GURU
Mobil BMW M4 Coupe milik Chandra berhenti di sebuah taman kanak-kanak yang menjadi satu dengan day care.
Nila menjinjing tas tangannya,dan tanpa bicara segera meraih handle pintu.
"Tunggu." cegah Chandra sambil memegangi pergelangan tangan Nila. Membuat istrinya tersebut,mengurungkan niat membuka pintu,dan menoleh padanya.
Nila menatap dengan pandangan antipatinya yang biasa.
"Sudah kau pertimbangkan saranku kemarin?" ia bertanya.
Nila mengangkat muka."Aku suka di sini." ucap Nila tegas.
Raut wajahnya tak berubah, saat melihat suaminya.Penuh permusuhan dan rasa benci yang mendalam.
"Di sini kau kurang di hargai. Kau juga akan cepat lelah, karena mengurus banyak anak kecil."
"Kurang di hargai?" ujung bibir Nila tertarik. "Aku tidak seperti kau yang gila hormat."ejeknya.
Si sopir yang duduk di depan, sampai tak berani mengangkat wajah jika dua orang majikannya ini sudah berbicara. Karena pasti hanya akan ada pertengkaran.
Wajah Chandra makin kaku dengan pandangan dingin yang membuat siapa pun gentar.Tapi tidak dengan Nila.
Merasa tidak ada perlu di bicarakan lagi.Ia segera membuka pintu mobil,dan tanpa pamit pada Chandra,wanita yang pagi ini terlihat manis dengan setelan rok dan cardingan warna pastel itu, pergi memasuki gerbang sekolah.
Dari kejauhan,lewat kaca mobilnya yang tertutup,Chandra memperhatikan istrinya yang di sambut anak-anak kisaran usia 3 sampai 5 tahunan.
Wajah dinginnya mengendur, saat melihat Nila tertawa riang bersama anak-anak yang mengelilinginya.
Tawa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi dia juga yang merampas tawa itu dari pemiliknya.
Chandra baru menyuruh Sopirnya menjakankan mobil,saat gerombolan anak kecil tadi sudah membawa istrinya masuk ke dalam.
Di dalam kelas, Nila memandu anak-anak bernyanyi dengan suka cita. Caranya berbicara,serta air mukanya sungguh berbeda ketika sedang bersama Chandra.
Di sini Nila terlihat sangat bahagia di kelilingi anak-anak polos yang mengikutinya bermain dan belajar.
"Disini senang, disana senang..di mana-mana hatiku senang, lalalala..la..la..la.." Nila bernyanyi bersama anak-anak sambil melucu.
Di sinilah tempat di mana Nila bisa menjadi dirinya sendiri. Melupakan sejenak lara hatinya dengan memandang wajah-wajah polos yang berseri saa memandangnya.
Sedikit menjadi pengobat cita-citanya yang tak mungkin terwujud,serta masa depan impian yang kini untuk bermimpi pun,Nila anggap mustahil.
"Bu Nila." Bu Ida,kepala sekolah taman kanak-kanak itu berjalan ke arahnya,lalu duduk berhadapan dengan ia yang sedang menyusun foto anak-anak dan menempelkannya menjadi mading.
"Iya,Bu?" Nila tersenyum ramah. Melihat ke arah Kepala sekolah bertubuh subur itu sesaat,sebelun asik dengan aktifitasnya kembali.
"Kami sangat senang Bu Nila mau membantu mengajar di sini." ucap Bu Ida perlahan. "Anak-anak juga sangat menyayangi Bu Nila."ia melanjutjan.
Nila menghentikan gerakan melipat kertas menjadi bentuk bangau. Ekspresi wajahnya berubah. Ia teringat Chandra yang berkali-kali menyuruhnya berhenti mengajar.
"Tapi..seorang istri Direktur Utama Perusahaan Multinasional seperti Bu Nila,rasanya kurang pantas bekerja di tempat kecil seperti ini."hati-hati Bu Ida berkata.
"Apa Suami saya mengatakan sesuatu ?" Nila menatap lawan bicaranya. Membuat Bu Ida sedikit gugup.
Melihat sikap rekan kerjanya itu,membuat Nila tertunduk.
Kenapa setiap hal yang membuat aku bahagia,selalu dia rengut?
"Suami Bu Nila sangat baik." puji Bu Ida. "Beliau memberikan bantuan untuk memugar gedung lama menjadi baru,juga melengkapi dengan peralatan pendukung lainnya." Bu Ida menerangkan. "Kami sangat terbantu dan sangat berterima kasih pada beliau,tentu saja pada Bu Nila juga.Kami merasa beruntung."
Wajah Nila sudah sembab.Tanpa sadar tangannya ikut terkepal menahan gejolak perasaanya.
"Beliau sangat khawatir dengan kesehatan Bu Nila." kepala sekolah tersebut melamjutkan. "Baliau juga ingin cepat-cepat menimang bayi." ia terkekeh.
Nila menelan ludan.Di kuat-kuat kan hatinya,supaya tak menangis.Ia tak mau orang lain mengetahui bahwa rumah tangganya hanyalah neraka belakang.
"Apa yang ingin Bu Ida katakan?" Nila bertanya setelah bisa menguasai diri.Meskipun tanpa bertanya pun,Nila ia sudah tahu,bahwa lagi-lagi suaminya itu tinggal menjentikan jari untuk sesuatu yang tak sesuai keinginanya.
"Maksud saya..eeng.." Bu Ida menunjukkan gestur tak nyaman.
Beberapa kali ia menghindari tatapan mata dari Nila.
"Maksud saya..eemm..kalau pun Anda mau bekerja,haruslah di tempat yang layak....." ucap Bu Ida mengantung.
Wajah Nila memelas. "Saya senang di sini. Saya suka bermain bersama anak-anak." Nila berhenti sebentar untuk mengamati reaksi dari lawan bicaranya. "Tapi jika Bu Ida menginginkan saya tidak mengajar lagi, saya akan mengundurkan diri."
"Saya bukannya tidak menginginkan Bu Nila mengajar.tmTapi orang seperti Bu Nila.." Kepala sekolah itu gelisah.
"Tidak apa-apa,Bu." Nila berusaha tersenyum. "Tolong sampaikan salam saya kepada anak-anak. Saya tidak tega jika harus berpamitan langsung." Nila memasukan barang-barangnya ke dalam tas.
"Bu Nila masih bisa main ke sini." Ia langsung ikut berdiri,begitu Nila bangkit dari duduk. "Anda juga tidak harus sekarang berpamitannya.Anda masih bisa mengajar satu, atau dua minggu lagi." wanita bertubuh gemuk itu terlihat cemas.Takut jika menyinggung hati Nila,yang bisa saja berakibat di batalkannya bantuan dana dari Chandra.
Tapi Nila tak mempedulika."Permisi."dia pamit begitu saja,dan langsung berjalan pergi.
"Bu Nila sudah di jemput ?"Bu Ida masih berusaha menahan.Tapi Nila sudah tak mendengar.
Awan mendung mengantung di langit siang kota Jakarta. Sepeda motor saling berkejaran di jalan raya, karena hujan akan segera turun. Tak mau kalah dengan pengguna sepeda motor,yang bermobil pun saling adu cepat. Seolah mereka yang nyaman di dalam, juga akan terkena percikan air hujan.
Nila berjalan pelan di pinggir trotoar jalan raya.Menuduk sambil memegangi tali tas yang ia sampirkan di pundak sebelah kanan.
Hatinya kosong, dan ia tak tahu sedang berjalan ke mana. Titik-titik air hujan mulai berjatuhan,membuat Nila tersadar dan menengadah ke atas.
Gerimis menjadi hujan,dan seperti orang linglung Nila tetap berdiri di atas trotoar yang kini sepi karena hujan turun dengan lebatnya.
Tanpa seorang pun menyadari,air matanya meleleh bersama hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Sore sekitar jam 4,Chandra menjemput seperti biasa. Betapa terkejutnya ia,saat mendengar, jika Nila sudah pulang dari tadi siang.
"Seperti yang Pak Chandra mau, saya sudah mengatakan kepada Bu Nila untuk bekeja di tempat yang lebih baik. Tapi sepertinya Bu Nila tersinggung dan langsung memutuskan untuk pulang saat itu juga." takut-takut,Bu Ida menjelaskan.
Kening Chandra berkerut dalam.Sebenarnya ia ingin marah,tapi hari telah sore,dan jarak pulangnya Nila dengan saat ini sudah berjam-jam lalu.
Chandra tak ingin terjadi apa pun pada istrinya. Segera ia meninggalkan sekolah yang merangkap day care itu cepat-cepat.
Sepatu hitamnya yang terbuat dari kulit sampai tanpa sengaja menginjak kubangan air,membuatnya kotor dan celananya ikut ternoda.
Chandra yang perfectionis, biasanaya akan langsung menganti.Tapi tidak kali ini,ia sibuk menelpon nomor istrinya, yang sayangnya tidak aktif.
Kemudian mengeser-geser nomor lain.
"Suruh anak buahmu untuk mencari istriku." Chandra memerintahkan seseorang melalui telpon gengam.
Di pandanginya matahari yang mulai terbenam dari kaca mobilnya yang tengah melaju di jalanan kota yang basah, karena hujan tadi siang.
"Dimana kamu, Nila?" keningnya berdenyut memikirka istrinya.
