Bab 6 : Keputusasaan, Kesejahteraan, Keadilan
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Perempuan itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.
“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Perempuan Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.
“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.”
“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”
Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.
“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”
Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.
“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masih anak-anak. Tapi sekarang kita sudah cukup dewasa untuk memahaminya. Memahami tabir yang tersembunyi dari kerajaan ini.”
“Apa maksudmu, Flo? Apakah kau sudah menjadi bagian dari-”
Alisa tak sanggup melanjutkan ucapannya. Dirinya terlalu takut menyinggung perasaan teman baiknya itu. Namun Flo yang mendengarnya langsung tersenyum, seolah-olah sudah tahu tentang apa yang ingin dikatakan gadis Karelia itu.
“Nanti kau akan tahu sendiri. Aku melihat kau memiliki peluang itu, dan rasa penasaranmu yang kuat akan mendorongnya menjadi lebih besar. Tinggal menunggu waktu saja dan kita akan bertemu kembali.”
Alisa masih bingung dengan apa yang diucapkannya.
“Flo, Aku ...”
“ALISA!!”
Belum selesai ia berucap, terdengar suara seorang gadis lain dari arah belakang yang tak lain adalah teman sekamarnya, Frenska.
“ALISA!!”
“Eh, Frenska?” Alisa berbalik padanya.
“Huff ..., Apa yang kau lakukan di sini? Tadi itu serangan musuh tahu,” ujarnya sambil ngos-ngosan.
“Tadi aku baru saja sama-”
Alisa kembali berbalik, akan tetapi Flo sudah menghilang entah kemana.
“Siapa?”
Gadis itu tampak bergeming dengan peristiwa itu, sampai dirinya menyadari sesuatu.
“Eh iya, teman-teman? Di mana mereka?”
Alisa dan Frenska baru menyadari bahwa ketiga seniornya telah hilang. Keduanya lalu bergegas untuk mencari mereka.
Setelah cukup lama mencari, akhirnya mereka berdua berhasil menemukan para senior. Sophie bersama kedua temannya terjebak di sebuah perangkap yang terbuat dari sihir air yang menggantung di sebuah pohon ek. Ketiganya berteriak-teriak sambil meronta agar bisa keluar dari jebakan sihir itu.
“Uh ..., sial. KELUARKAN KAMI DARI SINI!!” teriak Sophie.
Tanpa menunggu lama, Alisa pun mengayunkan belatinya ke berbagai arah seperti seorang pelukis. Angin tipis tercipta dari teknik sihirnya. Dan tepat saat dirinya mengayunkan tangannya secara halus dari kiri ke kanan, dirinya langsung merapalkan mantra.
“Vindblad!!”
Gelombang angin yang diciptakannya langsung melesat dan menghantam jebakan sihir air itu sampai hancur. Ketiga gadis itu pun terjatuh ke bawah. Alisa dan Frenska menghampiri mereka. Dengan tubuh yang masih belum pulih, Sophie berusaha berdiri.
“Kau, kenapa kau- uhh ...”
Belum selesai Sophie berujar, dirinya tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Tubuh Alisa yang lebih kecil berusaha menahan beban seniornya itu. Sepertinya jebakan air itu bukan hanya mengekang mereka semata, namun juga menyerap energi partikel gaib dari tubuh ketiganya. Untungnya hal tersebut tidaklah fatal.
Misi pun selesai. Progres dari misi ini dilaporkan pada pihak sekolah, termasuk adanya ‘serangan misterius’ itu. Namun Alisa memilih untuk tidak membicarakannya secara langsung. Alhasil wilayah hutan tersebut kini dijaga oleh para gadis penyihir dengan kemampuan bertarung yang lebih tinggi.
***
Beberapa minggu berlalu pasca peristiwa itu. Semuanya kembali seperti biasa. Para siswi SMA Khusus Wanita Kartovik juga kembali belajar seperti hari-hari lainnya, termasuk Alisa.
Semua berjalan seperti biasa sampai sebuah pesan masuk ke dalam cincin permata Alisa. Kali ini bukanlah perintah misi, melainkan pemberitahuan bahwa dirinya harus segera menghadap kepala sekolah saat itu juga. Alisa pun meminta izin pada guru yang sedang mengajar saat itu.
“Maaf, Nyonya Ida. Saya mohon izin untuk menghadap Ibu Kepala Sekolah,” pintanya sambil mengangkat tangan.
“Silakan. Saya juga sudah mengetahuinya,” jawab sang guru.
Ruang kepala sekolah tepat berada di atas bangunan pusat. Lorong di depan ruangan itu sangatlah luas dengan berlapis karpet merah dan keramik hitam. Ruangan ini lebih mirip seperti sebuah ‘mansion’. Apabila dilihat dari luar, ruangan ini memiliki sebuah kubah di atasnya yang menjadikan tempat ini mirip seperti sebuah katedral. Sebuah pintu berwarna cokelat tepat berada di depannya yang tak lain merupakan akses menuju ruang kepala sekolah.
“Permisi. Saya Alisa Garbareva dari kelas 2-F. Saya diperintahkan untuk menghadap Ibu Kepala Sekolah pada hari ini. Mohon izin untuk masuk,” ucapnya sambil mengetuk pintu.
“Oh, Alisa. Silakan masuk,” jawab seorang wanita tua dari balik pintu.
Alisa membuka pintunya. Sebenarnya baru kali ini dirinya menginjakkan kaki ke ruangan kepala sekolah. Ada sebuah jendela besar berbentuk persegi panjang tepat berada di depannya. Sinar mentari menembus kaca jendela dan menerangi seluruh ruangan tersebut. Terlihat juga lemari rak buku yang berada di setiap sudut ruangan ini dengan tersusun rapi.
Tepat di depannya ada sebuah meja yang cukup panjang dengan sebuah globe berpetakan Planet Kamina di sudut kanannya. Di sana duduklah seorang wanita tua berkacamata yang rambutnya sudah beruban. Ia mengenakan sebuah kemeja lengan panjang berwarna hitam. Namanya Diana Bjolgnir, Kepala Sekolah SMA Khusus Wanita Kartovik.
“Silakan duduk, Alisa.”
Dengan sedikit gugup ia menanyakan maksud kepala sekolah memanggilnya ke ruangan itu.
“Ibu Kepala Sekolah, jika boleh saya bertanya apa maksud Ibu memanggil saya kemari?”
“Senang sekali kau bertanya. Sebenarnya sudah sejak dulu Ibu ingin menyampaikan hal ini padamu, tapi baru bisa hari ini,” jawab kepala sekolah.
“Maksud Ibu?”
“Begini, Alisa. Kau 'kan pastinya sudah tahu kalau nilai sekolahmu sangat tinggi dalam dua tahun terakhir. Jadi kami dari pihak sekolah telah memutuskan agar kau menjalani Program Akselerasi,” jelas Diana.
“Program Akselerasi? Apa jangan jangan ...”
Alisa terkejut mendengar hal itu, seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Kepala sekolah pun mengangguk pertanda dirinya menyampaikan hal yang sebenarnya.
“Tepat sekali. Program percepatan studi di mana kau harus meneliti sebuah peristiwa sebagai pengganti pelajaran reguler.”
“Program Akselerasi? Kalau tidak salah jika saya mengambil program ini dan sukses mendapatkan hasil penelitian yang bagus, maka saya akan langsung lulus dan dipermudah untuk karier ke depannya. Seperti itu 'kan, Ibu?”
Sang kepala sekolah mengangguk.
“Bagaimana, apakah kau sanggup?” tanya Diana.
Tanpa basa-basi, Alisa pun langsung menyanggupinya.
“Baiklah, Bu. Saya sanggup dan saya akan berusaha.”
“Baiklah kalau begitu, topik apa yang akan kau pilih nanti?” Diana kembali bertanya.
Alisa terdiam mendengar hal itu. Meskipun dirinya memiliki nilai sekolah yang sangat tinggi, ia belum berpengalaman dalam hal penelitian yang mengharuskannya terjun ke lapangan secara langsung. Pikirannya terlalu mendadak untuk menentukan topik. Namun di tengah kebingungan itu, sebuah suara misterius seolah-olah terdengar di telinganya.
“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”
Itu adalah suara sahabatnya dari Vitania, perempuan berambut panjang yang sempat bertarung dengannya di Hutan Tovnik beberapa minggu yang lalu. Sampai sekarang dirinya masih terbayang kata-kata itu, seolah ada suatu hal yang ingin disampaikan padanya.
Namun karena hal itu, Alisa mendapatkan ide penelitiannya. Meskipun ia tahu bahwa itu sangat beresiko, rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
“Baiklah, akan Ibu beri waktu untuk-”
“Maaf Ibu Kepala Sekolah. Saya telah menemukan sebuah topik untuk penelitian saya,” jawab Alisa.
“Jadi, topik apa yang ingin kau angkat?”
Dengan sedikit menghela napas ia pun mengungkapkannya.
“Saya ingin memilih topik tentang ‘Kondisi Sosial Kemasyarakatan di Daerah Otonom Vitania’.”
Mendengar hal itu, kepala sekolah terkejut seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Apa? Kau bercanda 'kan Alisa?”
“Tidak, Ibu. Saya serius. Saya akan mengambil topik tersebut,” tegas gadis itu.
Kepala sekolah langsung sedikit berpaling darinya.
“Maaf Alisa. Sepertinya Ibu tidak bisa mengizinkanmu mengambil topik itu.”
“Kenapa, Ibu? Bukankah seorang pelajar yang mengambil Program Akselerasi dibebaskan untuk memilih topik?”
“Tapi Alisa, maaf ...”
Perdebatan pun terjadi di antara mereka berdua.
“Maaf, Ibu. Tapi tolong jelaskan alasannya. Kenapa saya tidak diizinkan untuk memilih topik itu? Padahal topik tersebut sangat spektakuler menurut saya. Kita bisa mengetahui suatu hal yang tidak kita ketahui disana. Kenapa Ibu tak bisa mengizinkan saya?”
Alisa terus memohon pada kepala sekolah agar diizinkan mengambil topik penelitian tersebut, Karena bersikeras, Diana pun kembali menoleh ke arahnya, namun dengan ekspresi yang tampak gelisah.
“Ibu, Ibu tidak mau kau mati,” ucap sang kepala sekolah sambil merintih.
Terlihat matanya berkaca-kaca seolah mengingat peristiwa pahit di masa lalunya. Alisa yang melihatnya hanya terdiam, apalagi setelah mendengar ucapannya itu. Sambil mengusap air matanya, Diana kembali berbicara.
“Sudah cukup aku kehilangan anak-anak terbaikku hanya karena ini. Kenapa kalian selalu bersikeras melakukan penelitian di daerah yang berbahaya itu?”
Alisa tak tahu harus memberikan respons seperti apa pada wanita tua itu.
“Alisa, kau pasti sudah tahu 'kan bagaimana hubungan antara Karelia dan Vitania. Kau pasti sudah tahu 'kan bahwa Vitania adalah daerah penuh pemberontakan berdarah dan mereka membenci para gadis penyihir Karelia. Ataukah belum cukup rasa penasaranmu atas hilangnya teman-temanmu sesama gadis penyihir SMA Kartovik ini? Belum cukupkah Lissa, Adele, Thaliya, Sisca, dan yang lainnya menjadi bukti bagimu?”
Wanita tua itu membeberkan fakta-fakta pahit yang terjadi di masa lalu tentang korban-korban dari SMA Kartovik tersebut.
“Dan kau tahu seniormu 2 tahun yang lalu dari kelas 2-B, Marija Tavojevic yang dikenal sebagai salah satu gadis penyihir paling cerdas dan tangguh di sekolah ini. Dia ditangkap oleh Brigade Penyihir Garis Depan Vitania, dan kepalanya dipenggal.”
Wanita tua itu hanya bisa tertunduk lesu menjelaskan kenyataan pahit tersebut pada Alisa. Akan tetapi, meskipun begitu, siswi kelas 2-F itu tak mengurungkan niatnya yang sudah bulat tersebut.
“Saya tahu, Ibu. Sangatlah beresiko jika mengambil topik penelitian itu. Saya juga tahu bahwa kematian tragis bisa saja menghampiri saya selama menjalankan tugas itu. Namun saya merasa bahwa penelitian itu merupakan sebuah keharusan bagi saya. Lagipula ...,”
Alisa menatap wajah wanita tua itu dengan senyuman tipisnya.
“saya pernah bertemu dan bertarung dengan salah satu dari mereka.”
Raut wajah kepala sekolah tampak terkejut mendengarnya.
“Apa? Tidak mungkin.”
“Memang benar, Ibu. Saya pernah bertemu dan bertarung dengan salah satu dari mereka di Hutan Tovnik beberapa minggu lalu. Dan dia seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu kepada saya, apa yang terjadi sebenarnya di daerahnya. Sumber referensi di sini juga kurang memuaskan bagi saya. Oleh karena itu, saya bertekad untuk melaksanakan penelitian ini agar kita semua tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka di Vitania,” jelas Alisa.
“Sekali lagi saya mohon, Ibu Kepala Sekolah.”
Dengan berat hati Diana pun akhirnya mengizinkannya walaupun ada ketakutan akan kemungkinan peristiwa kelam di masa lalunya kembali terjadi.
“Baiklah kalau begitu. Ibu juga tak bisa memaksamu. Isi formulir ini dan berikan pada bagian kesiswaan.”
“Terima kasih, Ibu Kepala Sekolah.”
Alisa pun mengisi formulir tersebut. Saat mengisinya, Diana beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Alisa.
“Baiklah, Ibu. Formulirnya sudah selesai. Terima kasih banyak karena telah ... eh?”
Alisa yang baru berdiri langsung dipeluk oleh wanita tua itu. Formulir yang ia pegang pun terjatuh. Ada sebuah harapan yang ingin disampaikan Diana lewat pelukan hangatnya.
“Kumohon Alisa, kembalilah dengan selamat,” katanya sambil meneteskan air mata.
“Jangan khawatir, Ibu. Saya akan menjalankan penelitiannya dengan baik dan kembali lagi dengan selamat. Dan saya yakin penelitian ini akan membuahkan hasil yang memuaskan,” ucap Alisa sambil menenangkannya.
Formulir ia serahkan pada bagian kesiswaan dan dirinya mendapat sebuah surat izin kecil untuk melaksanakan penelitian. Alisa pun kembali ke kelas tepat pada waktu istirahat.
Terlihat para siswi yang tengah mengobrol dengan temannya. Sebagian ada yang makan serta ada pula yang tengah membaca buku. Saat dirinya masuk ke kelas itu, Frenska langsung menyambutnya dari balik pintu.
“Alisa, ke mana saja kamu?”
“Eh Frenska, tadi aku baru saja-”
Frenska yang melihat Alisa menggenggam sebuah surat kecil di tangannya langsung merebutnya dengan paksa.
“Apa ini?”
“Eh, tunggu ...”
Gadis berambut pirang itu tanpa basa-basi langsung membacanya.
“Hmm ... APA? PROGRAM AKSELERASI, PENELITIAN SOSIAL KEMASYARAKATAN KE DAERAH OTONOM VITANIA?” Frenska malah mengucapkannya dengan keras sampai membuat seisi kelas langsung menghampiri mereka.
“Frenska? Stt ...”
Alisa berusaha membuatnya agar diam, tapi sudah terlambat. Seisi kelas sudah heboh mendengar berita itu.
“Apa? Program Akselerasi?”
“Hebat sekali. Alisa. Kau memang pantas mendapatkannya.”
“Vitania? Tak bahaya tuh? Aku dengar daerah itu sangat tidak aman.”
“Berani sekali kamu ya.”
Alisa kebingungan menjawab satu per satu pertanyaan dan berbagai macam pujian dari teman-teman yang mengerumuni dirinya. Tak lama kemudian seorang guru masuk ke kelas untuk mengajarkan materi terakhir hari ini.
Petang pun tiba dan bel sekolah berbunyi, pertanda waktu kegiatan belajar mengajar hari ini telah usai. Para siswi kembali ke kediaman mereka. Dan seperti biasanya, Alisa dan Frenska membereskan tempat tidurnya. Namun kali ini Alisa juga mempersiapkan barang-barang untuk keberangkatannya pada esok hari.
“Hei, Alisa. Kau serius ingin melakukan penelitian ke Vitania? Apa kau tidak takut kenapa-napa?” tanya Frenska sambil berbaring di kasurnya.
“Tidak. Lagi pula aku sudah mempersiapkan semuanya, termasuk keamanan. Kau tak perlu khawatir denganku,” jawabnya.
“Sebenarnya, apa sih yang membuatmu mau meneliti ke sana? Kau pasti sudah tahu 'kan resikonya.”
Frenska masih penasaran dengan apa yang dipikirkan gadis itu. Alisa pun mencoba menjelaskannya.
“Sebenarnya aku penasaran. Kenapa Vitania sangat tertutup bagi kita? Aku sudah bertanya pada para murid suku Vitania di sini, namun aku masih belum puas. Lagi pula aku yakin ada sesuatu hal yang tersembunyi di sana. Makanya aku ingin mengungkap tabir itu. Siapa tahu berguna bagi perdamaian di kerajaan ini, terutama antara Vitania dan Karelia.”
“Wah, tujuanmu sangat keren sekali ya, Alisa,” puji gadis berambut pirang itu.
Mereka pun terdiam sejenak sambil memandangi langit-langit.
“Oh iya, Alisa. Kalau misalkan saat kamu penelitian di sana dan ternyata aku dapat misi ke Telhi bagaimana?” tanya Frenska.
“Iya tidak apa-apa. Kau jalani saja misinya tanpaku. Lagi pula 'kan nanti aku bisa lulus lebih cepat, dan kalau sudah dapat kerja aku bisa bebas berpergian ke mana-mana, termasuk ke Telhi. Hehe ...” gurau Alisa.
“Ihh ... mentang-mentang dapat Program Akselerasi.”
“Haha ...”
Mereka pun tertawa bersama hingga rasa kantuk mulai menyerang mereka. Frenska langsung tertidur pulas setelahnya, sedangkan Alisa masih memandangi langit-langit sambil memikirkan hari esok.
“Vitania. Aku akan mengungkap semua hal yang tersembunyi darimu, untuk mengatasi rasa penasaranku dan bertemu lagi dengannya. Selamat malam, Flo,” ucap Alisa dalam hati sebelum dirinya memejamkan mata dan tertidur.
***
