Bab 7 : Keberangkatan
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia.
Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu.
“Oke, sudah selesai.”
Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah.
“Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia,” ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan.
Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulikannya.
“Aku harus pergi ke Kivinik sekarang,” gumam Alisa.
Dengan menaiki Carreta, Alisa pun sampai di kota pelabuhan yang berjarak 10 kilometer dari Kartovik tersebut. Dirinya langsung memesan sebuah tiket perjalanan kapal laut menuju Vestaria seharga 2 koin emas.
Tak lama berselang, sebuah kapal penumpang kecil berlabuh di Pelabuhan Kivinik. Alisa bersama 20 penumpang lainnya lalu menaiki kapal tersebut.
“Wah, ramai sekali.”
Terlihat ada seorang ibu yang tengah menggendong bayinya, ada pula seorang pria paruh baya yang membawa sejumlah barang dagangan, serta beberapa penumpang muda yang ikut dalam perjalanan kapal ini. Melihat banyaknya penumpang yang juga hendak berpergian ke Vitania membuat gadis itu berpikir ulang tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana.
“Sepertinya Vitania tak terlalu tertutup juga seperti yang dikatakan orang-orang,” gumamnya dalam hati.
“Meskipun begitu, aku tetap harus berhati-hati. Aku adalah seorang gadis penyihir Karelia. Kalau sampai keberadaanku diketahui Brigade Penyihir, nyawaku bisa terancam,” lanjutnya.
Kapal pun meninggalkan dermaga tepat pukul 11 siang dan diperkirakan akan sampai ke Vestaria pukul 17.30 sore. Pelabuhan Kivinik perlahan hilang dari pandangan. Alisa yang duduk di samping kanan dekat jendela melihat ke arah selatan. Tatapan matanya yang tajam mampu melihat sebuah kota yang terletak cukup jauh di sana.
“Nordland, Sentralberg.”
Wilayah utara ibukota kerajaan itu terlihat samar-sama berhiaskan gedung-gedung pencakar langit setinggi 20 sampai 30 lantai. Ini berbeda dengan Kartovik yang hanya terdiri atas bangunan-bangunan tua setinggi 5 lantai saja dengan jalanan berupa paving block. Apalagi dibandingkan dengan Telhi yang jauh dari sebuah ‘kota’. Sempat terlintas di pikirannya, mengapa bisa terjadi ketimpangan infrastruktur yang jauh seperti itu.
“Ah, biarlah. Mungkin memang seharusnya ibukota kerajaan terlihat maju seperti itu,” pikirnya. Namun tetap saja ada sesuatu yang seolah mengganjal.
“Tapi bukannya ... hoamm ...”
Kapal yang terombang-ambing dengan pelan ditemani hembusan angin sepoi-sepoi seolah menjadi lagu pengantar tidur baginya. Alhasil gadis itu pun akhirnya terlelap sambil bersandar di jendela itu.
***
Sebuah kegelapan tanpa batas dan tak berujung tiba-tiba terlihat dari pandangan mata Alisa.
“Apa yang terjadi? Di mana aku?”
Gadis itu tampak kebingungan. Ia tak tahu apa yang terjadi padanya dan di mana ia berada sekarang.
Lalu tak lama berselang, seorang gadis berambut panjang muncul tepat di depannya. Wajahnya tak terlihat dengan jelas karena tertutup kegelapan tempat ini.
“Akhirnya kau ke sini juga. Ayo kemari,” ajaknya.
“Eh, kita mau ke mana?” tanya Alisa.
Tanpa basa-basi, gadis itu langsung menggenggam tangan Alisa dan menariknya menuju sebuah cahaya. Perlahan tapi pasti, cahaya itu makin dekat dan terang. Dan tepat di ujung cahaya, gadis berambut panjang itu tiba-tiba menghilang lagi.
“Ini ...”
Cahaya terang itu makin lama makin meredup kembali. Alisa berpikir bahwa itu adalah cahaya mentari, namun ternyata sumber cahaya itu berasal dari suatu tempat mengerikan layaknya sebuah neraka.
“AAAAA!!”
“JANGAAAANNNNN!!”
“KURANG AJAAAARRRR!!”
“KEPARAAATTTTT!!”
“TOLOOOOONNGGGG!!”
Teriakan, rintihan, dan makian saling menyahut dari berbagai sudut pemandangan kota yang dibakar itu. Orang-orang yang wajahnya terhalang oleh kabut hitam berusaha untuk memadamkan api dan menghentikan ulah sang pembakar. Namun apa daya, tubuh mereka yang jauh lebih kecil nan lemah tak bisa mengalahkan si pembakar yang merupakan sesosok raksasa.
Bukan hanya dibakar, mereka juga disingkirkan, dipukuli, dihabisi, diseret bagaikan hewan ternak, dan diperlakukan tidak manusiawi. Darah pun terlihat jelas dari tubuh mereka yang diseret paksa makhluk itu.
“Kenapa? Ada apa ini?” tanya Alisa dengan wajah ketakutan.
Tidak hanya itu, ada pula seorang ibu yang sedang menggendong anaknya merasa kebingungan. Ia panik dan menangis, melihat rumahnya yang terbakar api dan suaminya yang ikut diseret oleh makhluk kejam itu.
“AAAAA!! KUMOHON!! JANGAN LAKUKAN ITU PADA TEMPAT TINGGALKU. JANGAN LAKUKAN ITU PADA SUAMIKU. AAAAA!!“
Peristiwa mengerikan itu terlihat sangat nyata di depan matanya. Alisa hanya bisa terdiam di sana, tak mampu menolong mereka.
“Ini terlalu kejam. Kumohon, hentikan.”
Air mata pun mulai menetes dari matanya melihat kekejaman yang terjadi.
“Kumohon, hentikan.”
Kota yang terbakar itu tiba-tiba bersinar terang, namun teriakan-teriakan dari orang-orang yang disiksa itu malah makin menjadi.
“Hentikan, kumohon," Alisa merintih dan mulai menangis.
Ada suara lain yang bukan berasal dari kota itu. Suaranya nampak bergema dari arah luar.
“na ...”
Alisa masih tak menyadarinya. Teriakan dan rintihan itu masih terdengar jelas di telinganya.
“Nona...”
Suara itu makin jelas, akan tetapi Alisa masih menangis dan tak menyadarinya.
“Nona!!”
“Eh?”
Gadis itu akhirnya terbangun setelah badannya yang kecil itu ditepuk-tepuk oleh seseorang.
“Apa? Mimpi?”
Sesosok pria kurus berkaos putih terlihat memegangi pundaknya. Sepertinya ia adalah kru dari kapal ini, atau mungkin petugas pelabuhan.
“Nona, kita sudah sampai di Vestaria.”
“Eh, Vestaria?”
Pria itu mengangguk padanya.
“Oh iya, Pak. Maaf, saya ketiduran.”
Alisa langsung membawa barang bawaannya dan bergegas meninggalkan kapal yang telah berlabuh itu.
“Terima kasih atas perjalanannya.”
Tak terasa hari pun sudah sore menjelang malam. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari tempat tinggal sementara.
“Baiklah, aku harus mencari tempat tinggal sekarang.”
Hampir dua jam ia mencari dan hari sudah gelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Gemuruh sudah mulai terdengar dan rintik hujan sudah mulai membasahi tempat itu.
“Aku harus cepat,” kata gadis itu.
Alisa terpaksa menembus kegelapan malam diantara lampu-lampu redup yang menerangi jalan itu. Walaupun turun hujan di malam hari, suhu kota itu lebih hangat bila dibandingkan dengan Kartovik. Tak mengherankan karena Vestaria sendiri merupakan kota kecil yang lebih dekat dengan garis khatulistiwa.
“Ah, akhirnya ketemu juga.”
Setelah cukup lama mencari, Alisa pun menemukan calon tempat tinggal sementara. Di sebuah jalan kecil yang cukup gelap itu terlihat sebuah rumah dengan banyak pintu bertuliskan ‘sewa murah tempat tinggal’ dengan Bahasa Archipelahia.
Walaupun tempat itu tak terlalu rapi dan cukup gelap, namun tak ada pilihan lain baginya karena hujan sudah mulai deras. Alisa pun mengetuk pintu rumah.
“Anu, permisi.”
“Iya?”
Seorang wanita tua yang sudah berubah membuka pintu rumah itu.
“Anu, Nyonya. Saya Alisa Garbareva. Saya pendatang dari luar kota yang kebetulan sedang mencari tempat tinggal sementara. Bolehkah saya menyewa tempat tinggal di sini?”
“Oh iya, silakan. Di sini memang tempat tinggal sewa. Ayo masuk, Nona,” jawab wanita tua itu dengan senyuman ramah.
“Wah, syukurlah. Terima kasih banyak, Nyonya.”
Akhirnya ia pun berhasil menemukan tempat tinggal sementara baginya. Sebuah ruangan kecil dengan kamar mandi di dalam menjadi tempat tinggal sementara bagi Alisa selama menjalankan penelitian di kota ini. Ada sebuah lemari kayu cukup besar di dekat tempat tidurnya. Hampir semua fasilitas tersedia disini meskipun terlihat sudah cukup tua.
“Baiklah, aku harus beristirahat untuk penelitian besok.”
***
