Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Negosiasi Syarat–Syarat

Senja masih menyisakan rona oranye lembut kala Della melangkah ke ruang rapat pribadi di lantai 42 Menara Rahardja. Ruang itu bernuansa minimalis: dinding kaca tembus pandang, kursi kulit krem, meja konferensi kayu walnut berbentuk oval, dan satu pot besar kaktus mini di pojok. Di ujung meja, berkas–berkas kontrak nikah telah teratur di atas baki kayu. Di sampingnya, berdiri Adrian dengan setelan abu-abu gelap, menatap catatan-catatan halus di margin tiap halaman.

Della menarik napas panjang, meneguhkan niat: hari ini adalah pembuktian diriny­a—bukan lagi gadis desa pasrah, melainkan mitra sejajar yang berhak bernegosiasi. “Selamat sore, Tuan Rahardja,” sapanya dengan suara pelan.

Adrian menoleh, ekspresinya tetap tenang. “Selamat sore, Della. Kita mulai?” Ia menggeser tumpukan dokumen ke sisi kiri meja, lalu menyerahkan satu map biru muda pada Della. “Ini draf terakhir sebelum notaris menyiapkan naskah resmi.”

Della membuka map itu. Di halaman pertama tertera jadwal dan daftar klausul: hak dan kewajiban, tunjangan finansial, larangan publikasi, serta klausul darurat. Ia menatap Adrian, berniat menyampaikan poin-poin yang masih mengganjal. “Ada beberapa hal yang ingin saya bahas lebih detail,” ujarnya.

Adrian mengangguk. “Silakan.”

---

**Della (berdiri, membuka poin 2.3):**

> *“Saya merasa klausul larangan berkontak dengan teman lama dan keluarga terlalu luas. Saya ingin memperjelas: hanya media massa yang dilarang mempublikasikan, bukan saya sendiri. Saya masih perlu berkomunikasi dengan Pak Darto, teman kampus seni, dan mungkin adik saya saat libur.”*

Adrian mengerutkan alis. “Poin itu sebenarnya untuk melindungi citra perusahaan. Media dapat menjebak isu, padahal hubungan dengan keluargamu adalah urusan pribadi.”

Della menambahkan, “Saya mengerti. Bagaimana jika kita ubah frasa ‘larangan publikasi tanpa persetujuan tertulis kedua belah pihak’ menjadi ‘larangan bagi pihak ketiga mempublikasikan tanpa persetujuan’? Saya tetap bebas menelepon keluarga, tetapi mereka tidak boleh menyebarkan.”

Adrian memiringkan kepala, menimbang. “Baik. Kita ganti sesuai usulmu. Itu tidak mengurangi perlindungan citra.”

Della mencatat perubahan di margin.

---

Map melompat ke poin 3.1: tunjangan bulanan Rp 50.000.000.

**Della (menunjuk poin 3.1):**

> *“Saya berterima kasih atas jumlah ini, tetapi saya berencana membuka studio kecil. Investasi modal akan memerlukan tambahan dana satu kali di awal. Apakah mungkin ada ‘uang muka’ proyek seni sebesar Rp 100.000.000 untuk sewa dan perlengkapan?”*

Adrian menarik napas pendek, lalu menatap Della dengan serius. “Ini kontrak pernikahan, bukan perjanjian bisnis. Tetapi aku menghargai inisiatifmu. Bagaimana jika aku alokasikan dana terpisah—‘Dana Pengembangan’ Rp 75.000.000 satu kali? Itu untuk apa saja, termasuk memulai usaha seni.”

Della tersenyum lega. “Itu sangat membantu. Saya terima.”

Adrian mengangguk, menitipkan angka tersebut ke kolom “Klausul Tambahan: Proyek Seni”.

---

Selanjutnya, poin 4.2—“Della tinggal di penthouse menara, tanpa akses ke level privat keluarga”. Della menyentuh permukaan kertas. “Saya mengapresiasi penthouse ini, tetapi saya ingin akses minimal ke dua lantai di bawahnya untuk fasilitas: gym, kolam renang, dan perpustakaan perusahaan. Itu membantu saya menjaga gaya hidup sehat dan riset.”

Adrian meneguk air mineral. “Fasilitas itu memang untuk eksekutif perusahaan. Jika kau menemani saya di acara tertentu, kau boleh mengakses area VIP. Namun akses penuh… bisa mengundang gosip.”

Della mengajukan kompromi: “Bagaimana kalau akses terjadwal? Misalnya, setiap Selasa dan Kamis sore, tanpa pengumuman publik.”

Adrian menimbang sesaat. “Baik. Aku setuju akses dua kali seminggu dengan pengawalan minimal satu staf Rahardja Corp.”

Della mengangguk puas dan mencatatnya.

---

“Poin 5.1 menyebutkan ‘Della wajib hadir di minimal 12 acara sosial per tahun’,” kata Della membuka lembar baru. “Saya khawatir angka ini terlalu tinggi, mengingat saya perlu fokus pada proyek seni.”

Adrian menyentuh dagunya. “Saya ingin istriku—kontrak atau tidak—terlihat mendukung gerak-gerik yayasan sosial Rahardja. 12 acara setara satu acara sebulan; rasanya tidak berlebihan.”

Della berhitung cepat. “Bolehkah kita batasi 8 acara setahun dan menambah opsi ‘dukungan jarak jauh’? Misalnya, saya bisa menyumbang karya seni atau ikut kampanye digital jika terhalang hadir.”

Adrian memutar pena di tangannya. “Aku bisa terima 10 acara in person dan 4 dukungan digital. Total 14 kontribusi.”

Della mengangkat alis. “Oke, itu adil.”

---

Dalam kontrak tercantum larangan membawa tamu kehormatan tanpa izin; poin 6.3 membahas “Larangan intimasi publik” dan “Batasan kunjungan ke penthouse oleh pihak ketiga”. Della meraih map: “Saya paham ini demi citra, tapi intimasi adalah hak pribadi. Bisa kita buat pasal yang menyebutkan ‘privasi pasangan dihormati, tanpa perekaman atau penyebaran’? Agar tidak ada kesalahpahaman.”

Adrian menatapnya hangat untuk pertama kali. “Kau benar. Kita tambahkan klausul ‘Privasi Intimasi’ yang melindungi keduanya. Tidak ada rekaman, foto, atau penyebaran tanpa izin.”

Della tersipu, lalu menuliskan tambahan tersebut.

---

Terakhir, poin 7.5—“Jika salah satu pihak keperluan medis atau darurat keluarga, kontrak dapat ditangguhkan hingga maks 3 bulan tanpa potensi denda.” Della menandai klausul itu. “Saya ingin menambah ‘opsi penangguhan tambahan dengan revisi jangka waktu setelah rapat bersama pengacara dan notaris’.”

Adrian menyetujui tanpa ragu. “Opsional hingga total 6 bulan, asalkan ada dokumentasi resmi.”

Della mencatat perubahan.

---

Setelah dua jam intens, meja rapat berubah penuh coretan tinta biru dan merah, lembar-lembar salinan kontrak penuh catatan. Della menarik napas, menata dokumen. “Terima kasih, Tuan Rahardja. Semua poin utama sudah kita bahas.”

Adrian berdiri, menghampiri Della dengan satu map tebal utuh di tangan. “Ini draf final. Setelah kau sign di sini—” ia menunjuk baris tanda tangan Della, “—kita kirim ke notaris. Aku menghargai sikap profesionalmu.”

Della meraih pulpen, menandatangani dengan tangan mantap. Setiap goresan seolah mempertegas kemampuannya berdiri sejajar dengan CEO muda itu.

Adrian menutup buku kontrak, lalu menepuk bahunya pelan. “Selamat, Mrs. Rahardja. Kini, kita siap menjalani tahun-tahun mendatang.”

Della menatap mata abu-abu tajam itu dan membalas dengan senyum tulus. “Terima kasih, Mr. Rahardja. Saya siap.”

Di balik pintu kaca, lampu-lampu Kota Amaris berkelip serentak—seolah merayakan babak baru di kehidupan mereka: bukan sekadar nikah kontrak, melainkan kemitraan sejajar yang mulai memahat kisah tak terduga antara gadis desa berani dan sang Duke of Glass.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel