Pustaka
Bahasa Indonesia

Rahasia dokter Andi

40.0K · Tamat
Ryanti
34
Bab
503
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bidan Lulu menempati perumahan dokter yang berada di sebelah puskesmas tempat dia bekerja. Sejak tinggal di sana, dia selalu melihat sosok perempuan dengan wajah menyeramkan. Siapakah sebenarnya perempuan itu? Adakah hubungannya dengan dokter Andi, calon suami Bidan Lulu?

SupernaturalDokterThrillerRomansaSuspensePernikahanRevengeKeluargaMenyedihkanBaper

Dinas Hari Pertama

Rahasia dokter Andi

Part 1

***

Namaku Lulu. Aku seorang bidan yang baru saja lulus dari sebuah Sekolah Kebidanan yang ada di provinsi. Dan mulai hari ini, aku ditugaskan di sebuah puskesmas yang berada di Kecamatan Sukajadi. Memerlukan waktu sekitar 2 jam dalam perjalanan untuk sampai ke sana, dari rumahku.

Tanpa sarapan terlebih dulu, setelah berpamitan pada ayah dan ibu, pukul setengah 6 pagi aku sudah berangkat dari rumah menuju ke depan jalan besar, untuk menunggu bus yang akan membawaku ke tempat tujuan.

Sengaja aku berangkat pagi, karena khawatir terlambat sampai di puskesmas. Aku sangat tahu, jika pada hari kerja, hampir semua bus yang menuju ke tempat kerjaku, pasti penuh sesak. Sebab banyak penumpang yang naik, dan sebagian besar dari mereka adalah pegawai yang bekerja di beberapa instansi yang ada di wilayah Kecamatan Sukajadi.

Setelah sekitar 10 menit aku menunggu, akhirnya bus dengan tujuan Sukajadi datang, dan aku pun segera naik.

***

Sesampainya di Puskesmas Sukajadi, aku langsung menuju ke ruangan kepala puskesmas. Tampak seorang laki-laki sedang duduk sambil menulis di atas meja kerjanya, ketika aku sampai di depan pintu ruangan itu.

"Selamat pagi, Dok," sapaku sopan, sambil mengetuk pintu yang tak tertutup.

Laki-laki itu menghentikan pekerjaannya, lalu menoleh ke arah pintu. Dia adalah dokter Andi, Kepala Puskesmas Sukajadi. Usianya sekitar 30 tahun, terlihat masih sangat muda.

"Selamat pagi. Silakan masuk," kata dokter Andi ramah.

Aku lalu masuk dan duduk di kursi yang ada di depan meja dokter Andi. Aku kemudian memperkenalkan diri dan menyerahkan map berisi SK Pengangkatan dan Surat Tugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten juga beberapa lembar berkas yang lain.

"Mbak Lulu sekarang tolong kasih map ini ke ruang TU ya, biar diarsipkan oleh Pak Sam. Nanti Mbak terus saja langsung ke ruangan KIA. Di sana ada Bu Fatma, koordinator KIA," titah dokter Andi, setelah dia selesai membaca semua berkas yang ada di dalam map yang aku bawa.

"Baik, dok," kataku, seraya beranjak dari duduk. Kemudian pamit untuk ke ruangan TU.

"Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak Sam, TU Puskesmas Sukajadi. "Saya diminta oleh dokter Andi untuk menyerahkan map ini ke Pak Sam," lanjutku, kemudian menyerahkan map berwarna biru itu pada Pak Sam.

Setelah berbincang sebentar dengan Pak Sam, aku lantas menuju ke ruang KIA, yang terletak di paling ujung ruangan puskesmas. Sebelum sampai ke sana, aku melewati beberapa ruangan. Tertulis nama di masing-masing ruangan tersebut. Ada loket pendaftaran, apotek, ruang vaksin, ruang laboratorium, poliklinik gigi, BP (Balai Pengobatan), poli gizi, MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit), ruang bendahara dan gudang obat.

Aku sengaja tak masuk ke tiap ruangan itu untuk memperkenalkan diri. Karena aku lihat, semua staf sedang sibuk melayani pasien yang datang berkunjung. Biarlah nanti saja saat istirahat, aku akan mengelilingi setiap ruangan untuk berkenalan, pikirku.

Aku mengetuk pintu ruang KIA yang tertutup, begitu sampai di sana. Tampak seorang ibu setengah baya, berperawakan gemuk, sedang memeriksa pasien ibu hamil, ketika pintu terbuka.

"Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya periksa pasien hamil dulu," kata ibu itu, yang ternyata adalah Bu Fatma.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Silakan diteruskan."

"Gimana, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Fatma, setelah beliau selesai memeriksa pasien hamil tadi.

Aku kemudian memperkenalkan diri. Bu Fatma menyambutku dengan ramah. Wajah beliau tampak senang dengan kedatanganku.

"Akhirnya Ibu ada teman yang bisa berbagi tugas. Selama ini Ibu ngerjain tugas di sini sendirian. Kadang kewalahan, meskipun tetap bisa dikerjakan," kata Bu Fatma.

Beliau lalu memberitahu tugas apa saja yang harus aku kerjakan selama bertugas di ruang KIA. Bagaimana cara mengisi buku catatan dan pelaporan, cara mengisi buku kohort ibu, bayi dan balita. Bagaimana cara mengisi buku register K1-K4, dan lain sebagainya. Ternyata bertugas di ruang KIA lumayan sibuk juga, aku membatin. Pantas saja Bu Fatma terlihat begitu senang, ketika mengetahui aku akan tugas di ruang KIA bersamanya.

Bu Fatma juga memberitahu, kalau ada 7 buah desa yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Sukajadi. Dan di tiap desa tersebut, berdiri sebuah Pustu (Puskesmas Pembantu) dengan tenaga seorang perawat dan seorang bidan yang ditempatkan di Pustu tersebut. Jadi jumlah seluruh bidan Puskesmas Sukajadi ada 9 orang, termasuk aku.

"Setiap akhir bulan, bidan Pustu akan antar laporan ke sini. Nah, nanti kamu yang merekap-nya," kata Bu Fatma.

Aku manggut-manggut. "Jadi bidan yang ada di Pustu datang ke sini cuma sebulan sekali ya, Bu?" tanyaku.

"Nggak juga. Kalau mereka ada keperluan di sini, ya pada datang. Seperti tiap akan posyandu. Mereka kan harus ngambil vaksin-nya di sini, soalnya di Pustu belum ada cold chain (lemari pendingin khusus untuk menyimpan vaksin) Terus kalau ada rapat atau ada acara yang lain," jelas Bu Fatma.

***

Pukul setengah 12 siang, sudah tak ada lagi pasien yang datang berkunjung ke puskesmas. Aku segera masuk ke setiap ruangan untuk memperkenalkan diri. Semua staf Puskesmas Sukajadi dengan ramah menyambutku. Dan aku pun langsung akrab dengan mereka.

"Jadi Mbak Lulu tinggalnya di provinsi?" tanya Bu Ipah, saat aku masuk ke ruang apotek. Dia dan Bu Zub yang bertugas di sana. Mereka berdua adalah lulusan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan)

"Iya, Bu."

"Jam berapa berangkat dari sana, Mbak?" tanya Bu Zub heran.

"Tadi pagi sih, saya berangkat dari rumah jam setengah 6, Bu. Soalnya kan harus nunggu bus dulu yang ke arah sini. Takutnya telat kalau berangkatnya agak siang."

"Wah … kalau gitu capek di jalan dong. Karena lebih banyak waktunya di jalan daripada di puskes," ujar Bu Zub, sembari terkekeh.

"Mendingan nyari tempat kos aja di sini, Mbak. Kan tetep masih bisa pulang tiap hari Sabtu. Lagipula kan Mbak Lulu belum nikah," kata Bu Ipah.

Aku tersenyum menanggapi.

"Kalau nggak, nempatin perumahan dokter di sebelah puskes ini aja, Mbak," usul Bu Zub.

"Memangnya perumahan itu kosong ya, Bu?" tanyaku.

"Iya, Mbak. Tadinya sih dokter Andi yang tinggal di situ. Tapi udah setengah tahun ini, dokter Andi nggak tinggal di situ lagi," jawab Bu Zub.

"Coba aja Mbak Lulu tanya ke dokter Andi," usul Bu Ipah.

"Atau sekarang Mbak Lulu lihat-lihat aja dulu tempatnya," kata Bu Zub.

"Boleh," kataku.

Kami bertiga lalu menuju ke perumahan dokter yang ada di samping puskesmas.

Saat sedang mengamati sekeliling perumahan itu, entah kenapa tiba-tiba aku merinding, bulu kudukku meremang.

[Kenapa aku jadi merinding gini ya?]

"Bu, kita kembali lagi ke puskes yuk," ajakku pada Bu Ipah dan Bu Zub, karena aku mulai merasa tak nyaman berada di sekitar tempat itu.

***

Bersambung