Labirin Kebohongan
Aisha menahan napas, tubuhnya bersandar ke rak buku tua yang menimbulkan aroma kayu lapuk. Ruangan itu begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui celah kecil di tirai. Suara langkah kaki Paman Omar bergema pelan, mendekat ke arah meja.
"Siapa pun itu, lebih baik kau keluar sekarang," kata Paman Omar dengan nada rendah, hampir seperti ancaman.
Jantung Aisha berdegup kencang, seolah akan melompat keluar dari dadanya. Dia mencoba berpikir cepat. Jika dia tertangkap, semua akan berakhir. Tetapi jika dia membuat kesalahan sekecil apa pun, konsekuensinya bisa jauh lebih buruk.
Paman Omar berhenti di dekat meja kerjanya, menatap sekeliling dengan kecurigaan yang jelas di wajahnya. Tangan Aisha meremas map merah yang tersembunyi di balik bajunya. Dia tahu tidak ada jalan keluar selain bertindak cepat.
Ketika Paman Omar berbalik sejenak, Aisha mengambil kesempatan itu. Dengan langkah ringan namun cepat, dia menyelinap ke pintu dan berlari keluar. Langkah kakinya terdengar samar di lorong panjang, tetapi dia tahu dia tidak bisa berhenti sekarang.
"Aisha?" suara Paman Omar memecah keheningan, diikuti dengan derap langkah kakinya yang lebih cepat.
Aisha berlari menuju tangga menuju lantai atas, berharap bisa mencapai kamarnya sebelum dia tertangkap. Dalam gelap, dia hampir tergelincir, tetapi berhasil menjaga keseimbangannya. Sesampainya di kamarnya, dia menutup pintu dengan pelan, mengunci kunci, dan bersandar ke dinding, mencoba mengatur napas.
Dari balik pintu, suara langkah kaki Paman Omar berhenti. "Aisha, apa kau bangun?" tanyanya dengan nada lembut, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Aisha meremang.
Dia tidak menjawab. Detik-detik berlalu dengan sunyi yang mencekam, hingga akhirnya langkah kaki itu menjauh.
Aisha menghela napas lega, meskipun rasa takut masih mencengkeram dirinya. Dia mengambil map merah dari balik bajunya dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, dia membuka map itu.
Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang membuat matanya membelalak. Ada daftar nama-nama, transaksi keuangan dengan jumlah besar, serta rencana-rencana rahasia yang melibatkan perusahaan keluarga mereka. Tapi yang paling mencuri perhatian Aisha adalah foto sebuah bangunan—tempat yang tampak seperti gudang tua di pinggiran kota, dengan simbol misterius yang sama seperti yang dia lihat di dokumen-dokumen sebelumnya.
Aisha menyadari bahwa tempat itu bisa menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran. Tetapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Dia harus bertemu Zidan lagi.
Keesokan harinya, Aisha berusaha bersikap biasa. Dia menghadiri pertemuan keluarga, berinteraksi dengan para tamu, dan tersenyum seperti biasa. Namun, pikirannya terus-menerus memikirkan apa yang telah dia temukan.
Ketika malam tiba, dia membuat alasan untuk keluar rumah, mengatakan kepada Reza bahwa dia akan menemui teman-temannya. Dengan hati-hati, dia membawa map merah itu bersamanya, menyembunyikannya di dalam tas kecil.
Dia kembali ke Kafe Tua, tempat di mana Zidan menunggunya sebelumnya. Namun kali ini, suasana di sana terasa lebih sunyi, hampir menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Zidan.
Aisha duduk di sudut yang sama, menunggu dengan gelisah. Beberapa menit berlalu, berubah menjadi setengah jam. Ketika dia hampir kehilangan harapan, seseorang tiba-tiba duduk di hadapannya.
Namun, itu bukan Zidan.
Pria yang duduk di depannya adalah seseorang yang tidak dia kenal—berpenampilan rapi, mengenakan setelan gelap, dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca.
“Aisha,” katanya, suaranya dingin namun tenang. “Kamu sudah terlalu jauh.”
Aisha menegang. “Siapa kamu? Dan apa maksudmu?”
Pria itu tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak mencapai matanya. “Aku hanya ingin memberimu peringatan. Apa yang sedang kamu lakukan adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jika kamu tidak berhenti sekarang, bukan hanya kamu yang akan menderita, tetapi semua orang yang kamu sayangi.”
Aisha mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. “Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
Pria itu mendekatkan tubuhnya, berbicara dengan suara rendah. “Kami tahu kamu bertemu dengan Zidan. Dan kami tahu apa yang dia tunjukkan padamu. Jika kamu pikir kamu bisa melawan kami, kamu salah besar. Ini peringatan terakhir kami.”
Sebelum Aisha sempat merespons, pria itu berdiri dan berjalan pergi, meninggalkannya dengan perasaan takut dan bingung.
Namun, peringatan itu tidak memadamkan tekad Aisha. Sebaliknya, itu membuatnya semakin yakin bahwa dia harus menemukan kebenaran, tidak peduli seberapa besar risikonya.
Dengan map merah di tangannya dan rasa takut yang mulai berubah menjadi keberanian, Aisha memutuskan untuk melanjutkan misinya—sebuah perjalanan yang akan membawanya ke dalam gelapnya dunia yang selama ini tersembunyi di balik kemewahan hidupnya.
Aisha tidak tidur malam itu. Peringatan pria misterius di kafe terus terngiang di benaknya, tapi begitu juga dengan tatapan penuh keyakinan Zidan ketika mereka terakhir bertemu. Dia tahu risiko yang dihadapinya semakin besar, tapi dia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.
Saat fajar menyingsing, Aisha menatap map merah di mejanya. Dokumen-dokumen di dalamnya masih mengungkap lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Bangunan dalam foto itu terus memanggilnya, seolah ada rahasia besar yang menunggu untuk ditemukan.
Namun, dia tidak bisa pergi ke sana tanpa rencana. Jika tempat itu benar-benar seperti yang dia curigai, maka ada kemungkinan dia sedang diawasi.
Hari itu, Aisha memutuskan untuk menemui satu-satunya orang yang dia pikir masih bisa dia percaya—Reza.
Reza menatap Aisha dengan alis terangkat saat dia melihat adiknya melangkah ke ruang kerjanya. "Apa yang kamu lakukan di sini sepagi ini?" tanyanya, sambil menyimpan dokumen di mejanya.
"Aku perlu bicara," jawab Aisha dengan nada serius. "Dan ini penting."
Wajah Reza berubah serius. Dia menunjuk kursi di depan meja dan duduk berhadapan dengan Aisha. "Baiklah. Katakan."
Aisha menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan foto bangunan dari map merah. Dia tidak menunjukkan semua isinya, hanya bagian yang bisa dia kendalikan.
"Aku menemukan ini," katanya. "Tempat ini muncul di beberapa dokumen lama yang aku temukan di ruang kerja Paman Omar."
Reza memandang foto itu dengan seksama, lalu mengerutkan kening. "Aku tidak mengenali tempat ini. Apa kamu yakin ini penting?"
"Aku tidak yakin," jawab Aisha, mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Tapi aku punya firasat tempat ini bisa jadi kunci untuk mengungkap sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak pernah kita sadari tentang keluarga kita."
Reza menatap Aisha dengan ragu. "Aisha, apa kamu sadar betapa berbahayanya ini? Kalau benar Paman Omar terlibat dalam sesuatu yang gelap, maka menyelidiki ini bisa membuat kita berada di posisi yang sama seperti dia."
"Itulah sebabnya aku tidak bisa melakukannya sendirian," Aisha menatap Reza dengan mata penuh harapan. "Aku butuh bantuanmu. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Reza terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Aku akan mencari tahu lebih banyak tentang tempat ini. Kamu, tetap lakukan seperti biasa. Jangan sampai Paman Omar curiga."
Dua malam kemudian, Aisha dan Reza menyusup ke bangunan tua yang ada dalam foto. Gudang itu terletak di area industri yang sudah lama ditinggalkan, dikelilingi oleh pagar tinggi dan semak belukar yang lebat. Mereka tiba di sana lewat tengah malam, mengenakan pakaian serba hitam untuk menyamarkan keberadaan mereka.
Aisha merasakan angin malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi dia menahan gemetar, fokus pada apa yang ada di depan. Reza memotong rantai di pintu masuk menggunakan alat yang dia bawa. Suara rantai itu terdengar keras di tengah kesunyian malam, membuat mereka berdua berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada yang mendengar.
Setelah masuk, mereka menemukan gudang itu gelap dan berdebu. Namun, ada sesuatu yang aneh—seolah-olah tempat itu baru saja digunakan. Ada jejak kaki di lantai berdebu, dan di salah satu sudut, ada lampu neon kecil yang berkedip pelan, menandakan keberadaan generator listrik.
"Ada seseorang di sini," bisik Reza.
Aisha mengangguk. Mereka bergerak lebih dalam, mengikuti jejak kaki yang menuju pintu kecil di bagian belakang gudang. Pintu itu terkunci, tapi Reza berhasil membukanya dengan mudah menggunakan pisau kecil yang dia bawa.
Ketika mereka masuk, pemandangan di depan mereka membuat mereka terdiam.
Ruangan itu dipenuhi dengan peralatan komputer canggih, layar monitor yang menampilkan peta, grafik, dan data yang sulit dimengerti. Di tengah ruangan, ada meja besar dengan dokumen-dokumen yang tersebar di atasnya.
"Ini... ini seperti pusat operasi rahasia," gumam Aisha.
Reza mendekati salah satu monitor, mencoba membaca data yang ada di sana. "Ini daftar nama," katanya pelan. "Dan mereka semua memiliki hubungan dengan keluarga kita. Apa-apaan ini?"
Sebelum Aisha sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar. Mereka berdua saling berpandangan dengan panik.
"Kita harus pergi," bisik Reza.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, pintu ruangan itu terbuka dengan keras.
"Akhirnya kalian datang," kata suara dingin yang sudah tak asing lagi.
Aisha membeku saat melihat Paman Omar berdiri di ambang pintu, bersama dua pria berpenampilan tegap yang tampak seperti pengawal.
"Sudah kubilang," lanjutnya, sambil melangkah masuk ke ruangan. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kalian ketahui."
Aisha dan Reza saling berpandangan, menyadari bahwa mereka telah berjalan ke dalam perangkap. Namun, di balik ketakutan yang menggerogoti dirinya, Aisha tahu bahwa ini bukan akhir. Dia harus menemukan cara untuk melawan.
"Kalian benar-benar bodoh jika berpikir bisa melawan aku," kata Paman Omar sambil tersenyum dingin. "Sekarang, mari kita bicarakan apa yang akan terjadi pada kalian."
Namun, sebelum Paman Omar melanjutkan, suara ledakan kecil terdengar dari arah depan gudang, diikuti dengan suara sirine yang melengking.
"Polisi?" bisik Reza, tercengang.
Aisha merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah ini kerja Zidan? Ataukah ini hanya kebetulan?
Dalam kekacauan yang terjadi, Aisha tahu bahwa ini adalah kesempatan mereka untuk melarikan diri. Tapi dia juga tahu, jika mereka pergi sekarang, mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan mereka.
Dan kali ini, dia harus memutuskan: melarikan diri, atau tetap bertahan untuk melawan.
**
