Retakan di Balik Topeng
Aisha terbangun dengan perasaan gelisah. Pagi itu, sinar matahari menyusup melalui jendela kamarnya yang besar, tapi cahaya itu tak mampu mengusir kegelapan yang terus menghantui pikirannya. Pesta tadi malam meninggalkan rasa aneh yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terus berbisik, sesuatu yang mengatakan bahwa semua ini akan segera berubah.
Dia melangkah menuju meja riasnya, menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang selalu tampak sempurna, sesuai harapan semua orang. Namun di balik itu, Aisha melihat seorang gadis yang lelah, terperangkap dalam peran yang dia mainkan terlalu lama. Dia meraih topeng kecil yang dia pakai semalam, memutar-mutar benda itu di tangannya. Simbol dari kebohongan yang terus dia pertahankan.
Pikiran Aisha melayang ke percakapan semalam, ketika seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya di pesta. Bukan dengan pujian seperti orang lain, tapi dengan sebuah peringatan.
“Ada sesuatu yang harus kamu ketahui,” katanya pelan, hampir seperti bisikan, sambil menyerahkan secarik kertas kecil. “Ini bukan dunia yang kamu kira, Aisha.”
Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan Aisha dengan perasaan campur aduk. Dia membuka lipatan kertas itu setelah tiba di rumah. Pesan singkat di sana membuat jantungnya berdebar lebih cepat:
“Kamu sedang diawasi. Jangan percayai siapa pun, bahkan keluargamu sendiri. Jika ingin jawaban, temui aku di Kafe Tua, pukul sembilan malam.”
Aisha meremas kertas itu, rasa takut dan penasaran bergulat dalam dirinya. Siapa pria itu? Apa maksudnya dengan “diawasi”? Dan yang lebih penting, kenapa dia merasa ini ada hubungannya dengan Reza dan apa yang dia ungkapkan tentang Paman Omar?
---
Malam itu, Aisha mengenakan jaket sederhana dan celana panjang hitam—sesuatu yang jarang dia pakai. Dia memutuskan untuk menemui pria asing itu, meskipun suara-suara di kepalanya terus memperingatkan bahwa ini bisa saja jebakan.
Kafe Tua terletak di pinggiran kota, jauh dari gemerlap dunia yang biasa Aisha tempati. Tempat itu terlihat usang, dengan papan nama yang sudah pudar dan lampu yang berkelap-kelip seolah hampir padam. Ketika dia masuk, aroma kopi yang kuat dan obrolan pelan beberapa pelanggan menyambutnya. Di sudut ruangan, dia melihat pria itu duduk sendirian, mengenakan jaket kulit cokelat.
“Aisha,” panggilnya begitu dia mendekat. “Kamu datang.”
“Siapa kamu?” tanya Aisha langsung, suaranya tegas meskipun hatinya berdebar. “Apa yang kamu tahu tentang aku?”
Pria itu menghela napas panjang, menatap Aisha dengan mata yang penuh dengan keprihatinan. “Namaku Zidan. Aku... dulunya bekerja untuk Paman Omar. Tapi sekarang, aku hanya ingin memperingatkanmu.”
Aisha mengerutkan kening. “Memperingatkanku tentang apa?”
Zidan mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya merendah. “Dunia yang kamu pikir kamu kenal hanyalah ilusi. Keluargamu, bisnis mereka, kekuatan mereka—semuanya terkait dengan sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang bisa kamu bayangkan.”
“Dan Paman Omar?” tanya Aisha, suaranya nyaris tak terdengar.
Zidan mengangguk pelan. “Dia adalah bagian besar dari ini. Tapi dia bukan satu-satunya. Ada kekuatan yang lebih besar yang bermain di balik layar, dan keluargamu, termasuk kamu, berada di tengah-tengahnya.”
Aisha menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Zidan. “Kalau begitu, kenapa kamu ada di sini? Kenapa kamu tidak melaporkan semua ini kepada pihak berwenang?”
Zidan tersenyum kecil, tapi senyuman itu pahit. “Karena ini bukan sesuatu yang bisa dilaporkan begitu saja. Mereka punya orang-orang di setiap lapisan, bahkan di pemerintahan. Kalau aku melawan mereka secara terang-terangan, nyawaku akan berakhir dalam sekejap. Itu sebabnya aku butuh bantuanmu.”
Aisha memandangnya dengan curiga. “Membantumu? Kenapa aku harus percaya padamu?”
Zidan menarik napas dalam, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Dia meletakkannya di meja di depan Aisha. “Buka ini. Kamu akan mengerti kenapa aku mengatakan semuanya.”
Dengan tangan gemetar, Aisha membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa foto, dokumen, dan salinan pesan-pesan rahasia. Salah satu foto membuat jantungnya berhenti—foto Paman Omar sedang berbicara dengan seorang pria asing di tempat yang tampak seperti markas tersembunyi. Di latar belakang, ada simbol yang Aisha pernah lihat dalam dokumen rahasia Reza.
“Ini... ini tidak mungkin,” bisik Aisha.
“Tapi ini kenyataan,” kata Zidan tegas. “Kalau kamu tidak melakukan sesuatu, bukan hanya keluargamu yang akan hancur, tapi semua orang yang terlibat dengan bisnis mereka.”
Aisha memejamkan mata, merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa topeng yang dia kenakan bukan hanya untuk menyembunyikan dirinya dari dunia luar, tapi juga untuk melindungi dirinya dari kebenaran yang selama ini dia tolak.
Namun kini, dia tak bisa lagi berpura-pura. Waktunya melawan telah tiba.
**
Aisha duduk diam di depan Zidan, jantungnya berdebar kencang. Dokumen-dokumen yang terhampar di meja kafe itu seperti bom waktu yang siap meledak. Fakta-fakta yang baru saja dia lihat membuat segalanya terasa lebih suram dari yang pernah dia bayangkan. Namun, sebuah pertanyaan terus berputar di pikirannya.
“Kenapa aku?” tanya Aisha akhirnya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. “Kenapa kamu pikir aku bisa melakukan sesuatu tentang ini? Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”
Zidan menatapnya tajam, seolah mencoba menilai apakah dia cukup kuat untuk mendengar jawabannya. “Karena kamu adalah bagian dari mereka, tapi juga bukan. Mereka melihatmu sebagai wajah yang sempurna, boneka yang hanya menjalankan peran tanpa berpikir. Itu membuatmu tak terlihat oleh mereka. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda.”
Aisha mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Kamu punya kekuatan yang bahkan mungkin kamu sendiri belum sadari,” jawab Zidan. “Mereka sudah meremehkan mu, dan itu adalah senjatamu yang paling kuat. Kalau kamu bisa menemukan cara untuk mendekati Omar, memanfaatkan kepercayaan mereka, kamu bisa mendapatkan lebih banyak bukti. Bukti yang cukup untuk menghancurkan mereka.”
Aisha menggeleng perlahan. “Aku tidak tahu apa yang kamu harapkan dariku. Aku bukan detektif, apalagi seorang pejuang. Aku hanya... aku hanya seseorang yang terjebak dalam peran yang tidak pernah aku inginkan.”
Zidan tersenyum kecil. “Itu yang membuatmu berbeda. Kadang, orang-orang yang paling tidak diharapkan adalah yang paling berbahaya. Kamu tidak perlu menjadi pejuang. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri—dan mendengarkan intuisi kamu.”
Aisha ingin membantah, tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Zidan. Selama ini, dia berpikir bahwa topeng yang dia kenakan adalah kelemahannya, sesuatu yang membuatnya rapuh. Tapi sekarang, dia mulai menyadari bahwa mungkin topeng itu bisa menjadi pelindung dan senjata sekaligus.
Sepulang dari kafe, Aisha merasa kepalanya penuh dengan pikiran. Dia tidak langsung kembali ke rumah, melainkan menyetir tanpa tujuan, mencoba menenangkan diri. Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, dan bayangan kota yang berkilauan di kejauhan hanya menambah rasa sepi yang menggerogotinya.
Ketika akhirnya dia tiba di rumah, suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang tidak bisa dia jelaskan. Aisha melangkah masuk ke ruang tamu yang besar dan mewah, tapi kosong. Hanya ada satu orang yang duduk di sana, menunggunya.
“Aisha,” suara berat itu membuatnya terhenti. Reza.
“Kamu kemana saja?” tanya Reza, tatapannya penuh dengan kekhawatiran yang tersembunyi di balik nada dinginnya. “Aku sudah mencari kamu sepanjang malam.”
Aisha mencoba tetap tenang. “Aku butuh waktu sendiri. Setelah semua yang kamu katakan, aku merasa perlu berpikir.”
Reza berdiri dan melangkah mendekatinya. “Kamu tidak boleh pergi begitu saja tanpa memberitahuku. Kita sedang dalam situasi yang berbahaya. Paman Omar mungkin sudah tahu bahwa kita mencurigainya. Setiap langkah kita bisa diawasi.”
Aisha menahan napas sejenak. Kata-kata Zidan kembali terngiang di telinganya: "Kamu sedang diawasi." Tapi dia tidak ingin memberi tahu Reza tentang pertemuannya dengan Zidan—belum. Dia belum yakin siapa yang benar-benar bisa dia percayai.
“Aku mengerti,” jawab Aisha akhirnya, suaranya terdengar tenang. “Aku hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya. Aku janji akan lebih hati-hati.”
Reza mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Baik. Tapi mulai sekarang, jangan lakukan apa pun sendirian. Kita harus bekerja sama.”
Aisha mengangguk, meskipun dalam hatinya dia tahu bahwa perjalanan ini akan dia lalui sendiri—setidaknya untuk saat ini.
Keesokan harinya, Aisha kembali ke rutinitasnya sebagai “Putri Pesta.” Dia menghadiri pertemuan keluarga, tersenyum kepada tamu-tamu bisnis yang datang ke rumah, dan menjalani hari-harinya seolah tidak ada yang berubah. Tapi di balik senyumnya, pikirannya terus bekerja. Dia mulai memperhatikan detail kecil—gerak-gerik Paman Omar, percakapan-percakapan yang terdengar biasa tapi terasa memiliki lapisan lain di baliknya.
Saat makan malam keluarga, Aisha menangkap sesuatu yang mencurigakan. Paman Omar berbicara tentang perjalanan bisnis ke luar negeri, tapi ada jeda aneh dalam cara dia berbicara. Tatapannya berkali-kali mengarah ke ayah Aisha, seolah mencoba membaca reaksinya.
Aisha berpura-pura tidak peduli, tapi dia menyimpan setiap detail dalam pikirannya. Jika Zidan benar, maka inilah saatnya dia mulai mengumpulkan bukti.
Malam itu, saat semua orang sudah tidur, Aisha menyelinap keluar dari kamarnya dan menuju ruang kerja Paman Omar. Dia tahu ini berisiko, tapi dia tidak punya pilihan. Ketika dia membuka pintu, suara derit kecil membuatnya berhenti. Dia menahan napas, memastikan tidak ada yang mendengarnya.
Ruang kerja itu gelap dan penuh dengan aroma kayu tua. Di atas meja, ada tumpukan dokumen yang tampak biasa. Tapi saat Aisha mulai memeriksa, dia menemukan sesuatu yang aneh—sebuah map merah dengan simbol yang sama seperti yang dia lihat di foto dari Zidan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar pintu. Aisha panik. Dengan cepat, dia menyembunyikan map itu di balik bajunya dan mematikan lampu. Pintu mulai terbuka perlahan.
“Siapa di sana?” Suara Paman Omar menggema di ruangan.
Aisha menahan napas, tubuhnya kaku di balik rak buku. Jika dia ketahuan, segalanya bisa berakhir sebelum dia sempat memulai.
**
