Pustaka
Bahasa Indonesia

Pelacur Kesayangan Jadi Ratu

32.0K · Tamat
Nestiana
27
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Warming, cerita ini mengandung bawang dan lendir. Siapkan tisu sebelum membaca Anita gadis yatim piatu yang bertahan hidup di ibukota bekerja sebagai wanita penghibur di salah satu club malam. Dari satu pelukan ke pelukan lain Anita mengais rejeki. Keinginannya hanya satu, Ia ingin menjadi Sarjana dan bekerja dengan pakaian kantor dengan rambut Curly, hanya itu mimpinya. Mimpinya akankah bisa terwujud.?

RomansaDewasaOne-night StandWanita CantikTuan MudaplayboyNovel MemuaskanBaik Hati

Part 1. Hilang Perawan

Aku, Angranita. Orang-orang biasanya memanggilku Anita. Aku suka nama itu. Nama yang disematkan oleh seseorang. Dia bilang karena aku terlihat manis dan imut.

Ya, namanya Zulfikar Malkk. Aku memanggilnya Bang Zul. Aku dan dia tumbuh bersama di sebuah panti asuhan yang terletak jauh dari kota Bogor.

Aku dan Bang Zul begitu dekat. Ia begitu menjaga dan menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri.

Setiap hari dia berencana membawaku pergi dari panti asuhan ini. Panti asuhan yang orang-orang berada di dalamnya selalu menyiksa kami.

Kmi dipaksa mengemis dan mengamen.

Tak jarang mereka juga mengurung dan tak memberi kami makan dengan alasan menghukum anak yang melanggar aturan. Panti asuhan itu hanya sebuah kedok untuk mencari donatur kaya dan menghasilkan uang dari mereka. Uang-uang yang diterima dari para donatur hanya dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik panti dan para pengikutnya saja.

Sementara anak-anak banyak yang terlantar tanpa bisa menikmati fasilitas yang seharusnya diterima.

Dan anak panti yang tubuhnya bongsor seperti aku, ditawarkan ke orang Arab yang berlibur dengan dalih kawin kontrak.

Seperti aku malam itu. Usia ku baru 15 tahun. Setelah didandani oleh istri pengurus panti aku diantar ke sebuah villa yang aku ingat daerah puncak.

Malam itu aku digagahi oleh pria Atan yang tidak aku mengerti bahasanya.

Kelaminku dijilati sebelum kejantanan pria arab itu menusuk nusuk organ intim ku.

Tak ada rasa lain selain rasa sakit dan takut.

Rasanya aku ingin langsung mati saja, tenaga ku habis karena berusaha terus memberontak.

Payudaraku terasa sakit oleh hisapan dan gigitan nya.

Aku tidak ingat berapa kali bahkan berapa jam pria itu menyetubuhiku.

Yang aku ingat aku sudah berada di dalam gudang di belakang panti asuhan.

Dan malam itu, Bang Zul membuka pintu gudang yang ada di belakang bangunan.

Aku yang sedari tadi siang terkurung langsung menangis melihatnya datang. Zul berlari mendekat dan langsung memelukku.

Diusapnya pipiku yang memar akibat tamparan pengurus panti.

Bekas darah masih membekas di sudut bibirku.

Bang Zul melihat wajah dan leherku.

Lalu kembali memeluk ku.

"Ayo kita pergi dari sini!" Bang Zul menarik tanganku dengan menggendong tas ransel yang terisi penuh. Kami akan melarikan diri malam ini.

"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku penuh ketakutan.

"Kemana saja, asal bukan di neraka ini," sahutnya dengan menahan emosi.

"Udah malam Bang, Nita takut," keluhku, sambil memegangi erat lengan dan berjalan cepat mengikuti langkahnya.

Kami menyusuri jalanan sepi. Jalan yang hanya dilewati beberapa pengendara saja. Kami bergegas hendak keluar dari wilayah panti yang memang sengaja dibangun di daerah perkebunan teh yang jauh dari pemukiman warga.

Setelah berjalan kaki hingga berpuluh-puluh kilometer, akhirnya kami sampai juga ke jalan besar.

Aku terduduk lemas saat Bang Zul mengajakku singgah ke sebuah warung yang masih buka pada saat itu.

Ia memesan dua porsi makanan dan minuman apa pun yang ada di situ. Dia bahkan tidak tau apa yang dijual si pemilik warung karena sebelumnya kami tidak pernah keluar dari daerah panti.

Dia hanya bilang, berikan kami makanan karena adiknya sangat lapar.

Tak lama Ibu penjaga warung datang dengan dua mangkuk mie instant yang direbus dengan telur dan sawi hijau. Aku dan Bang Zul makan dengan lahapnya, tak lupa kami menyeruput teh manis hangat yang datang belakangan.

"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tanya penjaga warung setelah kami selesai dengan aksi kami tadi.

Bang Zul mengusap mulutnya yang berminyak, bekas mie instant tadi dengan punggung tangan.

"Jakarta " jawabnya singkat.

Aku langsung menoleh ke arahnya. Menarik lengan bajunya lalu setengah berbisik.

"Kita tidak punya uang, Bang."

Zul mengusap lembut rambutku, berusaha menenangkan.

"Nita tenang aja. Pokoknya kita pergi jauh dari tempat ini."

Bang Zul merogoh tas ransel yang tadi dibawanya. Dikeluarkannya selembar uang dari dalam sana dan memberikan kepada penjaga warung untuk membayar apa yang kami makan.

Aku terkejut, bagaimana Bang Zul bisa memperoleh uang tersebut. Seumur-umur kami tidak pernah dibiarkan memegang uang sepeser pun.

Bahkan saat ada donatur panti yang memberi kami amplop berisi uang, selalu dipungut kembali atas perintah kepala panti.

Ibu pemilik warung menolak uang yang disodorkan Bang Zul.

"Simpan saja buat bekal kalian," ujarnya.

"Jam empat subuh nanti ada truk yang akan melintas ke arah Jakarta. Aku akan bilang sama supirnya untuk turut serta membawa kalian. Ini masih jam satu malam. Bawalah adikmu ke dalam dan beristirahatlah dulu."

Kulihat mata Bang Zul berkaca-kaca menatap ibu penjaga warung. Dia sangat berterima kasih dan membawaku pergi untuk beristirahat.

******

Aku tersentak ketika Bang Zul menggoyang-goyangkan badanku.

"Bangun, Nita. Truk sudah mau berangkat."

Aku membuka mata dengan perlahan. Rupanya aku tadi tertidur pulas karena kelelahan hingga tidak terasa sudah jam empat subuh.

Bang Zul meraih tanganku dan kembali menggendong ranselnya yang penuh sesak itu. Warung yang kami singgahi itu ternyata buka selama dua puluh empat jam sebagai tempat persinggahan truk-truk muatan yang singgah, atau sekedar melintas.

Hari ini truk yang bermuatan pupuk, akan melintasi Jasinga menuju Jakarta Ibu pemilik warung sudah menitipkan kami kepada supir yang sudah lama dikenalnya.

"Hati-hatilah di jalan. Semoga kalian selamat sampai di tujuan. Jaga baik-baik adikmu itu." Pesan ibu penjaga warung, sambil memberikan kami bungkusan untuk bekal di jalan.

Truk melaju dengan kencang, membawa sejuta angan, yang kini bermain-main di dalam pikiran kami.

Aku dan Bang Zul saling menatap sambil melempar senyum, berharap ada kehidupan yang lebih baik menunggu di Jakarta.

*******

Namun sampai di pasar induk, aku malah tidak tau pasar induk apa namanya. Yang aku tahu itu pasar induk.

Aku yang sedang ke toilet harus kembali diperkosa.

Masih terlintas sekelabat ingatan saat para preman itu memukuli Bang Zul habis-habisan, saat berusaha menolongku. Wajahnya basah tertutupi darah.

Tubuh nya tersungkur tak berdaya. Lalu lengan besar dan kuat itu memikul tubuhku yang meronta-ronta menjauhi tubuh Bang Zul yang tak bergerak.

"Ngelamun aja woi, kesambet baru tau." Sebuah tepukan di pundak menyadarkanku dari lamunan. "Masih kepikiran sama yang namanya Zul?" tanya Aira, anak pemilik rumah kost.

"Nggak lah, beda. Yang ini lebih ganteng," jawabku santai.

"Emang bener, dia anak Bos kamu? Bukannya kemarin kamu bilang anaknya jauh lebih muda?"

"Ya, aku juga heran. Kayaknya baru kemarin mereka ngadain pesta anaknya yang kuliah ke luar negeri. Tau-tau udah jadi bos aja." Aku dan Aira cekikikan.

"Bisa aja kan, kalau Bos kamu itu punya anak yang lain. Mana tau suaminya juga punya simpanan." Aira mengoceh semakin tak karuan.

"Nyari temen?" sindirku pelan.

Aira terkekeh dengan ucapanku.