Pustaka
Bahasa Indonesia

Psycopath Revenge

117.0K · Ongoing
Indriani sonaris
84
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Kau membuatku menjadi sosok devil yang tak memiliki hati. Kau menghancurkan hidupku dan mengkhianatiku,, jangan harap aku akan melepaskanmu. Aku akan membalaskan sakit hatiku padamu dan pria brengsek itu. - Farel Ray WinstonSampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah menjadi milikku. Aku akan memperjuangkannya dan mempertahankannya, tidak perduli walau nyawa taruhannya. - Pradhika Reynand Adinata

One-night StandDokterPengkhianatanRomansaBillionaireRevengeMenyedihkanDewasaPerselingkuhanBaper

Bab 1

 

Pagi yang cerah di AMI hospital, dedaunan yang berembun membuat sejuk cuaca pagi ini. Di parkiran khusus para dokter, datanglah sebuah mobil Mazda RX-8 berwarna merah maroon. Mobil itu berhenti di dekat sebuah mobil BMW milik salah seorang dokter yang bekerja disana.Tak lama keluarlah seorang wanita dengan memakai rok sepan berwarna hitam di padu dengan kemeja berwarna merah yang bagian lengannya sudah dilipat hingga siku. Wanita dengan perawakan yang terbilang mungil bagi ukuran para wanita biasanya. Rambut panjang pirangnya di ikat kuda sehingga memperlihatkan leher jenjang putihnya. Wanita yang memiliki paras cantik khas Spanyol dengan mata biru terangnya menambah kesempurnaan kecantikannya. Wanita itu menyambar tas berwarna hitamnya dan di sampirkan ke bahu sebelah kirinya lalu menutup pintu mobil dan beranjak memasuki area rumah sakit.

Langkahnya sangat ringan dan anggun. Rambutnya terombang ambing mengikuti langkahnya. "pagi dokter Claudya" sapa dokter Reza. Dia adalah Dokter Claudya Ananda Lawrent dari keluarga Lawrent yang berasal dari Negara Spanyol. Dia adalah seorang dokter bedah spesialis Anestesi Kardiovaskuler di tim operasi 1. Claudya merupakan Spesialis Anestesi terbaik di AMI Hospital.

"Pagi dokter Reza, bagaimana persiapan operasi pagi ini?" tanya Claudya

"Sudah siap semuanya, tapi dokter Thalita dan dokter Dhika belum terlihat," jawab Reza.

"Baiklah, nanti aku akan kembali memeriksa kondisi pasien,” ujar Claudya hendak berlalu pergi sebelum akhirnya suara Reza kembali mengintruksikannya.

“Dokter, kamu sudah dengar kalau dokter Chaily sudah kembali.”

“Dokter Chailly kembali? Serius kamu? wah syukurlah jadi tim satu kembali lagi,” ucap Claudya begitu bahagia. ‘Aku sudah sepet melihat wajah munafik dari Thalita,’ batin Claudya.

“Katanya dia akan menggantikan dokter Thalita untuk sementara waktu, saat nanti dia mengambil cuti melahirkan,” jelas Reza dan Claudya hanya tersenyum puas mendengarnya.

"Baiklah, aku akan keruanganku dulu," ucap Claudya berlalu pergi.

Claudya memasuki ruangannya dan memakai jas dokter miliknya. Setelahnya, dia membuka sebuah map berwarna hijau di atas mejanya, dan sesuatu jatuh ke lantai. “Undangan apa ini?” gumamnya seraya memungut undangan berwarna gold itu.  

Ternyata itu adalah undangan pesta temannya saat kuliah dulu. Dia mengadakan party di salah satu club malam yang cukup terkenal di Jakarta. Claudya segera menyimpan undangan itu dan membaca isi map di tangannya yang berisi tentang perkembangan hasil medis salah satu pasien.  Setelah membaca dan  memahami isi dari berkas itu, Claudya beranjak dengan membawa stetoschope miliknya menuju ruangan UGD.  

Sesampainya di UGD, ia mulai memeriksa kondisi pasien seorang wanita lanjut usia yang akan melakukan Tranplantasi Jantung siang ini. Setelah memastikannya, Claudya berjalan menuju  ruangan Dhika. Dimana Dhika saat ini memegang posisi Direktur utama di AMI Hospital pengganti Hans pamannya. Tetapi Dhika masih ikut turun tangan untuk melakukan operasi walau tidak sesering biasanya.

Dhika merupakan dokter spesialis bedah Thoraks dan Kadiovaskuler, dan merupakan ketua operasi di tim 1. Claudya mengetuk pintu besar dan kokoh berwarna coklat itu. Setelah ada sahutan dari dalam, ia memasuki ruangan dan terlihat sosok dokter tampan yang duduk dengan tegap dan tenang di kursi kebesarannya, aura maskulin dan penuh intimidasi mendominasi ruangan itu. Claudya sempat terpaku sesaat menatap laki-laki tampan tak jauh di hadapannya. Pria yang begitu ia cintai, bahkan sampai detik ini dimana pria itu sudah memiliki seorang istri.

            “Bagaimana?” tanya Dhika membuyarkan lamunan Claudya. Claudya mengerjapkan matanya dan tatapannya langsung beradu dengan mata madu tajam milik Dhika yang tengah menatapnya. Ia berjalan mendekati meja kerja Dhika dan menyerahkan laporan medis padanya.

            “Ini hasil medis Ny. Anin, Dok. Pasien bisa melakukan operasi siang ini,” ujar Claudya menatap Dhika yang tampak mengangguk paham membaca isi map di tangannya. Claudya masih setia menatap Dhika di hadapannya dengan tatapan penuh cinta dan kekaguman. Dhika yang saat ini mengenakan kemeja birunya yang di padu dengan jas dokter terlihat begitu tampan dan Hot.

Tetapi sejak kapan sih Dhika tidak tampan? Lihatlah perawakannya yang tinggi tegap, wajahnya yang blasteran membuatnya semakin mempesona. Sorot mata coklat dan tajamnya mampu meluluhkan hati. Termasuk Claudya yang begitu menggilai sosok Dhika, walau sekarang status Dhika sudah memiliki istri dan akan segera memiliki buah hati.

 “Baiklah aku paham, kamu boleh pergi dokter Claudya. Dan siapkan untuk operasi siang ini,” ucap Dhika dengan nada tenang.

            “Baiklah Dokter, saya permisi.” Claudya segera keluar dari ruangan Dhika dan berjalan menuju ruangannya.

 

            Saat ini semua Dokter dari kelompok 1 sudah berada di dalam ruang operasi dengan Dokter Thalita yang merupakan istri dari Dhika sebagai asisten utama operasi. Dia masih bekerja walau sedang mengandung, dan usia kandungannya sudah memasuki usia 8 bulan. Tak lama Dhikapun muncul dengan sudah lengkap menggunakan pakaian operasinya.  

“Sudah siap semuanya?” tanya Dhika yang sedang di bantu beberapa asisten operasi memakai sarung tangan karet juga pakaian steril.

            “Saya sudah menyuntikkan 2ml penthothal dan atracurium,” ucap Claudya saat Dhika sudah bergabung di tengah-tengah mereka. “operasi sudah bisa di mulai.”

            “Baiklah, ayo kita mulai operasinya,” ucap Dhika.

“Pisau bedah.” Suster Meliana yang bertugas menjadi asisten Dhika segera menyodorkannya. Dhika mulai menyayat dada pasien dengan Thalita yang sigap mengusap darah yang keluar.

Dhika mulai melakukan pembedahan pada dada pasien, hingga tak lama datang dua orang petugas dengan mendorong meja berisi organ pokok yakni jantung yang di bekukan di dalam kotak pendingin yang terbuat dari kaca. Setelah lama berkutat di sana dengan bantuan Thalita, Dhikapun mulai melakukan pencangkokan pada Jantung pasien.

“Pedal!” Meliana menyerahkannya ke tangan Dhika. “isi 50 joule,” ucapnya lagi. “shock!”

Deg deg deg

Dalam sekali hentakan, Jantungpun langsung berdetak. Dan Dhika mulai melakukan tahap akhir operasi.

Dhika dan Thalita bersama-sama keluar dari ruang operasi, setelah menyelesaikan operasi yang cukup memakan waktu. Keduanya berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Dhika bahkan sempat berhenti berjalan dan menyeka keringat di kening Thalita membuat Thalita tersenyum.  “Kita langsung makan siang bersama,” ucap Dhika yang di angguki Thalita.

Dhika dan Lita baru saja sampai di rumah mereka, dengan sedikit kesulitan Thalita menuruni mobil di bantu oleh Dhika. “Hati-hati saying,” ucap Dhika membantu Thalita keluar. Thalita berjalan bersama Dhika dengan memegang perut buncitnya.

Dhika membawa Thalita menuju kamar mereka, dan membantu Thalita untuk duduk di atas ranjang. “Kamu lelah?” tanya Dhika yang di angguki Thalita. “Aku akan siapkan air hangat untuk kamu, sebentar yah Sayang.” Dhika berlalu pergi.

Thalita terdiam dan masih merenung memikirkan hidupnya. ‘Tinggal dua bulan lagi, Ya Tuhan kenapa waktu berlalu begitu cepat. Bagaimana ini? bisakah aku mengurus kedua buah hatiku nanti?’ Thalita tersentak saat merasakan sesuatu yang lembut membelai pipinya.

“Melamun apa sih?” tanya Dhika yang ternyata sudah duduk di hadapannya.

            “Bukan apa-apa, Sayang,” ucap Lita berusaha untuk tetap tersenyum. ‘Kenapa aku merasa Thalita tengah menyembunyikan sesuatu dariku?’ batin Dhika. “Baiklah, ayo aku antar kamu ke kamar mandi.”    

Satu jam sudah berlalu, Thalita tengah menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Menunggu Dhika yang sedang membuatkan makanan dan susu hamil. “Sayang, sedang apa kalian di dalam? Mama sangat tidak sabar menantikan kelahiran kalian berdua,” ucap Thalita mengusap perut buncitnya. Thalita memang sudah mengetahui kalau saat ini dia tengah mengandung dua orang bayi, atau lebih tepatnya anak kembar.

            Aku mohon, ijinkan aku bersama Dhika. aku ingin menebus semua kesalahanku dan bersamanya. Setelah itu aku akan menuruti keinginan kamu, Mas…

            Baiklah,, satu tahun ku beri kamu kesempatan untuk kembali bersama bajingan itu. Setelah itu, aku akan kembali merebutmu dan kita meninggalkan Negara ini. Kalau kamu ingkar, jangan harap Vino dan juga laki-laki yang kamu cintai itu selamat….

            “Hikzz…Mama harus bagaimana?” isak Thalita yang tak mampu lagi menahan beban ini. Mendekati kelahiran kedua anaknya, bukannya bahagia, Thalita malah merasa takut dan sedih karena itu berarti waktunya telah selesai dan dia harus meninggalkan Dhika dan juga kedua anaknya. “Dengar yah Sayang, kalau nanti Mama tidak bisa menemani kalian lagi. Tolong maafkan Mama, dan jaga Papa kalian. Mama terpaksa hanya akan membawa abang Vino, karena Mama tidak mau Papa kalian kembali hancur seperti dulu. Jadi kalian harus tetap bersama Papa dan jaga dia untuk Mama. Maafkan Mama,” isak Thalita mengusap perutnya, ia tak bisa membendung lagi kesedihan di dalam hatinya yang hampir setiap hari rasanya seperti mencekiknya. “Mama sayang kalian berdua.”

Thalita segera menghapus air matanya saat mendengar suara pintu terbuka. “Ini susunya di minum dulu, Sayang,” ucap Dhika menyodorkan gelas berisi susu coklat ke Thalita dan Thalita segera meneguknya hingga tandas. “sayang, ada apa? kamu menangis?” tanya Dhika kaget dan menghapus air mata Thalita di sudut matanya.

            “Tidak apa-apa sayang, aku sedang mengajak bicara kedua anak kita dan entah kenapa rasanya sangat terharu. Sebentar lagi mereka akan lahir ke dunia ini. Pasti rumah ini akan ramai dengan suara tawa anak-anak,” kekeh Thalita tetapi air matanya kembali luruh membasahi pipi.  Dhika menatap Thalita dengan seksama, Dhika merasa kalau Thalita menyembunyikan sesuatu darinya. Tetapi Dhika tidak ingin memaksanya.

            “Aduhh,” ringis Thalita seraya memegang perutnya.

            “Ada apa?” tanya Dhika.

            “Kedua bayi kita nendang,” ujar Lita membuat Dhika tersenyum dan mengelus perut Thalita.

            “Mereka lagi apa yah, sampe nendang-nendang begini,” kekeh Dhika membuat Thalita ikut tersenyum.

            “Aktif banget mereka,” kekeh Lita yang sama-sama mengelus bagian perut yang menonjol karena ulah kedua anak-anak mereka.

            “Tenanglah sayang, jangan menyakiti Mama kamu,” ucap Dhika mengecup perut Lita yang menonjol. Dhika sengaja mengangkat pakaian Thalita hingga memperlihatkan perut putih bulatnya. Dhika bergumam seakan membacakan doa untuk kedua buah hatinya dan mengecup perut Thalita dengan lembut. Tak lama kedua anaknya kembali tenang.

Dhika mengangkat kedua kaki Thalita ke atas pahanya. Sudah rutinitas Dhika setiap malam memijit kaki Thalita yang bengkak dan kelelahan. “kaki kamu semakin bengkak sayang, kamu harus banyak beristirahat. Sudahlah jangan melakukan lagi operasi yang membuatmu harus berdiri lama. Dokter Chaily sudah ada dan dia bisa menggantikanmu untuk sementara,” ucap Dhika.

            “Aku ingin selalu bersamamu,” ucap Lita dengan manja.

            “Kita bisa bersama sayang, aku akan makan siang di rumah dan pulang cepat,” ucap Dhika.

            “Aku tidak mau, aku ingin di sisi kamu setiap menit. Aku tidak mau jauh dari kamu, Dhika.” ucap Lita dengan sendu.

            “Ada apa Sayang? kamu terlihat takut kehilanganku?” tanya Dhika.

            “Aku hanya ingin terus bersamamu, apa salah?” Tanya Lita mengerucutkan bibirnya membuat Dhika gemas melihatnya.

            “Tidak Sayang, kamu tidak salah. Kamu boleh dekat sama aku kapanpun juga,” ucap Dhika membelai pipi Thalita dengan lembut.

            “Apa Vino sudah tidur?” tanya Lita.

            “Sudah, barus saja aku lihat dia sudah tertidur,” ucap Dhika dan Litapun mengangguk paham. Dhika masih fokus memijit pelan kedua kaki Thalita yang terlihat bengkak. Thalita menatap wajah Dhika dengan seksama.  Dhika tak pernah merasa lelah untuk memanjakan Thalita, walau di rumah sakit dia harus melakukan pekerjaan double. Sebagai Direktur utama dan Dokter bedah, karena Hans sudah mengundurkan diri dan pindah ke Negara Swedia bersama keluarganya. Tetapi Dhika tidak sendirian memimpin rumah sakit karena ada pak Handoko tangan kanan papinya dan sekarang menjadi tangan kanan Dhika. Di tambah 3 orang asistennya yang membantu Dhika mengurusi beberapa berkas di rumah sakit dan juga dia memiliki 5 orang sekretaris dengan tugas mereka masing-masing.

            “Sayang,” panggil Lita membuat Dhika menengok menatap Thalita. “apa kamu tidak merasa lelah?” Tanya Thalita

            “Tidak, apa kamu sudah mengantuk?” tanya Dhika.

            “Belum, aku masih ingin menatap wajahmu,” ujar Thalita membuat Dhika tersenyum manis dan kembali memijit kaki Thalita.

            “Jangan buat Dhika hancur lagi, Tuhan. Aku mohon, buatlah dia bahagia walau tanpa ada aku di sisinya kelak,’ batin Thalita.