6. Langkah Taktis
Kalya duduk dengan tenang di samping pembaringan sambil menatap Romelio. Dihitungnya perlahan dalam hati. "Tiga… dua… satu…" Dan sesuai perkiraannya, tiba-tiba mata Romelio berkedip, menandai kesadarannya telah kembali.
Kalya masih saja diam menatap, menunggu dengan sabar reaksi dari Romelio. Sesaat pandangan Romelio menyipit, menatap sosok Kalya yang sedang duduk di samping pembaringannya. Beberapa saat kemudian, ketika pandangan sudah mulai jelas, dia terpaku sebentar, setelah itu senyuman tersungging di bibirnya yang pandai mengumbar kata-kata manis kepada siapapun, demi memperoleh keuntungan pribadi.
Ya, Romelio adalah contoh manusia dengan karakter ular berbisa yang sangat berbahaya. Jika tidak hati-hati, siapapun akan masuk dalam situasi tidak menguntungkan, yang bisa membelit mereka dalam kesulitan tak berujung.
"Apa kabar keponakanku yang cantik?" Meskipun dengan kondisi tidak berdaya, Romelio masih saja tidak mengurangi kekurang ajarannya pada keponakan iparnya ini. Entah mengapa dia sangat terobsesi pada Kalya. Seperti ada hasrat tidak terbendung untuk bisa memiliki Kalya dengan cara apapun. Dan salah satunya adalah dengan menyingkirkan setiap batu penghambat yang akan mengganggunya memuluskan segara rencana untuk memiliki Kalya.
Romelio berusaha untuk duduk, namun entah mengapa tubuhnya seperti kaku, dia hanya mampu menggerakan area wajah dan lehernya saja. Dengan kebingungan dia menatap Kalya yang duduk dengan tenang di sampingnya.
"Tenanglah, Paman Romelio." Kalya membuka suara, menjawab keheranan Pamannya. "Tidak perlu repot-repot untuk berusaha bergerak, sebab tubuhmu akan tetap kaku, kecuali aku menghendaki kondisi yang berbeda terjadi padamu." Dengan santai, Kalya memainkan sebuah suntikan kecil bagaikan sebatang rokok di depan wajahnya, lalu dengan gerakan pelan, kembali meletakkan ke dalam tasnya.
Romelio menatap nanar pada keponakan iparnya itu. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut melihat sisi dingin dari sosok Kalya yang tidak pernah dia ketahui. Sepertinya dia melewatkan sesuatu selama ini. Yang dia tahu, Kalya hanyalah gadis polos yang membuatnya tergila-gila, namun selalu lolos dari jebakannya. Bahkan kali ini, dia tidak menyangka, seorang Kalya mampu memikirkan cara untuk membuat tubuhnya kaku. Romelio mulai berhati-hati sekarang. Dia sadar, Kalya bukanlah wanita polos seperti yang dia kenal empat tahun yang lalu.
"Apa yang kamu lakukan pada tubuhku? di mana Fredo?"
"Aku tidak melakukan apa-apa pada tubuhmu, hanya memberimu satu mili cairan yang disuntikan ke dalam pembuluh nadimu. Tapi sejujurnya aku tidak tahu ramuan apa, karena aku membelinya di pasar gelap." Kalya berkata sesantai mungkin, namun membuat Romelio semakin yakin, bahwa Kalya bukanlah seperti Kalya yang dia kenal selama ini.
"Apa yang kamu inginkan?" Tanya Romelio langsung pada pokok persoalan.
Kalya tersenyum sinis. "Tidak banyak, hanya beberapa informasi yang aku harap, Paman Romelio bisa memberikannya kepadaku." Kalya menghela nafas sejenak, mencoba mendramatisir sekaligus mengintimidasi Paman yang sangat dibencinya ini.
"Katakan!" Romelio berkata dengan tidak sabar.
"Pertama, di mana Jose anakku?"
"Aku tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu, aku terluka saat melawan perusuh. Kamu lihat sendiri kondisiku saat ini." Romelio berusaha mendapatkan simpati dari Kalya. Namun Kalya tidak mempercayainya, dia merasa pasti, bahwa ada andil dalam peristiwa kerusuhan tersebut yang melibatkan pamannya. Dan kondisi luka yang dialami oleh paman Romelio hanyalah sekedar alibi untuk mengindar dari penelitian pihak forensik dan kepolisian.
"Baik, bagaimanapun aku tidak mengaharapkan jawabanmu yang seperti itu. Aku akan memberimu waktu untuk menjawab pertanyaan pertamaku lain kali." Jawab Kalya dingin.
Kemudian dia melanjutkan. Tidak memperdulikan dengusan Pamannya yang merasa kesal. "Kedua. Siapa mayat yang dimutilasi dan di sayat-sayat wajahnya begitu keji, lalu kami sekeluarga menganggap itu sebagai mayat Dimi, suamiku?"
Romelio terbelalak, tidak menyangka bahwa keponakannya akan menanyakan hal tersebut kepada dirinya. "Bagaimana mungkin Kalya bisa dengan yakin mengatakan bahwa itu bukanlah mayat Dimitrio?" Romelio mulai berkeringat dingin. Namun yang ke luar adalah nada gusar. "Apa maksudmu?" Tanya Romelio.
Kalya sendiri hanya berasumsi, dia mencurigai hal tersebut dan bermaksud untuk mengkonfrontasinya kepada Romelio. Samentara itu, Kalya hanya bisa menunggu hasil test DNA yang dilakukan tim forensik untuk memastikan, mayat siapakah yang mereka kebumikan kemarin?
"Aku hanya bertanya, dan berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan serta bisa dipertanggung jawabkan." Ada nada sinis dan kejam dalam intonasi suara Kalya yang dalam.
Bagaimanapun, Romelio tidak bisa lagi memandang Kalya sebagai wanita lemah, seperti yang selama ini diperlihatkannya. Romelio baru menyadari, mengapa selama ini dia tidak pernah sukses untuk mendapatkan kesempatan mengambil keuntungan dari Kalya yang memiliki sex appeal luar biasa di mata Romelio. Rupanya gadis ini memiliki trick halus yang baru disadarinya sekarang.
Diam-diam Romelio mulai merasa sedikit tertekan dan terintimidasi, terutama sekali dalam keadaan tubuhnya terkunci seperti sekarang ini. Entah ramuan sialan apa yang telah di suntikkan ke dalam tubuhnya. Yang pasti dia harus mulai mewaspadai apapun yang dia katakan, apalagi sikap yang dia perlihatkan dihadapan Kalya. Dia sungguh-sungguh tidak boleh menganggap remeh wanita ini seperti sebelumnya.
"Kalya…" Romelio berusaha memasang wajah polos tidak bersalah, bola matanya memutar karena frustrasi. "Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan. Lihatlah aku, terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit sialan ini. Mansion di serang, suamimu terbunuh, dan Jose diculik dengan paksa."
Kalya mengernyitkan dahinya sedikit. "Dari mana kamu tahu bahwa Jose diculik dengan paksa?" Tanya Kalya sambil mencondongkan sedikit wajahnya dan menatap tajam ke manik mata Romelio.
Romelio sadar, bahwa dia kelepasan bicara, dengan kegugupan yang mampu disembunyikannya secara professional, Romelio tersenyum sedih. "Sesaat sebelum aku pingsan karena luka tusukan ini, aku mendengar Jose menjerit. Ketika aku melihat ke arah suara Jose, aku melihat dia di bawa oleh perusuh. Tetapi aku sudah tidak memiliki kekuatan, dan akhirnya jatuh pingsan."
Kalya tersenyum sinis. Satu point ada di pihak Kalya. Cerita Romelio berbeda dengan versi dari Rodriguez. Jose diculik dan di bawa pergi melalui area belakang mansion, sedangkan baku tembak di mana Romelio terluka dan pingsan terjadi di bagian depan mension. Jadi, seharusnya Romelio tidak melihat Jose dibawa oleh penculik. Selain itu, Jose diculik dalam keadaan terbius, jadi tidak mungkin Jose mampu berteriak. Bahkan tidak seorangpun menyadari Jose diculik, sampai Rodriguez yang datang terlambat bersama Pietro dan Benigno berinisiatif untuk langsung memeriksa kamar Jose. Di sana ditemukan sapu tangan yang sudah ditetesi obat bius tergeletak di lantai.
Sayangnya Kalya tidak bisa mencari informasi melalui data kamera CCTV, sebab secara professional, jaringan kamera CCTV tersebut telah disabotase oleh pihak yang pastinya tidak ingin ada bukti kriminal yang terjadi di mansionnya. Kalaupun ada, tentu Kalya tidak akan menyerahkannya ke polisi, sebab Kalya tahu hal tersebut adalah sesuatu yang percuma, entah berapa banyak polisi yang berkomplot dengan pihak lawan. Kalya tidak mau berada dalam labirin yang membuatnya terjebak untuk memberi sesajen mereka tanpa henti, jika tidak ingin dikatakan sebagai ATM berjalan.
Keterangan Romelio membuat Kalya semakin yakin, bahwa pamannya terlibat konspirasi penghancuran keluarga Matteo. Kalya teringat dengan laporan yang dia terima dari Carlotta semalam. Asumsinya satu persatu terbukti. Kalya menghela nafas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. Dia hanya perlu memastikan bahwa asumsinya tidak sekedar dugaan, melainkan bisa dibuktikan.
"Begitukah?" Jawab Kalya singkat.
Romelio menjadi gugup, dan sebutir keringat mulai mengembun di dahinya. "Kalya, aku sedang sangat sekarat waktu itu. Tentu saja aku tidak begitu jelas dengan situasi sekelilingku." Romelio sadar, mungkin Kalya telah menerima informasi yang berbeda, atau kamera CCTV memberikan informasi yang berbeda dengan keterangannya. Romelia mengumpat dalam hati. "Jika memang karena kamera CCTV, terkutuklah kamu, Fredo. Karena anak buahmu tidak becus mengurus hal kecil ini." Dalam gelisah, Romelio masih berusaha untuk tenang.
"Biar aku menjelaskannya kepadamu, p-a-m-a-n R-o-m-e-l-i-o. Benar Jose diculik, dan belum ditemukan sampai detik ini…" Kalya sengaja memberi jeda pada ucapannya, dia menangkap senyum kecil di sudut bibir Pamannya. "Kami masih berusaha untuk menemukan Jose. Maka, aku meminta kerja sama darimu, untuk bisa mengembalikan Jose padaku."
Romelio terkejut. "Kalya, aku bisa membantumu menemukan Jose, tetapi aku butuh bertemu dengan Fredo dan ke luar dari rumah sakit sialan ini secepatnya."
"Untuk bertemu dengan Fredo, sayangnya tidak bisa aku kabulkan, sebab Fredo sedang sangat sibuk membantu William di Manhattan, Amerika Serikat. Katakan saja padaku, apa yang ingin kamu sampaikan kepada Fredo, dan aku akan dengan senang hati menyampaikannya." Kalya Kembali diam sejenak, menunggu reaksi dari Romelio. Kelihatan sekali jika Romelio tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Kalya tersenyum dalam hati melihat orang yang seringkali mengganggu hidupnya ini merasa gelisah. "Kali ini, kamu sudah keterlaluan menggangguku, paman Romelio. Kamu harus membayar berikut bunganya." Kalya bermonolog dalam hatinya.
"Mengenai keinginanmu yang kedua, kamu tidak perlu khawatir, setelah aku selesai bicara denganmu, kamu akan segera ke luar dari rumah sakit yang menurutmu 'sialan' ini."
Romelio mendadak sakit perut. Jika pilihannya adalah di pindahkan ke suatu tempat yang dia tidak ketahui, maka akan menjadi malapetaka baginya. Dan rumah sakit tentu akan jauh lebih aman baginya jika dibandingkan berada dalam pengawasan Kalya.
"Kalya, tidak usah repot-repot, aku yakin, kamu memiliki banyak hal untuk di urus. Biarlah aku di rumah sakit saja. Nanti biar Victor yang mengurusku jika Fredo tidak ada." Romelio mencoba menunjukan rasa simpatinya, padahal sungguh dia sangat takut bila harus berada di dekat Kalya, terutama setelah melihat sisi dingin dalam diri wanita itu.
"Sayangnya Fredo membawa semua anak buah setianya ke Manhattan. William lumayan sibuk mengurusi bisnis Dimi yang baru seumur jagung di Manhattan. Jadi dia membutuhkan banyak bantuan." Kalya menjawab dengan datar tanpa emosi. "Dan percayalah padaku, p-a-m-a-n R-o-m-e-l-i-o, aku tidak merasa direpotkan jika hanya sekedar memindahkanmu dari rumah sakit 'sialan' ini." Kalya menepuk bantal di tempat tidur dengan lembut. "Baiklah Paman, aku sibuk sekali hari ini, bersiaplah untuk pindah. Kita bicara lagi nanti."
Belum sempat Romelio menjawab, Kalya sudah menyuntikkan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sesaat sebelum dia kembali tertidur, Romelio sempat menyaksikan senyuman Kalya yang lebih mirip seringai. Tiba-tiba Romelio merasa dirinya begitu ketakutan, namun kesadarannya berangsur-angsur menghilang, dan sedetik kemudian segalanya menjadi gelap, segelap ketakutan maha dahsyat yang menghantuinya.
Rodriguez masuk ke dalam ruangan diiringi Pietro dan Benigno yang telah menggunakan seragam dokter dan petugas kesehatan. Dengan sigap keduanya mengurus tubuh Romelio yang pingsan, meletakkannya di atas brankar, lalu membawanya ke luar. Sebuah mobil ambulance telah menunggu. Dalam hitungan kurang dari lima menit, ambulance sudah membelah jalan raya menuju suatu tempat yang telah direncanakan.
Sementara itu, Kalya dan Rodriguez menuju kantor utama untuk melaksanakan virtual meeting kepada seluruh key person perusahaan yang tersebar di seluruh dunia. Dalam perjalanan, Kalya mentransfer semua pembicaraan dengan Romelio yang direkamnya, kepada Rodriguez melalui email inti. Email yang hanya bisa diakses oleh orang-orang yang berkepentingan saja.
"Rod, tolong urus Paman Romelio dengan benar. Dan lakukan analisa pada keterangan yang baru saja dia sampaikan."
"Akan aku lakukan." Jawab Rodriguez singkat. Dalam diam, keduanya melintasi jalan raya yang tidak begitu padat dengan kecepatan standar. Tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
