Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Ngeeeeng ….

Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.

“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.

Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke belakang juga, memeriksa keberadaan jalanan mengerikan yang sudah terlewat cukup lumayan jauh.

Berhasil memastikan dirinya benar-benar sudah tak lagi berada dalam bahaya yang mampu membuat nyawanya terasa terancam, Mbah Tarjo membuang nafas panjang, merasa lega bukan main.

“Syukurlah.” Mbah Tarjo berucap sembari mengelus dadanya berulang-ulang.

“Alhamdulillah Mbah, diparingi selamet sama Gusti Allah,” kata Denjaka, menyahut.

“Inggih, Mas Den. Badan si Mbah sampai gemeteran,” timpal Mbah Tarjo masih mengelus dadanya berulang-ulang kali.

Mendengar itu, Denjaka hanya tersenyum simpul sambil terus fokus ke arah jalan yang akan ia tuju selanjutnya. Berada dekat dengan Mbah Tarjo membuat rasa rindunya kepada Mas Cahyo, mendiang ayah angkatnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu sedikit agak terobati sekarang. Jika dilihat dari penampilan fisiknya, Mbah Tarjo memang terlihat seumuran dengan almarhum Mas Cahyo meski saat ini di usianya yang sudah senja, Mbah Tarjo masih memiliki anak gadis.

Ya, Mbah Tarjo terbilang terlambat dikarunia seorang anak. Di usia pernikahannya yang ke dua puluh tahun, Mbah Tarjo memang baru dipercaya oleh Tuhan untuk dititipkan seorang keturunan.

Itulah sebabnya Mbah Tarjo sangat menyayangi Winingsih sepenuh hati. Meski keadaan ekonomi keluarganya terbilang sulit, Mbah Tarjo selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk gadis manis kesayangannya itu.

“Mbah, ngapunten nggih saya mau tanya sesuatu,” kata Denjaka lagi, membuka obrolan kembali setelah beberapa waktu saling terdiam.

“Monggo, Mas Den, monggo. Silahkan tanyakan apa saja kepada si Mbah, nanti si Mbah jawab,” balas Mbah Tarjo meninggikan suaranya agar tidak kalah dengan bisingnya angin yang coba mereka tembus bersama kuda besi kesayangan Denjaka serta suara mesin motor yang lumayan berisik.

Meski usia Mbah Tarjo terbilang jauh lebih tua dibanding usia Denjaka yang tak ada separuhnya, Mbah Tarjo tetap tak bisa membuang sebutan 'Mas' yang terlanjur melekat kepada Denjaka sebagai orang yang dihormati serta dituakan meski masih sangat muda.

Sama seperti mendiang Mas Cahyo selama hidupnya, Denjaka juga mewarisi julukan penuh kehormatan dari semua orang. Bukan Denjaka yang menginginkan, hanya saja semua orang memanggilnya demikian berkat ilmu pengetahuan serta jasa yang ia punya untuk semua orang.

“Mbah Tarjo betah tinggal di sini tanpa tetangga?” tanya Denjaka, berusaha menyusun kata demi kata dengan penuh kehati-hatian. Takut salah ucap dan menyinggung perasaan Mbah Tarjo.

Tak langsung menjawab, Mbah Tarjo terdiam beberapa saat. Matanya terus bergerak, merasakan pahitnya kenyataan yang sulit ia terima. Bukan tak ingin sebenarnya bagi Mbah Tarjo memboyong keluarga besarnya pindah dari kampung yang kini sudah berubah menjadi hutan rimba, hanya saja ia terpaksa tetap bertahan di tempat tinggalnya yang sekarang, sebab tak ada pilihan karena keterbatasan ekonomi yang ia miliki.

Bukan karena Mbah Tarjo tak berusaha keras untuk merubah nasib keluarganya menjadi jauh lebih baik lagi serta serba berkecukupan seperti apa yang selama ini menjadi mimpi-mimpinya setiap hari, akan tetapi, di usianya yang tak lagi muda, dengan tenaga yang masih tersisa, Mbah Tarjo tak bisa berbuat banyak selain mencari rebung bambu serta kayu kering untuk dijual demi memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Dengan hasil yang tak seberapa, tentu untuk bisa makan tiga kali sehari saja Mbah Tarjo sudah merasa sangat bersyukur tentunya.

Dahulu, sepanjang jalan yang sedang Denjaka lalui bersama Mbah Tarjo saat ini adalah sebuah pemukiman warga yang cukup padat penduduknya. Rumah-rumah sederhana berdiri saling berdampingan, menjadi saksi bahwa sebuah kehidupan berjalan sebagaimana mestinya.

Para warga yang dominan seorang petani, mereka sibuk menggarap sawah dan ladang milik mereka sendiri. Perekonomian mereka juga lumayan, cukup untuk hidup dan makan seluruh anggota keluarga setiap warga.

Namun, semuanya berubah setelah bencana besar melanda seluruh warga desa secara tiba-tiba. Di mana sebuah tragedi besar terjadi, yakni ketika seluruh para gadis mendadak menghilang dalam satu malam tanpa jejak.

“Ya bagaimana lagi, Mas Den. Mau tinggal di tempat lain si Mbah tidak punya uang. Jadi ya terpaksa bertahan bersama para binatang yang ada di hutan,” jawab Mbah Tarjo sebenar-benarnya, berkata jujur tentang keadaan dirinya bersama keluarga kecilnya saat ini.

Kali ini matanya tampak berkaca-kaca, cairan bening menggantung di bawah pelupuk mata ketika motor yang mereka tumpangi melaju melewati barisan makam yang sudah lama, hampir tak terlihat lagi, tertutupi semak belukar yang tumbuh liar dengan begitu sangat rindang, menutup seluruh permukaan makam serta batu-batu nisan yang masih tersisa. Kabut tebal dan asap yang entah muncul dari mana juga tampak memenuhi area makam, memperkuat pekatnya suasana yang amat begitu gelap pada area makam yang sangat mencekam, mengerikan serta menyimpan cerita seram pada kejadian puluhan tahun silam.

Pikiran Mbah Tarjo melayang, teringat pada kejadian tepat tujuh belas tahun yang lalu, dimana awal mula seluruh anak gadis di desanya menghilang tanpa sebab yang bisa dijadikan sebuah alasan. Waktu itu, semua orang sibuk membelah hutan, menjelajahi semua tempat yang tak pernah terjamah, dari ujung desa sampai ke ujung desa, tak ada satu tempat pun yang luput dari pencarian mereka semua. Meski sudah mencari kesuluh tempat, namun pencarian besar-besaran yang seluruh warga lakukan tak kunjung membuahkan hasil.

Hingga suatu hari, seorang warga tiba-tiba menemukan sebuah jejak tak biasa di dekat sebuah bangunan kokoh yang sudah kosong sejak lama, yakni sebuah tetesan panjang mirip darah kering yang tertitikan sampai ke ujung bangunan.

Dengan didorong rasa penasaran, meski merasa takut, warga tersebut mencoba mendekat selangkah demi selangkah sembari memanggul cangkul yang ia bawa. Niat hati ingin mencangkul di sawah, harus ia gagalkan karena perhatiannya teralihkan pada jejak tak biasa yang ia temukan.

Betapa ia sangat terkejut bukan main, ketika sampai di depan pintu bangunan yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, terbuka seolah menyambut kedatangannya, siap mengungkap sebuah tabir misteri yang selama ini mencoba semua orang pecahkan. Jantungnya langsung terasa copot dari tempat seharusnya, mencelos, mengundang syok tak terhingga ketika di dalam sebuah bangunan ia menyaksikan dengan mata serta kepalanya sendiri bahwa para gadis yang selama ini dicari oleh semua orang ada di sana, tergantung di langit-langit bangunan dengan posisi rambut di tarik ke atas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel