Pustaka
Bahasa Indonesia

REINKARNASI KE KELUARGA TOKOH ANTAGONIS

73.0K · Ongoing
Blackgolds
49
Bab
159
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jo Mina mengalami perjalanan lintas waktu. Ayahnya berwajah seperti seorang sarjana, namun licik dan penuh tipu muslihat. Ibunya tampak lembut bak Bodhisattva, tetapi berhati kejam dan dingin. Kakak laki-lakinya tampak polos, padahal berhati busuk. Kakak perempuannya egois dan tajam lidah. Mereka semua ditakdirkan untuk menjadi para tokoh jahat — hanya untuk menonjolkan betapa luhur, baik, dan agungnya sang tokoh utama. Mereka berusaha melakukan berbagai perbuatan buruk, bergelimang lumpur, jatuh ke jurang kehancuran, dan berakhir tragis. Sedangkan Jo Mina— yang menggenggam mata air spiritual, lemah lembut sekaligus penakut — hanya bisa berusaha agar keluarganya bisa hidup sedikit lebih lama.

Anak KecilKeluargaSweetNovel MemuaskanPetualanganDramaPengembara WaktuZaman Kuno

bab 1

Pada suatu petang di pertengahan musim panas.

Angin terasa panas.

Suara serangga dan katak bergaung tanpa henti.

Jo Mina baru saja bangun setelah tidur panjang yang memuaskan. Setelah merasa sedikit lapar, ia pun terjaga.

Ketika membuka mata, ia melihat seorang perempuan berwajah bulat tersenyum ke arahnya.

“Nona kecil sudah bangun, ya? Lapar, bukan?”

Perempuan berwajah bulat itu mengangkatnya, kemudian dengan cekatan membuka pakaian bagian depan.

Secara refleks, Jo Mina membuka mulut dan mulai menyusu dengan penuh tenaga.

Gerakannya lancar, natural, dan sangat terkoordinasi.

Sambil menelan, ia mulai berpikir.

Sudah satu bulan sejak ia tiba-tiba “terlahir kembali” ke dalam tubuh bayi. Awalnya pandangannya buram karena mata bayi belum dapat melihat dengan jelas; semua tampak samar-samar.

Ketika akhirnya dapat melihat lebih jelas, hatinya langsung tenggelam.

Keluarga tempat ia dilahirkan sangat biasa saja. Rumahnya sederhana, dengan ranjang batu dan peralatan pertanian yang simpel.

Keberuntungannya dalam reinkarnasi kali ini tampaknya tidak begitu baik.

Untungnya, ibu dari tubuh barunya ini sangat lembut dan memberi rasa aman.

Wajah sang ibu biasa saja, besar dan bulat—mungkin juga karena sebagian besar waktu Jo Mina melihatnya dari posisi menyusu.

Setelah menyusu sebentar, ia merasa lelah, seperti ketika seseorang tetap berusaha mengisap sedotan meski minuman di dalamnya telah habis—melelahkan. Ia pun berhenti menyusu.

Sang ibu menggendongnya, mengayun-ayunkan tubuh kecil itu sambil mengusap lembut punggungnya. Sentuhan itu membuatnya sangat nyaman. Meski belum sepenuhnya kenyang, Jo Mina kembali merasa mengantuk.

Pintu kamar berderit terbuka, hembusan angin panas menyeruak masuk.

Jo Mina membuka mata dengan waspada, kepalanya masih bersandar pada bahu ibunya.

Tak lama kemudian ia berpindah ke dalam pelukan lain.

Itu adalah ayahnya.

Dari baunya saja ia mengenali—aroma obat-obatan herbal.

Saat berada dalam pelukan baru, ia kembali berusaha terjaga.

Ia membuka mata lebar-lebar, ingin melihat wajah ayahnya dengan jelas. Namun dari sudut pandang bayi yang hanya bisa melihat dagu seseorang, ia hanya mendapat satu kesan: tampan.

Ayahnya memiliki penampilan yang tidak biasa.

Rambut panjang berwarna hitam, mata yang tampak lembut namun dalam, serta hidung yang tinggi.

Pakainnya memang hanya terbuat dari kain kasar, tetapi ia memiliki pesona yang tidak dapat dijelaskan.

Saat ia masuk ke dalam rumah, seolah seluruh ruangan menjadi lebih cerah.

Jo Mina tidak tahu apakah ia lebih mirip ibu atau ayahnya. Sebagai seorang anak perempuan, ia berharap diam-diam lebih mirip ayahnya.

Seperti biasanya, ia memasang telinga, bersiap mendengarkan obrolan orang tuanya, ingin mencari informasi penting.

Selama satu bulan ini, ia hanya makan, buang air, dan tidur. Selain mengetahui bahwa tubuh ini memiliki ayah, ibu, dan kakak-kakak, ia belum berhasil mengumpulkan informasi lain. Kemampuan khususnya pun belum menunjukkan tanda apa pun.

“Apakah Mina hari ini bersikap manis? Tidak rewel, kan?” tanya ayahnya.

“Manis sekali. Jauh lebih mudah diurus dibanding dua kakaknya. Hanya saja, air susu saya tidak cukup, tubuhnya masih kurus,” jawab sang ibu.

“Kau mengapa pulang lebih awal hari ini?”

“Ada yang mencuri bahan obat. Atasan marah besar dan mengatakan akan menindak tegas. Jadi kami dipulangkan lebih awal.”

Mendengar kata “mencuri bahan obat”, telinga Jo Mina seketika terasa tegang. Ia berusaha mendengarkan lebih jelas. Ada rahasia apa? Apakah ayahnya akan terseret masalah?

Kemudian terdengar suara lirih ibunya,

“Jangan-jangan… kau yang ketahuan mengambilnya? Sudah kubilang jangan ambil, jangan ambil!”

Jo Mina: … (⊙▽⊙)???

Ayahku yang tampan ini… melakukan hal seperti itu? Apa ini perkembangan alur yang aneh?

“Aku tidak sebodoh itu. Tenang saja. Aku hanya mengambil sepertiga bagian. Sisanya diambil oleh orang-orang atasan,” jawab ayahnya santai.

“Itu tetap berbahaya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu!”

Keduanya terus berbicara pelan, seolah saling bertukar kiat mencuri.

Jo Mina merasa hatinya bergejolak hebat, benar-benar terpukul oleh kenyataan ini.

Ayah kandungnya… apa sebenarnya latar belakang orang ini?!

Wajahnya seakan malaikat, tetapi kelakuannya…?

Ketika ia masih tercengang, suara langkah kaki terdengar dari luar.

Disusul ketukan pintu.

“Tok tok tok.”

“Cii-uu.”

Pintu terbuka, dan cahaya senja di luar sudah setengah gelap.

Seorang remaja laki-laki membawa udara panas dari sore yang pengap ketika masuk.

Itulah kakak laki-lakinya, Jo Feng.

Ia menenteng sebuah keranjang bambu besar.

Melihat itu, Jo Mina langsung mencoba menengok—pasti ada sesuatu yang enak… sesuatu yang bagus…

Kakak sulung Jo Feng sangat mirip ibu mereka—versi laki-laki dari Ibu pada masa mudanya.

Alis tebal, mata besar, wajah bulat, tampak jujur dan dapat dipercaya.

Ia meletakkan keranjang itu, lalu menyingkirkan rumput-rumput di atasnya.

Benar saja, dari dalam ia mengeluarkan seekor ayam hutan berekor panjang…

Mata Jo Mina langsung berbinar, kedua matanya berkelip-kelip.

“Ayah, Ibu, aku berburu ayam hutan. Bagus untuk kesehatan. Ini untuk Ibu makan.”

Ekor ayam hutan itu sungguh indah, seperti ekor burung merak kecil—penuh warna. Kepala kecil Jo Mina terangkat sendiri karenanya.

Ayah yang menggendongnya mengubah arah gendongan agar ia bisa melihat dengan lebih jelas. Lalu ayah mulai menegur:

“Feng, kau pergi berburu ke Gunung Huayuan lagi. Bukankah Ayah sudah bilang? Gunung itu milik Tuan Zhao dari kota. Tuan Zhao orangnya kejam. Kalau kalian ketahuan berburu di hutan miliknya, kalian bisa dipukuli sampai mati.”

Hati Jo Mina ikut mencelos. Beginilah kehidupan keras pada masyarakat lama—memburu seekor ayam saja bisa mengancam nyawa.

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku pergi bersama putra Ketua Dusun dan Tuan Muda dari keluarga Liu. Keluarga Liu pernah melahirkan seorang *juren. Kalau pun ketahuan, ada mereka yang menanggung dulu. Pasti tidak apa-apa.” (*gelar pelajar Tingkat 2)

Jo Feng tetap dengan wajah jujurnya.

Jo Mina: … (⊙▽⊙)???

Si kakak beralis tebal ini ternyata punya sisi licik? Ini…

“Ayah, Ibu, aku bersihkan ayamnya dulu,” ujar Jo Feng cepat-cepat sambil mengangkat ayam itu dan lari ke dapur, takut dimarahi lagi.

Melihat bulu ekor yang berwarna-warni itu, Jo Mina masih ingin melihatnya lebih lama. Ia menoleh ke kiri dan kanan, matanya mengikuti.

Ayah begitu perhatian—beliau memutar tubuh agar Jo Mina bisa tetap melihat.

Lalu Jo Mina menyaksikan si kakak remaja yang beralis tebal itu, dengan gerakan cepat menurunkan pisau.

Ayam hutan yang begitu hidup dan cantik, dalam sekejap menjadi bangkai ayam. Setelah disiangi dan dicabut bulunya, ukurannya kecil sekali—hampir seperti anak ayam, hanya lehernya lebih panjang sedikit.

Saat kakaknya membunuh ayam, kakak perempuannya, Jo Yu, pulang.

Akhirnya seluruh anggota keluarga lengkap.

Jo Yu juga sangat mirip ibu mereka—seorang gadis kecil berwajah bulat.

Gen sang ibu tampaknya sangat kuat, sampai membuat Jo Mina sedikit khawatir tentang masa depannya sendiri.

Kakak perempuan itu masuk dengan berloncatan kecil.

Karena ayah keluar membantu, Jo Mina kembali berada dalam pelukan ibunya.

“Ibu, lihat ini!”

Jo Yu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya. Ketika dibuka, isinya adalah serbuk lembut berwarna pucat, dengan aroma manis yang samar.

Jo Mina mengendus, mencoba memastikan apakah indra penciumannya sudah berkembang. Sepertinya sudah.

“Ibu, hari ini aku membantu memasak di rumah Tuan Tanah Liu. Pengurus rumah bilang aku bekerja cepat, jadi aku diberi hadiah kue osmanthus. Semua ini kubawa pulang.”

Kue osmanthus? Jo Mina melihat serbuk itu—tadi ia sempat mengira bubuk itu semacam obat bius… Eh, pikirannya memang agak salah arah.

Saat melihat kakaknya berbicara sambil menelan ludah, jelas ia sangat ingin makan, tetapi tidak memakannya.

Ini anak jujur sekali!

“Biasanya A-Cui yang pergi. Mengapa hari ini giliranmu?” tanya sang ibu.

Jo Yu menoleh ke kiri dan kanan, lalu mendekat dan berbisik, “Semua orang di luar bilang bahwa para penjaga di rumah Tuan Liu punya hubungan gelap dengan A-Cui. Tunangannya datang membuat keributan. Pengurus rumah mendengar itu, jadi mereka tidak mau A-Cui bekerja lagi.”

Jo Mina yang juga memasang telinga, tercengang. Tidak menyangka di desa kecil pun ada skandal seperti ini.

Lalu ia melihat ibunya—dengan tangan besar yang tidak sedang memeluknya—mengetuk dahi Jo Yu.

“pasti kau yang menyebarkan gosip itu. Bagaimana bisa kau berbuat begitu? Menyebarkan kabar seperti itu dapat menghancurkan kehidupan orang.”

Jo Yu cemberut dan berbisik membela diri, “Tapi itu benar. A-Cui sendiri yang pamer. Penjaga Wu bahkan memberinya tusuk rambut perak. Ia sudah bertunangan, tapi masih menggoda laki-laki lain.”

Jo Mina: … (⊙▽⊙)???

Kakak ini cukup… ganas. Persaingan di tempat kerja ternyata kejam sekali—semua demi dapat giliran kerja sambilan! Hanya demi sepotong kecil kue osmanthus!

Mulut kecil Jo Mina terbuka karena terkejut.

Lalu sesuatu menyentuh bibirnya—ibunya memasukkan sedikit bubuk kue osmanthus itu ke dalam mulutnya.

Rasanya manis. Ia menjilat sedikit, menelan, lalu membuka mulut lagi…

“Kau ini anak bandel. Tidak takut ketahuan menyebarkan kabar seperti itu? Itu juga buruk bagimu. Kalau benar ingin menggantikan A-Cui, lebih baik kau cari cara membuat ibunya jatuh dan kakinya terkilir. Kalau ibunya harus dirawat, A-Cui pasti tidak bisa pergi bekerja. Kau yang akan dipanggil.”

Jo Mina yang sedang makan kue osmanthus, ternganga memandang ibu bersikap lembut dan berwajah bulat itu.

“Uhuk, uhuk…”

Ia hampir tersedak…

Kue osmanthus ini ternyata agak kering!