Pustaka
Bahasa Indonesia

Perempuan Bermata Bidadari

40.0K · Tamat
Ruli Lesmono
25
Bab
491
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kisah seorang perempuan bermata cantik, Aisyah, yang kerapkali dilanda masalah. Dari cinta pertamanya yang dikhianati hingga dinikahi oleh Bima, pria yang belum dikenal sebelumnya, demi melunasi semua utang almarhum Papanya. Bima dan kedua orang tuanya telah menjebak almarhum Papanya Aisyah agar semua kekayaannya mereka kuasai, hingga Aisyah bertemu dengan Arya, seorang pelayan restorannya. Aisyah diam-diam jatuh hati kepada Arya. Di kedua mata cantiknya Aisyah, Arya adalah sosok lelaki yang sangat spesial. Aisyah kerapkali membelanya dari hinaan-hinaannya Bima. Cobaan demi cobaan pun berhasil dilalui Aisyah berkat kesabaran dan kegigihannya, hingga Aisyah berhasil menemukan cinta sejatinya. Aisyah sempat kehilangan Arya yang meninggalkannya demi melanjutkan kuliah ke Australia. Arya telah membuat Aisyah menemukan kembali sesuatu yang sempat hilang dan meredup dalam dirinya. Sesuatu itu adalah cita-cita dan cinta. Aisyah tidak menemukan sesuatu itu ketika bersama Bima, karena Bima dan kedua orang tuanya lebih mengutamakan kekayaan daripada cinta dan cita-cita itu sendiri. Ikuti kisah-kisahnya Aisyah di novel romansa ini yang akan membuat Anda mengerti tentang kesabaran dan kegigihannya Aisyah dalam menggapai cita-cita dan cintanya.

RomansaIstriPernikahanPengkhianatan

Bab 1 Seorang Pegawai Baru

“Pak, kenapa berhenti di sini? Bukannya masih jauh dari restoran Aisyah?” tanya Arya sambil melihat ke luar kaca mikrolet. Arya kebingungan. Hujan masih cukup deras dan sesekali disertai kilat menyambar-nyambar, lalu disusul suara gemuruhnya yang menggelegar seperti dentuman meriam.

“Maaf sebelumnya ya mas.” jawab si sopir mikrolet dengan menoleh ke Arya yang duduk di belakangnya.

“Iya, pak! Kenapa emangnya, pak?” tanya Arya.

“Jalan menuju ke restoran Aisyah dari jalur ini yang terpendek ya memang harus berhenti di sini, mas! Mas bisa melewati pagar pembatas jalan ini!” jelas si sopir mikrolet itu yang berbadan cukup tambun. Handuk kecil untuk menyeka keringatnya masih melingkar di lehernya. Arya terdiam. Hujan masih cukup deras.

“Kalau mau berhenti tepat di halaman parkir restoran Aisyah ya harus melewati tiga sampai empat jalur, mas! Dan bisa makan waktu sampai 3 jam, mas!” sambung abang sopir mikrolet itu dengan serius.

“Berhubung satu jam lagi restoran Aisyah mau tutup, ya sudah saya turun di sini saja, pak! Biarlah hujan deras tak mengapa!” kata Arya sambil memakai jaket kainnya dan memasukkan sebuah map plastik berisi amplop-amplop lamaran kerjanya ke dalam tas punggungnya. Mau nggak mau, demi mengejar waktu untuk melamar kerja ke restoran Aisyah sebagai staf administrasinya, Arya harus melewati sebuah pagar besi pembatas jalan sebagai jalur terpendek menuju ke restoran itu dan menerobos derasnya hujan. Meskipun restoran Aisyah cukup terkenal, namun waktu tutupnya jam 4 sore.

“Hati-hati ya mas! Jalannya agak licin!” ingat si sopir mikrolet yang usianya kira-kira setengah baya.

“Terima kasih, pak!” ucap Arya. Setelah itu, Arya berdiri dengan membungkuk sambil mengenakan tas punggungnya, lalu memberikan uang sebesar Rp.10 ribu kepada sopir itu. Dengan cepat dan sigap, Arya menerobos derasnya hujan dengan berlari cukup kencang menuju ke teras restoran Aisyah. Tampak tiga sepeda motor dan sebuah mobil terparkir di depan halaman parkir restoran Aisyah. Sebuah mobil tesebut adalah milik pemilik restoran Aisyah dan tiga sepeda motor adalah milik para pegawainya. Karena hujan cukup deras dan kondisi langit yang cukup gelap, tak satupun pengunjung yang bertahan di dalam restoran. Sekitar 10 menitan Arya sudah tiba di teras restoran. Tidak beberpa lama kemudian, seorang pria agak tua bernama Pak Tarman yang selalu memakai peci hitam keluar dari pintu kaca restoran dengan membawa sebuah cikrak dan sebuah sapu. Karena penasaran, Pak Tarman mendekati Arya yang sekarang sedang melepas jaket kainnya setelah tas punggungnya.

“Assalamu’alaikum, mas!” salam Pak Tarman.

“Wa’alaikum salam!” balas Arya dengan membalikkan badan. Arya setengah kaget, karena tiba-tiba ada suara di belakangnya.

“Mas siapa dan kenapa ada di sini?” tanya Pak Tarman dengan serius sambil memandangi Arya dari ujung kaki sampai kepalanya. Sekarang hujan sedang rintik-rintik.

“Maaf sebelumnya, pak! Nama saya Arya! Saya mau melamar kerja di restoran ini!” jawab Arya dengan menaruh jaket kainnya di samping tas punggungnya, lalu mengulurkan tangan kanannya ke Pak Tarman untuk bersalaman.

“Loh? Sampeyan mau melamar kerja toh?” tanya Pak Tarman sambil menaruh sapunya di sampingnya, lalu menjabat tangan kanannya Arya.

“Iya, pak!” jawab Arya setelah mencium tangan kanannya Pak Tarman.

“Restoran masih buka kan pak?” tanya Arya dengan sangat mengharapkan.

“Masih, mas! Masih!” jawab Pak Tarman.

“Syukurlah kalau begitu, pak!” kata Arya, lalu mengambil sebuah map plastik transparan tempat amplop-amplop lamaran kerjanya ditaruh di dalamnya. Dua dari tiga surat lamaran kerjanya sudah dianggap nggak diterima oleh masing-masing Direktur perusahaan sebelum Arya melamar kerja ke restoran Aisyah saat sekarang ini. Dua Direktur tadi tidak menerima Arya sebagai stafnya lantaran posisi-posisi yang akan dilamar Arya sudah dipesan teman-temannya untuk putra-putranya sendiri.

“Mari Bapak antarkan sekarang, mas. 30 menit lagi restoran ini tutup. Kebetulan, pemiliknya ada di dalam.” kata Pak Tarman kepada Arya.

“Terima kasih, pak!” jawab Arya. Sebelum Pak Tarman masuk ke dalam restoran untuk mengantarkan Arya langsung menghadap ke Aisyah, Pak Tarman membuang sampah yang sudah dikumpulkan ke cikraknya ke dalam sebuah tempat sampah yang cukup jauh ada di depan pintu masuk restoran. 10 menit kemudian, Arya sudah tiba di hadapan Aisyah yang sekarang sedang sibuk memeriksa dan sesekali menghitung bon-bon pembayaran para pengunjung restorannya hari ini.

“Assalamu’alaikum!” salam Pak Tarman.

“Wa’alaikum salam!” balas Aisyah dengan melihat ke Pak Tarman, lalu pandangan kedua mata indahnya beralih sejenak ke Arya yang ada di samping Pak Tarman.

“Ada apa, pak?” tanya Aisyah dengan menegakkan kacamatanya yang sempat melorot kepada seorang pegawainya yang paling lama dan tua itu.

“Maaf, non! Pak Tarman mengganggu sebentar!” jawab Pak Tarman.

“Silakan, pak! Nggak apa-apa! Ngomong aja! Nggak perlu sungkan-sungkan!” kata Aisyah.

“Pak Tarman ke sini cuman mengantar mas ini untuk melamar kerja, non!” jawab Pak Tarman dengan agak membungkukkan badan.

“Oh begitu!” kata Aisyah.

“Silakan duduk dulu, mas!” sambung Aisyah sambil berdiri. Aisyah mempersilakan Arya duduk di sebuah kursi di depan meja kerjanya Aisyah.

“Terima kasih banyak, mbak!” jawab Arya.

“Maaf, non! Pak Tarman sekarang kembali kerja. Masih ada yang belum Pak Tarman bersihkan.” pamit Pak Tarman.

“Iya, pak! Silakan!” jawab Aisyah. Di luar terdengar sebuah mobil berhenti di samping mobilnya Aisyah. Bima datang. Sekarang Arya sudah duduk di hadapannya Aisyah dan Aisyah sekarang duduk kembali.

“Mas mau melamar kerja di posisi apa di restoran ini?” tanya Aisyah langsung to the point.

“Staf administrasi, mbak!” jawab Arya kalem.

“Hai, sayang! Selamat sore, cantik!” sapa Bima kepada kekasihnya itu. Aisyah nggak peduli dengan Bima, karena Aisyah sedang melayani Arya.

“Maaf, mas! Semua lowongan sudah terisi dua jam lalu!” jawab Aisyah.

“Mas sih telat datang ke sini! Restoran mau tutup baru datang! Ke mana aja, mas? Kan lowongan-lowongan itu udah saya iklankan di koran dua hari yang lalu, mas!” kata Aisyah. Seketika itu, Arya tertunduk lesu seperti kehilangan harapan.

“Maaf, mbak! Nggak ada lowongan kerja lainnya di restoran ini kah? Bagian bersih-bersih seperti Bapak tua tadi nggak apa-apa kok, mbak!” kata Arya.

“Sayang, siapa sih dia?” tanya Bima dengan agak marah ke Aisyah.

“Sebentar ya mas saya pikirkan dulu!” kata Aisyah ke Arya.

“Eh, mas Bima!” kata Aisyah ke seorang Direktur muda yang sudah tiga bulan ini menggantikan Papanya.

“Maaf, mas! Dia itu pelamar kerja!” kata Aisyah lagi ke Bima.

“Masak gara-gara dia aku kamu cuekin aku tadi!” jawab Bima dengan nunjuk-nunjuk ke Arya. Bima sangat marah.

“Sabar dong, mas! Kan Aisyah tadi konsen ke mas Arya! Biar urusannya selesai!” kata Aisyah.

“Aku mau mengajak kamu ke cafe sekarang juga, sayang!” kata Bima yang amarahnya udah mulai kendur.

“Nggak bisa sekarang juga, mas! Mas Bima tunggu ya setelah saya selesaikan urusannya mas Arya ini!” jawab Aisyah. Bima diem sejenak dengan tangan kirinya menekan ujung meja kerjanya Aisyah, sedangkan tangan kanannya berkacak pinggang dengan pandangan menghadap ke Arya. Bima seperti hendak menerkam Arya.

“Ya udah cepet selesaikan!” kata Bima tanpa menoleh ke Aisyah. Pandangannya Bima masih tajam dan serius ke Arya. Arya sejenak menoleh ke Bima, tapi kembali lagi menunduk.

“Kita kembali lagi ke pembicaraan tadi ya mas!” kata Aisyah ke Arya.

“Iya, mbak!” jawab Arya. Sekarang Arya mendongakkan kepalanya memandang Aisyah.

“Mas Arya maunya kerja apa di sini?” tanya Aisyah.

“Apa aja mau, mbak!” jawab Arya.

“Langsung aja katakan kamu mau kerja apa di sini! Berbelit-belit!” sahut Bima.

“Mas..!” kata Aisyah mengingatkan kekasihnya itu. Arya sejenak melirik Bima dengan memberengut, lalu pandangannya kembali menghadap ke Aisyah.

“Mas Arya bisa nyopir?” tanya Aisyah.

“Bisa, mbak!” jawab Arya singkat dan tegas.

“Kebetulan hari ini sopir pengantar pesanan udah resign!” kata Aisyah.

“Sayang, dia mau ngelamar kerja apa sih sebenarnya?” Bima menyela.

“Mas Arya ini tadi mau melamar kerja jadi staf administrasi, mas! Tetapi berhubung posisi staf administrasi udah terisi dua hari lalu, Mas Arya bersedia kerja apa aja di restoran ini. Kebetulan kan sopir pengantar pesanan tadi resign!” jelas Aisyah.

“Hei kamu, kenapa kamu mau kerja apa aja di sini? Kenapa nggak nyari kerja di tempat lain aja?” tanya Bima ke Arya dengan suara agak keras. Pak Tarman sejenak mengintip Bima yang kelihatannya memarahin Arya, karena Pak Tarman kebetulan mendengar gelegar suaranya Bima saat hendak mengembalikan sapu dan cikraknya ke tempatnya semula. Pak Tarman mengintip di sela pintu ruang kerjanya Aisyah yang sejak kedatangannya Bima dalam keadaan seperempat terbuka.

“Tadi udah ngelamar kerja di dua perusahaan, mas! Nggak diterima! Sekarang saya mencoba ngelamar kerja di sini, mas! Udah dua tahun ini saya menganggur, mas!” jelas Arya kalem, lalu menunduk lagi.

“Aku udah menduga kalau kamu pengangguran!” kata Bima.

“Ya jelas nggak diterima lihat aja kedua sepatu kamu ngeluarin air tuh dan celana kamu basah! Nggak sopan sekali!” sambung Bima. Pak Tarman berlalu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maaf sebelumnya ya mas dan mbak tadi saya ke sini menerobos hujan lebat, karena saya kuatir terlambat menyerahkan amplop lamaran ini!” jawab Arya.

“Kamu lulusan mana sih?” tanya Bima dengan agak membentak. Arya hendak menjawab, tapi Aisyah menyelanya.

“Mas...udah dulu nanyanya! Biar ini cepet selesai!”

“Kalau mas Arya mau jadi sopir pengantar pesanan, besok mas Arya bisa langsung kerja di sini!” kata Aisyah ke Arya.

“Baik, mbak!” jawab Arya.

“Mas Arya udah punya SIM A dan C kan?” tanya Aisyah.

“Ya jelas punya lha wong dia tampang sopir karena nggak nemu-nemu kerja!” sahut Bima. Pegawai-pegawainya Aisyah termasuk Pak Tarman sekarang sedang menggerombol di dekat kasir untuk menunggu pimpinannya. Pak Tarman mencoba menenangkan dan menasehati mereka yang nggak sabaran ingin pulang.

“Punya, mbak! Kebetulan saya juga gantiin ayah saya kirim barang-barang dari tempatnya bekerja kalau ayah saya sakit, mbak!” jawab Arya.

“Oke!” jawab Aisyah singkat.

“Tapi kalau nganterin pesanan bisa nganggur lama juga, mas! Soalnya bisa nggak ada pesanan selama satu bulan penuh!” kata Aisyah.

“Terus gimana, mbak?” tanya Arya.

“Mas Arya mau bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih pas restoran ini tutup?” tanya Aisyah.

“Nanti mas Arya ada yang bimbing!” tambah Aisyah.

“Mau, mbak!” jawab Arya tegas dan singkat.

“Ya udah kalau begitu mas Arya besok mulai bekerja di sini ya mas!” kata Aisyah.

“Jam berapa, mbak?” tanya Arya memastikannya. Arya sengaja nggak nanya gajinya, karena Arya menganggapnya nggak penting. Bagi Arya, yang terpenting sekarang adalah bekerja apa aja asal halal untuk menambah pengalamannya dan sebagai batu loncatannya menuju ke pekerjaan sesuai dengan jurusannya, Administrasi Kantor.

“Restoran ini buka terus, mas. Nggak ada liburnya. Bukanya mulai jam 7 pagi dan tutup jam 4 sore.” jelas Aisyah. Mendengar kata jam, Bima melihat arlojinya yang sekarang udah jam setengah lima.

“Duh, sebentar lagi cafenya mau tutup nih, sayang!” kata Bima.

“Cepetan dong, sayang!” kata Bima ke Aisyah.

“Iya, mas. Sabar ya. Wawancaranya bentar lagi selesai kok.” jawab Aisyah.

“Hei kamu, jawabnya jangan berbelit-belit! Kamu hari ini mengacaukan suasana hatiku!” bentak Bima.

“Mas, sabar dong!” sela Aisyah.

“Oh iya, soal gaji sekarang.” kata Aisyah ke Arya.

“Iya, mbak!” jawab Arya.

“Untuk gajinya mas Arya, selama satu hingga enam bulan pertama saya ngasih Rp.1,5 juta. Kalau kinerjanya mas Arya bagus, saya akan menambah seperempatnya.” kata Aisyah.

“Gimana, mas? Mau?” tanya Aisyah.

“Mau, mbak!” jawab Arya.

“Ya jelas mau! Pengangguran!” sindir Bima.

“Oh iya, mas Arya tinggal di mana?” tanya Aisyah.

“Kalau soal makan, mas Arya nanti dapat jatah tiga kali sehari dari restoran ini!” kata Aisyah.

“Saya tinggal di Menteng, mbak!” jawab Arya.

“Jauh banget, mas!” kata Aisyah.

“Saya bisa naik bus kota, terus mikrolet ke sini, mbak!” jawab Arya.

“Gaji mas Arya bisa habis di transportasi aja, mas!” kata Aisyah.

“Terus gimana ini, mbak?” tanya Arya agak galau.

“Mas Arya nanti tinggal satu rumah dengan Pak Tarman di samping rumah saya! Biar gaji mas Arya utuh!” jawab Aisyah.

“Gimana, mas?” Aisyah menanyakan kesanggupannya Arya.

“Ayo cepetan jawab!” sela Bima dengan marah.

“Mau, mbak!” jawab Arya, lalu menghembuskan nafas lega.

“Oke. Kalau begitu, wawancara kerja saya akhiri.” kata Aisyah sambil beranjak dari kursi empuk hitam agak panjang putarnya.

“Selamat ya mas Arya udah saya terima bekerja di sini!” sambung Aisyah sambil menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Arya.

“Terima kasih banyak juga ya mbak!” jawab Arya sambil berdiri, lalu berjabat tangan dengan Aisyah. Aisyah dan Arya tersenyum.

“Sekarang mari kita keluar dari ruangan kerja saya ini menuju ke teman-teman kamu yang ada di luar sedang menunggu!” kata Aisyah sambil melihat sejenak ke arah luar pintunya yang kelihatan Pak Tarman dan dua dari empat pegawainya sedang duduk di depan meja kasir.

“Baik, mbak!” jawab Arya dengan sedikit membungkukkan badan.

“Mari kita keluar sekarang, mas!” kata Aisyah ke Bima yang masih memandangi Arya dengan cemberut.

“Duh, cafenya udah tutup sekarang, sayang!” kata Bima ke Aisyah.

“Kita cari cafe yang lainnya aja, mas!” jawab Aisyah sambil berjalan beriringan bersama Bima dan Arya.

“Gara-gara dia sore ini rencanaku jadi kacau!” kata Bima.

“Mas, cafe lain masih buka kok!” jawab Aisyah.

“Awas kamu kalau bikin kacau rencanaku lagi!” ancam Bima ke Arya.

“Saya mohon maaf ya mas!” jawab Arya.

“Mas, ini bukan salah mas Arya. Ini salahku! Sabar ya mas!” sahut Aisyah sambil menutup, lalu mengunci pintu ruang kerjanya. Tidak beberapa lama kemudian, Pak Tarman berjalan mendekati Aisyah dan Aisyah juga berjalan mendekati Pak Tarman.

“Non Aisyah udah selesai?” tanya Pak Tarman ke pimpinannya itu.

“Alhamdulillah sudah, Pak!” jawab Aisyah.

“Oh iya, mas Arya ini pegawai baru saya mulai besok di bagian pengantar pesanan-pesanan dan kebersihan, Pak!” kata Aisyah sambil sedikit mengangkat kacamatanya. Bima sekarang berjalan dengan menyarungkan kedua tangannya ke dalam saku celananya menjauh dari Aisyah, Pak Tarman, dan Arya menuju ke pintu depan restoran. Bima memberengut.

“Aisyah minta tolong ke Pak Tarman untuk mengurus dan membimbing mas Arya ya pak!” sambung Aisyah.

“Baik, non!” jawab Pak Tarman dengan agak membungkukkan badannya.

“Oh iya, Pak! Mas Arya mulai sore ini tinggal bersama Pak Tarman!” kata Aisyah suara kalem dan lemah seperti biasanya.

“Baik, non!” jawab Pak Tarman.

“Maaf, mbak! Sore ini saya pulang dulu mau pamit ke Ibu dan Ayah saya dan membawa bekal-bekal seperlunya, mbak! Jadi, mulai besok saya tinggal bersama Pak Tarman.” sela Arya.

“Baik, mas!” jawab Aisyah.

“Pak, sekarang Aisyah keluar dulu bersama mas Bima. Aisyah minta tolong ke Pak Tarman untuk mengurus semua ini lagi ya Pak!” pesan Aisyah.

“Baik, non!” jawab Pak Tarman dengan agak membungkukkan badan.

“Mari, mas Arya! Pak! Saya tinggal dulu ya!” pamit Aisyah.

“Mari, mbak! Silakan!” jawab Arya, lalu disusul Pak Tarman.

“Assalamu’alaikum!” salam Aisyah.

“Wa’alaikum salam!” balas Pak Tarman dan Arya serentak. Setelah itu, Aisyah mulai berjalan mendekati Bima yang sejak tadi berdiri masih menyarungkan kedua tangannya ke saku celananya dengan melihat ke luar pintu kaca restoran. Hujan sekarang rintik-rintik.