Temani Tidur
Di sekolah
Argista diam melamun di bangkunya, ia memikirkan bagaimana nasibnya ke depannya. Tidak mungkin ia selamanya akan menjadi simpanan Slater hanya demi meraup beberapa uang. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Ini kali pertamanya ia menjalin hubungan dengan seorang pria.
Apa Slater bisa dipercaya? Biasanya pria kaya seperti Slater selalu ingkar janji dengan ucapannya.
Namun kenapa Argista tergoyahkan dengan ucapan Slater yang akan memperjuangkan kebahagiaan Argista selama dirinya mau menemani Slater dalam merebut kekuasaan perusahaan keluarganya.
"Yauuu, ternyata ini gadis cantik yang jadi simpanannya om om," argista mendongak, melengos dengan dengusan sebal kala ia melihat keberadaan saudari tirinya- Mora bersama sahabatnya, Sabena.
Mora duduk di atas meja Argista dan bertanya, "Bagaimana rasanya menjadi simpanan om om? Bagaimana rasanya malam pertama dengan om om tua itu? Apa menyenangkan menjadi baby sugarnya? Wahh kau pasti dilimpahi dengan kekayaan dan barang barang branded, apa tidak melelahkan melayani pria tua yang memiliki birahi tinggi? Kau pasti kesulitan berjalan karena nafsunya." sontak Sabena langsung tertawa terbahak bahak membuat seisi kelas langsung memandang Argista dengan tatapan jijik dan merendahkan.
padahal mereka belum tahu fakta sebenarnya. Tak apa, Argista tidak pernah bingung apalagi resah dengan tatapan seperti itu apalagi dengan cacian dan makian, hidupnya hanya ia abadikan untuk mencari uang sebanyak mungkin agar bisa memberikan keadilan pada ibunya dan memberikan pelajaran pada Mora dan ibu tirinya.
Argista asyik membaca bukunya, namun Mora merebut buku itu dan melemparnya ke sembarang arah. Argista membuang napasnya dan mendongak menatap saudari tirinya itu.
"Jangan menghinaku, ibumu juga seorang jalang yang merayu ayahku, untuk apa mengataiku jika kau sendiri terlahir dari rahim seorang jalang!" olok Argista saking kesalny dengan sikap Mora yang selalu mengganggunya.
Argista beranjak dari bangkunya hendak mengambil bukunya namun Sabena menghadang langkah Argista dengan kakinya hingga ia tersungkur di lantai. Mora dan Sabena langsung tertawa terbahak bahak dengan puas melihat hal itu.
Argista meringis perih kala lututnya sepertinya lecet. Dan benar, memar merah itu menimbulkan rasa perih saat ini.
Ia langsung bangun, mengambil bukunya, enggan berbicara dengan mereka dan memilih untuk pergi dari kelas.
Mora dan sabena saling melempar tatapan dan langsung menyusul Argista keluar.
Ternyata Argista pergi ke kamar mandi, alhasil keduanya dengan cepat langsung menghampiri Argista.
Argista hendak menutup pintunya, tiba tiba Sabena menahan pintunya dengan kakinya.
Byur
Mora menyiram Argista dengan air, alhasil Argista basah kuyup saat ini membuat tawa mereka langsung lepas.
"Upss maaf, bagaimana ini, kau jadi basah," kata Mora mendekat membuat Argista mengusap wajahnya dengan kekesalan yang ia tahan.
Tak lama bel masuk berbunyi membuat keduanya semakin tertawa sedangkan Argista merenungi kesialannya.
"Sorry ya, kau jadi basah kuyup karenaku, kau tidak akan melaporkanku pada sugar daddymu kan?" sabena langsung tertawa mendengar hal itu sedangkan Argista tengah memeras rambutnya agar cepat kering.
Mora sedikit kesal kala Argista tidak merespon apapun, seperti tidak menanggapi bullyannya.
Dengan jengkel Mora mendorong Argisa hingga ia tersungkur di lantai, yang mana kepalanya hampir saja terbentur toilet duduk tersebut.
Argista membuang napasnya dengan jengkel, ia bangun dan melayangkan tamparan kerasnya pada Mora. Sabena sempat tertegun beberapa saat, Argista terlihat menakutkan saat menjadi pemberani.
"Enyahlah, aku alergi dengan putri dari seorang pelacur sepertimu," olok Argista dengan penuh penegasan.
Mora hendak membalas namun Sabena menghentikannya, "Udah bel, ayo ke kelas." Mora berdecak dan meninggalkan kamar mandi.
Argista menutup pintunya, duduk di closet dan membuang napasnya dengan gusar. kini ia basah kuyup karena ulah saudarinya yang gila itu.
Mau tidak mau Argista harus menunggu hingga bel pulang. karena tidak mungkin seragamnya akan kering, masuk ke dalam kelas hanya akan membuat dirinya semakin malu nanti. Masalah Mora, Argista tidak akan melupakan sikapnya.
Ia akan membalasnya, tapi nanti. Dengan hal yang lebih kejam dan lebih sadis.
"Kuharap kau panjang umur dengan ibumu juga, dengan begitu aku akan memiliki banyak kesempatan untuk membalasmu," gumam Argista lirih.
***
Malam harinya, Slater pulang dengan senyum lebarnya, ia menenteng kue yang ia beli tadi. Ia sudah tidak sabar untuk memberikannya pada Argista.
Begitu masuk senyuman Slater langsung pudar, ia tak menemukan argista di dapur.
Di mana dia?
Slater langsung mendekati meja makan, semua masakan itu masih mengepulkan asap, itu tandanya baru masak. lalu di mana Argista?
Slater meletakkan box kuenya di atas meja lalu mencari Argista di kamarnya.
Begitu ia membuka pintu, terlihat Argista terbaring dengan tubuh yang menggigil. Dengan cepat Slater langsung menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Slater begitu duduk di tepi ranjang.
Argista memeluk dirinya sendiri dengan bibir yang pucat membuat Slater langsung memanggil dokter untuk ke mansionnya.
Slater memeriksa kening Argista, sangat panas.
Selang beberapa waktu dokter datang dan memeriksa Argista.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Slater sedikit cemas.
dokter menghela napas pelan dan berkata, "Dia hanya demam. Aku sudah memberinya obat. Demamnya akan segera turun." Slater sedikit lega mendengar hal itu.
Begitu dokter keluar, Slater kembali duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan Argista yang menggigil kedinginan.
"Kenapa tidak memberitahuku jika kau sakit?" marahnya dengan nada ketus.
Argista hanya diam sibuk memeluk dirinya sendiri.
Slater menarik selimut, hendak menyelimuti Argista, namun ia melihat luka di lutut Argista, Slater hendak bertanya namun ia urungkan, begitu sampai ke atas, ia tak sengaja melihat siku Argista memar.
"Apa kau jatuh tadi?" tanya Slater khawatir.
Argista tidak ingin mempermasalahkan tentang hal itu, maka spontan ucapan konyol itu muncul dari bibirnya.
"Bisa temani saya tidur?" Slater menelan salivanya mendengar permintaan barusan.
Slater langsung naik ke atas ranjang, menyelusup masuk ke dalam selimut, Argista langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Slater memeluk pinggangnya untuk meredam rasa dinginnya.
Slater menelan salivanya, ia merasa kikuk canggung dan bingung, bagaimana ia harus menyikapi hal ini, jantungnya berdebar hebat saat ini.
Namun sebisa mungkin Slater menutupi perasaannya, ia membalas pelukan itu, namun debaran jantungnya semakin cepat.
Slater memejamkan mata, menahan rasa malunya tidak mungkin argista tidak mendengar suara detak jantungnya, Slater yakin sekali, Argista pasti mendengar dengan jelas debaran yang abnormal itu.
Kaki Argista tanpa sengaja menyelusup di antara kakinya membuat Slater menelan salivanya, merasakan sesak dan sakit di bawah sana, benar benar posisi saat ini sangat menyiksa Slater.
Slater menunduk untuk memeriksa Argista, dia sudah terlelap dengan pulas, tidak lagi menggigil kedinginan, namun Slater tersiksa karena tingkah Argista.
"Jika saja kamu tidak sedang sakit, aku pasti akan menghujammu malam ini," gumam Slater berusaha untuk memejamkan matanya meski batangnya terus mengeras.
