Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Kedipan Manja

Bab 10 Kedipan Manja

Taruko Cafe&Resto, buka setiap hari dari pada pukul delapan pagi hingga pukul enam sore. Biasanya pada pagi hari seperti ini adalah waktu favorit para pengunjung, terlebih disuguhi dengan hawa udara yang sangat sejuk dan panorama alam yang sangat alami dengan tebing menjulang juga pepohonan yang rindang, sehingga paru-paru pun mata akan merasakan kesegaran luar biasa hingga mampu mengenyahkan kepenatan hidup.

Saat Margo turun dari fortuner putih miliknya, kaki jenjangnya yang putih dan mulus berbalut stiletto hitam terlihat begitu sempurna. Dia menghirup dalam-dalam udara di sekitar Taruko Cafe&Resto yang menawarkan pemandangan terbuka dengan gaya tradisional.

Keindahan alam mewarnai Taruko Cafe&Resto, seolah-olah turut menjaga udara kota Bukittinggi. Suasananya tak begitu ramai, sebab hari itu adalah hari kerja. Mata Margo berkeliaran mencari sosok Ayumi.

Sebuah bangku panjang membentang di dekat kolam dan sungai di Taruko Cafe&Resto. Pada bagian sampingnya terdapat bagunan bernama Bagonjong yang cukup besar, seperti gazebo dengan atap serupa rumah tradisional khas Sumatera Barat. Aliran air yang tenang seakan melambat dan tengah melambaikan tangan pada Margo untuk segera mendekat dan melihat betapa pergerakan benda cair tersebut begitu menenangkan. Kata orang bunyi gemericik dan aliran air yang beriak secara teratur memang memiliki efek luar biasa untuk mendapatkan kejernihan berpikir atau kedamaian perasaan.

"Margo, sini!" panggil Ayumi dengan mengangkat satu tangannya dan berteriak. Gadis bermata sipit dengan bulu mata lentik itu mengenakan sebuah cardigan berwarna peach tanpa lengan, sementara rambutnya dibuat ikal pada ujungnya dan disemir secara acak, sehingga Ayumi nampak seperti boneka Jepang yang sangat cantik.

Seusai mendapat panggilan dari Ayumi, tanpa menunggu lagi, Margo menekan tombol pada kunci otomatis mobilnya, kunci anti maling. Dia lalu berjalan menuju Ayumi dengan tersenyum lebar.

Selayaknya sahabat yang sudah lama tak bertemu, kedua perempuan cantik dan langsing itu saling berpelukan, sekedar menyampaikan kasih sayang yang membuncah.

"Hai, Margo! Ya, ampun ... terima kasih kamu sudah benar-benar datang ke sini. Aku bahkan berpikir akan melupakanmu!" kata Ayumi dengan gaya retorika seorang anak kecil yang merasa kelelahan akibat bermain petak umpet.

"Yang benar saja kamu, Ayumi! Aku sudah pasti menemuimu, ngomong-ngomong kamu ada perlu apa ke Bukittinggi?" tanya Margo antusias.

"Ada urusan bisnis," jawab Ayumi datar.

"Hmmm," balas Margo.

"Aku punya kejutan untukmu, Margo. Aku akan mengenalkanmu dengan klienku. Mungkin kita bisa pergi ke klub malam, kuharap kamu sudah melupakan traumamu tentang seks!" bisik Ayumi yang membuat Margo mematung sesaat.

"Eh, duduklah Margo!" ajak Ayumi.

Sebenarnya Margo ingin menjelaskan pada Ayumi kalau dia sudah melupakan traumanya dan juga telah memiliki suami, yaitu Garda. Akan tetapi belum sempat Margo membalas, Ayumi sudah berbicara lagi.

"Margo, aku belum memesan sesuatu. Hmmm, kira-kira apa yang menarik dari Taruko Cafe dan Resto?"

"Setahuku, di sini tidak hanya menyediakan kopi saja Ayumi. Ragam kopi Taruko Cafe&Resto yang menjadi andalan adalah kopi tubruk. Apa kamu mau olahan kopi yang lain, Ayumi? Di sini tetap didominasi kopi hitam, ada black coffee dan espresso namun, sayang tidak ada manual brew di sini!" jelas Margo bersemangat.

"Hmmm, kalau makanan di Bukittinggi ini. Maaf, maksudku di Taruko Cafe&Resto ini, apa yang paling enak, ya?" tanya Ayumi membaca daftar buku menu yang telah tersaji di mejanya.

"Setahuku, kalau yang paling khas adalah Nasi Dendeng Batotok."

"Rasanya bagaimana?" tanya Ayumi menaikkan satu alisnya, merasa aneh akan nama makanan yang baru saja disebutkan oleh Margo.

"Perpaduan dari dendeng yang bercita rasa gurih dan pedas dari Nasi Dendeng Batotok kujamin akan membuatmu ketagihan, Ayumi!" seru Margo penuh percaya diri.

"Hmm, sebenarnya aku takut jika lidahku tidak cocok dengan makanan Indonesia, Margo!" cecar Ayumi agak terkekeh.

"Atau kamu mau nasi goreng? Hmm, mie goreng? Eh, di sini juga ada makanan yang diolah seperti makanan khas Meksiko hingga Tiongkok, tapi aku sarankan kamu coba Nasi Dendeng Batotok saja," jelas Margo setengah memaksa.

"Baiklah," ucap Ayumi putus asa.

Mereka berdua pun mengobrol tentang kenangan-kenangan semasa SMA. Hingga seorang pramusaji mengantarakan pesanan kedua perempuan cantik tersebut dan menatanya di atas meja kayu yang terkesan antik.

"Hmmm, sepertinya aku akan bersemangat makan di Taruko Cafe&Resto ini, mari makan Margo!" seru Ayumi.

"Tentu, terlebih di sini kita juga bisa menikmati indahnya pemandangan Ngarai Sianok dan segarnya udara perbukitan di sekitar sini, bukan?" tawar Margo sambil mengambil sendok dan garpu yang dibungkus dalam selembar tisue putih.

"Kamu benar, kebanyakan cafe yang kutemui memang berkonsep menarik, tempat nyaman dengan fasilitas wifi, sofa empuk, minimalis, dan yang paling aku suka adalah kesan tradisional. Seperti yang ditawarkan oleh Taruko Cafe&Resto ini!"

"Kamu benar, konsep tradisional dan menyatu dengan alam seperti Taruko Cafe&Resto ini sangat jarang ditemui,"

"Senangnya bisa menikmati kopi sekaligus pemandangan alam yang hijau,"

"Itu karena kamu mungkin bosan dengan cafe-cafe modern yang kebanyakan, Ayumi."

"Benar, Margo. Kebanyakan cafe-cafe modern menjadi working spacw bagi pekerja kantoran atau freelancer. Aku juga merasa bosan dengan cafe yang dikelilingi oleh deretan mall-mall, jalanan, atau di dekat jalan raya."

"Kalau di sini udaranya sangat segar. Udara perbukitan alami yang begitu menyegarkan, pepohonan rindang, hmmm ...."

"Benar juga, aku menyukai sungai berbatu, hijaunya tebing di cafe yang berada di dasar Ngarai ini. Terlebih konsep bangunan tradisional yang terbuka seperti ini, leluasa untuk memanjakan mata dengan panorama alam yang sesungguhnya."

"Kamu tahu, Ayumi? 'Taruko' itu berarti 'memulai sesuatu dengan konsep yang baru' dengan bangunan utama yang dibuat serupa dengan rumah adat Minangkabau. Bagonjong dengan ukuran yang cukup besar. Dikelilingi dengan bagonjong-bagonjong kecil, seperti yang berada di dekat sungai dan yang sedang kita tempati sekarang. Angin lembah yang sejuk ini sangat menghibur ... sambil ngopi, menikmati makanan, pemandangan, juga belajar budaya Minangkabau."

"Ayo selesaikan makanmu. Aku akan mengajakmu ke sebuah tempat hiburan. Awalnya kukira klub malam. Ada klienku di sana yang ternyata tengah menungguku, Margo!" seru Ayumi tiba-tiba setelah mengusap layar HP-nya.

"Kukira kalian janjian malam hari," sambar Margo.

"Hmmm, pakaianmu seksi, tapi kamu tutup dengan cardigan lengan panjang begitu. Aku tidak mau tahu, saat di sana nanti kamu harus melepas cardiganmu, karena aku pun juga akan melakukannya," komentar Ayumi saat melihat gaun Margo tertutup oleh cardigan hitam.

"Ini dress darimu, Ayumi. Aku tak punya pakaian seksi lainnya. Biarkan aku makan lima menit lagi," cicit Margo dengan mulut penuh makanan.

Ayumi hanya menarik bibirnya dan mulai menyesap jus jeruk yang selalu menjadi minuman favoritnya itu.

"Aku tak mengira kalau kamu masih menyimpan kenangan yang kuberikan, Margo!" sambar Ayumi ketika dia telah menandaskan segelas jus jeruk dalam gelas besar berkaki di tangannya.

"Hmmm," jawab Margo malas sambil terus sibuk mengunyah.

***

Margo berjalan kaku di atas sepatu hak tinggi yang tampak serasi di kaki jenjangnya. Sementara Ayumi tersenyum senang di samping Margo, sesaat setelah menarik paksa kardigan hitam sahabatnya itu.

Kini tubuh langsing Margo merasa dingin sebab udara dari air cinditioner dalam ruangan minim cahaya itu membelai kulitnya yang mulus. Gaun hitam dengan leher rendah tanpa lengan begitu sempurma membalut tubuhnya. Panjang gaunnya setengah paha, begitu mengekspos kaki jenjang indah mulus milik istri Garda bernama Margo tersebut.

Margo yang merasa kurang nyaman dengan gaun berbahan minim tersebut, sesekali berusaha menaikkan leher gaun ke atas, juga ujung gaun ke bawah. Perempuan bersurai pirang itu ingin menutupi pahanya atau dada atasnya dari santapan umum.

Sayang sekali usaha Margo gagal, tersebab gaun yang diberikan oleh Ayumi ini berbahan sangat mahal, hingga meski di tarik ke atas atau ujungnya yang ditarik ke bawah tak akan mampu membuat gaun hitam itu melar sedikit pun.

Margo mengayunkan kakinya dengan ragu, mengikuti arah kaki Ayumi yang tengah berjalan masuk ke dalam sebuah tempat hiburan berkelas di kota Bukittinggi. Jantungnya hampir saja mencelos, terlebih debaran dada yang tak keruan saat mendapati ruangan dalam hanya memiliki cahaya minim, meski sesekali diwarnai dengan kedipan manja dari lampu warna-warni yang ditambah dentuman musik berkesan ingar-bingar.

Margo ingin menanyakan kepada Ayumi kenapa menemui klien di tempat seperti itu, tetapi pertanyaannya harus tertelan begitu saja, karena merasa tak nyaman dengan ingar-bingar musik dan suasana gemerlap, berbanding dengan Ayumi yang terkesan biasa saja.

Ayumi mengajak Margo untuk duduk di sebuah sofa, Margo hanya menuruti permintaan sahabatnya itu, meski kini dia dirayapi oleh perasaan cemas yang entah dan istri Garda itu pun mulai merapatkan kakinya.

Bukan salah Margo merasa makin tidak nyaman, sebab sesosok lekaki berambut rapi di seberang sofa yang sama dengan dia duduki sekarang, tengah memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel