Part 2. Lebih Baik Jual Diri Daripada jadi pelakor
"Bos baru. Bos baru," ucap mereka dengan setengah berbisik. Saling menyenggol dengan siku masing-masing.
Penasaran, setampan apa wajah putra pemilik Bar tempat aku bekerja ini.
Kabarnya dia akan menggantikan posisi Koh Alex yang sekarang dipindahkan ke cabang Pluit.
Kami semua melakukan aktivitas sedari pukul setengah delapan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Bu Rini memberi aba-aba agar kami menghentikan aktivitas sejenak.
Wanita setengah baya bertubuh tambun itu mengisyaratkan agar semua berkumpul di depan pintu masuk, tempat biasanya kami melakukan breafing.
Tak berselang lama masuk beberapa orang. Dua di antaranya sudah sering kulihat. Supir Nyonya Lim, pemilik perusahaan besar ini yang sesekali datang untuk memantau kinerja karyawan. Sementara yang satunya lagi adalah Cece Lili, asisten pribadi nyonya Lim.
Seperti sebelumnya-sebelumnya, wanita berdarah tionghoa itu mengumumkan sesuatu.
"Selamat pagi semuanya. Tentunya semua sudah pada dengar ya, kalau Koh Alex sekarang sudah dimutilasi, eh mutasi ke cabang Pluit," ucapnya dengan sedikit candaan.
"Jadi sekarang, Bapak ganteng yang ada di samping saya ini akan menggantikan posisi beliau sebagai atasan kalian yang baru."
Semua mata memandang ke arah laki-laki di sebelahnya. Tak terkecuali aku yang memang membenarkan perkataan Cece Lili tadi. Dia memang tampan.
"Selamat pagi semuanya. Senang bisa bekerja sama. Saya Zulfikar Malik"
Deg!
Jantungku seketika terasa sakit. Napasku terasa sesak. Aku memegangi dadaku yang seperti diremas. Nama itu, nama yang selama ini tersimpan rapat dalam hatiku. Nama, yang bahkan pemiliknya aku tak tahu bagaimana nasibnya. Masih hidup, ataukah sudah mati.
Tapi bukan. Tentu saja bukan orang itu. Wajah itu bukan wajah laki-laki yang selama ini aku pikirkan. Walau kisah itu sudah terjadi belasan tahun yang lalu, tapi aku ingat betul ada tanda lahir di bawah mata sebelah kirinya.
Mungkin itu hanya sebuah nama. Banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Tapi kenapa bisa sama persis. Kutepiskan semua dugaan tak mendasar itu. Laki-laki itu berbeda. Dia bukan orang itu.
"Pak Zul udah punya pacar belum?" celetuk Vera tanpa rasa segan. Sontak anak anak yang lain ikut bersorak.
"Huuu... modus."
"Hati-hati pak. Buaya itu."
Laki-laki itu tertawa kecil melihat tingkah mereka yang tidak canggung dan mudah akrab. Sesaat dia melirik dan menangkap mataku yang dari tadi terpaku diam menatap ke arahnya. Aku salah tingkah dan langsung tertunduk tak berani menatap lagi.
"Jangan panggil Zulfikar Panggil saja Zul"
Zul!
Gemuruh di dada kian bergetar. Apa lagi ini? Orang itu adalah, Bang Zul? Bang Zul yang selama ini aku cari, bahkan dalam mimpi sekali pun? Aku terkulai lemas. Firasat apa ini? Aku seperti terbawa pada kenangan belasan tahun yang lalu.
"Kenapa kamu Nita ? Kok pucat kali kutengok." sapa Oji dengan logat khas Medannya.
"Nggak papa, Ji," sahutku
"We, tengok dulu si Nita ni. Pucat kali mukaknya." Oji seperti memberi pengumuman. Sontak aku menjadi perhatian.
'Dasar Oji bocor!' Aku mengumpat dalam hati.
Perhatian itu juga tak luput darinya. Pria bertubuh atletis itu ikut menoleh.
"Kamu sakit?" ucapnya, seperti memberi perhatian.
Darah ini kembali berdesir.
.
Sejenak aku terdiam, kemudian menggeleng pelan.
"Saya nggak papa Pak," sahutku.
Acara perkenalan sudah selesai. Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Pak Zul menempati ruangan tersendiri yang masih menyatu dengan ruangan yang super besar ini.
Sesekali kulirik dia di balik ruangan yang bersekat kaca tersebut sehingga terlihat semua kegiatan dari luar.
Entah kenapa firasatku mengatakan, kalau orang itu adalah Bang Zul, Kakak laki-lakiku yang terpisah dariku belasan tahun yang lalu.
******
"Eh, Nita ntar malam kamu cabut duluan aja ya. Mas Harris mau booking aku full night. Dia mau datang malam ini," ujarnya tanpa bisa dibantah.
Aku dan Aira sudah lama saling mengenal. Dulu kami bekerja di sebuah club malam sebagai pelayan pengantar minuman sebelum kami pindah Sydney Bar and Resto yang tentunya lebih besar.
Aira adalah seorang yang ramah tamah dan mudah beradaptasi dengan tamu-tamu yang baru dikenalnya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang seksi mampu menggoda para tamu lelaki untuk tidak segan-segan memberikan uang tips yang banyak.
Tak jarang dia juga mau menemani para tamu untuk minum-minum. Hingga pada suatu hari ada lelaki paruh baya yang sangat tertarik pada kecantikannya.
Aira selalu dimanja dengan segala kemewahan. Hingga suatu hari dia membuat keputusan untuk bersedia menjadi istri simpanan lelaki setengah tua tersebut.
Hidupnya kini berkecukupan, tak perlu repot-repot lagi bekerja di club tersebut. Bahkan kini dia tinggal di sebuah rumah bergaya khas Belanda di kawasan elite, yang beberapa kamarnya dia jadikan tempat kost dimana aku kost disitu.
Aira pun mengajakku untuk tinggal bersamanya tanpa harus membayar, karena paling hanya sebulan sekali suami sirinya itu datang untuk menjenguk.
Ah Aira, jalan hidup kita memang tidak ada yang tau. Dia mungkin belum sadar dengan perbuatannya. Betapa tidak, apa yang dia jalani saat ini pastilah menghancurkan hati wanita lain yang ada di suatu tempat.
Aku sendiri lebih baik menjual diri daripada jadi istri siri suami orang.
Malam ini aku di booking oleh pria paruh baya, namanya Pak Sony.
Pak sonny sudah tiga kali membawaku ke apartemen nya.
Aku sekarang berada di dalam kamar apartemen milik Pak Sony, Suara erangan, desahan saling memburu berkejaran.
"Anita ... ahk kamu memang luar biasa, love you sayang.. "sambil terus mencium melumat bibirku yang dipoles lipstik merah delima.. bibir Sonya turun ke leher menghisap perlahan meninggalkan geli luar biasa yang dirasakan olehku.
Tangan kanannya meraba liar tubuh ku.
"Ahk pak..hmmmm" Aku menggeliat... Saat Ia menciumi leherku, membuat aku terus mendesah.
Tangan Pak Sony meraba gundukan daging dibawah perutku yang berambut halus yang mulai kurasa basah.
Dengan memainkan jemarinya pak Sony terus menghisap puting yang semakin mengeras.
Aku tidak mau kalah ,ikut meraba penis Pak Sony yang besar dan panjang yang sudah tegak..
"Ahk pak., Alu suka ini pak."
Aku mengarahkan senjata Pak Sonny ke gerbang kenikmatanku.
" Ahk, sempit sekali Nitaaaa..." Pak Sonny berusaha menekan untuk bisa menembus kenikmatan.
"Ahk... Paaaak... Tekan lagi pak..." Aku menceracau gemas...
Pak Sonny mengangkat pantatku dan menekannya.. lalu memompa, senjatanya teras terjepit hangat nikmat luar biasa dirasakan.
Aku tahu, Pak Sonny sudah nyandu memek ku.
Setiap dia membawaku, Pak Sonny memberiku sepuluh juta rupiah.
Uangnya aku kumpulkan, aku tidak tergiur tinggal di apartment atau membeli motor bahkan mobil seperti yang lainnya.
Aku sekarang sudah semester akhir, sebentar lagi menyusun skripsi.
Aku akan wujudkan mimpi ku menjadi Sarjana.
