah yang bisa terjangkau oleh mata ini.

Perasaan sedih dan menyesal bercampur jadi satu, datang tiba-tiba menyelinap dalam hati.

Di depan tampak dua buah kamar kedua anakku, yang mungkin saat ini mereka sudah tertidur lelap di rumah mantan suamiku, ayah mereka.

Aku memandangi foto kedua anakku, Agung dan Melda, yang terpasang di dinding ruang tengah. Tak terasa, butiran air mata mulai menetes membasahi kedua pipi. Segera aku mengusapnya perlahan.

Tiga tahun yang lalu, mereka berdua masih tinggal di rumah ini bersamaku. Kami masih bersenda gurau, bercengkrama bersama saat menghabiskan waktu malam.

Aku kembali mengusap air mata yang terus mengalir deras keluar, menyesali semua yang telah kulakukan. Bermain riba dan berhubungan dengan dukun, membuat kehidupan keluargaku hancur berantakan.

Dan ketika aku menyadari kalau semua yang aku lakukan itu adalah sebuah dosa besar, semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, aku harus menerima semua konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan.

***

Namaku Wati, aku adalah seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) golongan III D yang berdinas di sebuah Instansi Kesehatan Kabupaten.

Aku seorang bidan yang juga mempunyai bisnis sampingan lain, yaitu sebuah butik yang lumayan besar dan lengkap. Berbagai macam barang branded dijual di sana. Dari harga ratusan ribu sampai yang harga jutaan semuanya tersedia. Ada tas, sepatu, baju (dewasa dan anak-anak), mukena, jilbab, aksesoris, dan lain sebagainya, semuanya ada. Dan aku menyerahkan pengelolaan butik tersebut kepada Asih, orang yang aku percaya. Karena dia sudah pernah bekerja sebelumnya padaku dengan waktu yang cukup lama.

Aku menikah dengan Mas Iwan, seorang guru SMA. Dan dari hasil pernikahan itu, kami dikaruniai dua orang putra putri, Agung dan Melda nama anak-anak kami. Selisih umur mereka tak terpaut jauh, hanya dua tahun.

Saat aku dan Mas Iwan menikah, hanya bermodalkan cinta dan nekat saja. Suamiku waktu itu masih kuliah jurusan FKIP semester akhir dan aku baru lulus dari sekolah DI Kebidanan.

Kedua orang tua kami masing-masing tentu saja menolak mentah-mentah, ketika aku dan Mas Iwan mengutarakan keinginan kami untuk melangsungkan pernikahan.

Namun, kemudian mereka akhirnya menyetujui rencana kami berdua, karena mereka mengira kalau aku sudah hamil terlebih dahulu. Daripada harus menanggung malu, lebih baik dinikahkan saja, begitu kira-kira obrolan kedua orang tua kami yang sempat aku dengar. Aku dan Mas Iwan hanya tersenyum. Kami sama sekali tak mempermasalahkan soal anggapan mereka. Yang terpenting bagi kami, kami bisa segera dinikahkan secara sah.

Tanpa pesta yang jauh dari kata mewah, akhirnya aku dan Mas Iwan melangsungkan pernikahan. Hanya saudara dekat, para tetangga dan beberapa orang teman dekat saja yang kami undang.

***

Tiga minggu setelah menikah, kami menyewa sebuah kamar kos berukuran 20 meter persegi, dengan harga sewa 15 ribu rupiah sebulan.

Semua aktifitas kami lakukan di dalam kamar itu, tidur, memasak, dan makan. Kecuali mandi dan buang air. Bisa dibayangkan seperti apa sumpeknya kamar kos tersebut.

Ada empat buah kamar kos yang lain, yang juga dihuni oleh sepasang suami istri. Setiap hari kami harus mengantri jika akan mandi atau buang air, karena pemilik kos hanya mempunyai satu buah kamar mandi dan WC untuk kami pakai secara bersama.

Oh ... iya, begitu aku dan Mas Iwan menikah, semua fasilitas dari kedua orang tua kami masing-masing, mereka tarik kembali. Motor yang biasanya dipakai kuliah suamiku, diambil kembali oleh orang tuanya. Uang kuliah pun tak lagi diberikan.

Kami betul-betul menjalani kehidupan berumah-tangga dari nol, tanpa bantuan siapa pun. Namun, kami menjalaninya dengan bahagia. Gajiku sebagai PNS hanya sebesar 88 ribu rupiah dan itu harus cukup untuk satu bulan.

Suamiku berangkat ke kampus dengan menggunakan angkutan umum, sementara aku berangkat ke puskesmas dengan berjalan kaki.

Selain dari gaji yang aku terima setiap bulan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Mas Iwan bekerja di sebuah bengkel mobil. Sepulang dari kuliah, dia akan bekerja di sana dan pulang ke tempat kos-an pada pukul lima sore.

Selama tiga bulan aku dan Mas Iwan menempati kamar kos itu. Suka dan duka kami lewati bersama, tak pernah mengeluh. Sebab kami menyadari, semua itu atas pilihan diri sendiri.

Kami lalu pindah ke tempat kos yg lebih luas, dengan harga sewanya 30 ribu sebulan. Namun, kamar mandi dan WC masih tetap bersama dengan penghuni kos yang lain.

***

Satu tahun kemudian, aku hamil anak yang pertama. Saat itu, alhamdulillah kami sudah bisa mengontrak sebuah rumah, bukan kamar kos lagi seperti sebelumnya. Meskipun tidak besar, tapi cukuplah untuk kami tempati.

Rumah kontrakan tersebut berukuran sekitar 49 meter persegi, yang terdiri dari dua buah kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tentu saja ukuran masing-masing ruangannya sangatlah kecil dan pres.

Setelah anak pertama kami lahir (anak itu kami beri nama Agung), kehidupan ekonomi kami semakin membaik. Mas Iwan membuka bengkel motor di samping rumah kontrakan kami, dan aku mulai membuka praktik.

Aku sudah bisa mengambil dua orang ART (asisten rumah tangga) untuk membantu pekerjaanku. Seorang untuk mengasuh anak kami dan satu orang lagi mengurusi pekerjaan rumah.

Satu buah kamar tidur yang ada, aku gunakan untuk praktik, sementara ruang makan aku buat untuk tempat tidur kedua ART kami.

Begitu pun dengan Mas Iwan, dia sudah bisa menggaji tiga orang karyawan di bengkel motornya.

Kami juga sudah bisa membeli dua buah sepeda motor, yang satu aku pakai untuk berangkat ke puskesmas dan yang satunya dipakai suamiku untuk berangkat mengajar.

Ketika Agung berusia dua tahun, aku melahirkan anak yang kedua. Seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik. Kami memberinya nama Melda. Makin bertambah kebahagiaan kami. Rezeki kami pun makin mengalir dengan deras dan lancar.

***

Empat tahun menempati rumah kontrakan, akhirnya kami bisa pindah ke rumah baru impian kami. Rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas.

Rumah berukuran 300 meter persegi yang berdiri di tanah seluas 880 meter persegi. Mempunyai lima buah kamar tidur dengan kamar mandi di dalamnya.

Aku betul-betul sangat bahagia, di usia perkawinan kami yang belum genap tujuh tahun, kami sudah bisa memiliki sebuah rumah impian yang besar dan indah, dengan uang dari hasil keringat kami sendiri, tanpa utang sedikit pun dan tanpa bantuan dari pihak mana pun.

Namun, ternyata di rumah baru inilah semua kehancuran itu berawal.

***

Bersambung