15. Cokelat Itu Manis
Hiruk pikuk keramaian tercetak dengan jelas pada netraku. Aku tengah duduk manis di samping Umi.
"Berangkatnya jam berapa Zam?" tanya Umi.
"Satu jam lagi Umi," sahut Gus Azzam.
"Kamu disana nanti jadi ikut temenmu yang dokter itu?"
"Iya nanti Azzam mau nunut kosan Mas Rayyan dulu. Walau kampus beda tapi kan sama-sama di Melbourne."
"Dokter Rayyan yang wajahnya kayak bule itu ya Zam?" tanya Umi.
"Iya Umi."
"Kok Mas Azzam bisa kenal sama itu bule, Mas?" sekarang Gus Azmi yang bertanya.
"Mas Rayyan anaknya Pak Surya, salah satu arsitek dan kontraktor terkenal di Purwokerto. Mas Azzam kan sering kerja bareng beliau. Jadi kenal semua anaknya."
"Oooo," jawab Gus Azmi.
Kami sibuk bercerita, Abah dan Kang Bimo sedang ke mushola untuk sholat dhuha. Keluarga Abah Ilyas memutuskan tidak menghadiri acara pernikahan Gus Fadil.
Selain alasan kurang setuju juga dikarenakan berbarengan dengan keberangkatan Gus Azzam ke Melbourne. Jadi disinilah kami di bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Entah karena alasan apa, Umi memaksaku untuk ikut mengantar. Padahal aku sudah menolak, bahkan rengekan Gus Azmi pun tak bisa menggoyahkan tekadku.
Disaat kedua orang yang kusayang tengah membujukku, Gus Azzam tiba-tiba datang.
"Kamu itu gak sayang sama Umi dan Azmi ya? Mereka berdua itu sayang banget sama aku, Ca. Nanti pas aku udah terbang pasti Umi sama Azmi bakalan nangis. Abah gak bisa nenangin keduanya sekaligus. Jadi itu tugas kamu buat nenangin salah satunya."
Setelah mengucap kalimat sadisnya Gus Azzam langsung menuju kamar. Membuatku berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk. Jadi, disinilah akhirnya aku berada.
*****
"Umi ... Azmi mau beli dunkin donut sama KFC ya?" rengek Gus Azmi.
"Biar Mbak Caca yang nemenin ya Gus?" ajakku.
"Boleh Umi?" pinta Gus Azmi.
"Boleh. Hati-hati ya?" titah Umi.
"Baik Umi." Kami menjawab kompak.
Aku menemani Gus Azmi membeli semua keinginannya. Sambil menunggu pesanannya kami bercanda. Gus Azmi walau sudah 12 tahun tapi masih seperti anak kecil padahal sudah kelas 6 SD. Kayaknya kalau dilihat dari postur tubuh dan tingkah lakunya aku yakin belum baligh. Hihihi. Gak perlu diperjelas bagaimana aku bisa tahu, aku guru Biologi loh.
"Mas Azzam kok kesini." Gus Azmi berteriak pada seseorang di belakangku dan aku pun menoleh.
"Kalian kelamaan, ngapain sih?" tanya Gus Azzam.
"Antri pizza Mas. Hehehe."
"Ckckck. Tadi katanya cuma mau donut sama KFC," ucap Gus Azzam sambil mengacak rambut adiknya.
"Habis kayaknya enak Mas." Gus Azmi beralibi.
"Ya udah, Mas mau pesen es kocok mocacino dulu. Kamu mau pesen apa?"
"Strawberry ya Mas, Mbak caca sukanya apa?"
"Cokelat," jawabku.
"Tuh Mas kalau punya Mbak Caca rasa cokelat."
"Siapa yang mau beliin buat Caca, Mas kan tanyanya ke kamu."
"Caca nitip Gus, nanti Caca ganti deh," ucapku jutek bin mangkel.
Dia cuma pergi tanpa ngomong apapun. Dih dasar. Setelah semua pesanan Gus Kecil kami dapatkan, kami kembali menuju Umi yang sudah duduk bersama Abah. Sedangkan Kang Bimo duduk di kursi lain.
"Sudah dapat Mi?"
"Sudah Umi."
"Banyak bener yang kamu beli?" tanya Abah.
"Hehehe. Mumpung ada Bah, kalau udah di pondok susah nyarinya." Kami tergelak dengan jawaban Gus Kecil.
"Azzam mana Umi? Sebentar lagi waktunya cek in loh," tutur Abah.
"Gak tahu Bah, katanya tadi ijin mau beli minum. Kok lama ya," jawab umi.
Gus Azzam datang membawa plastik kresek berisi minuman es kocok.
"Nih punya kamu," ulurnya pada Gus Azmi.
"Makasih Mas."
"Ya udah, Abah, Umi, Azzam pamit. Kang Bimo jaga Abah, Umi, sama Azmi ya?"
"Iya Gus, pokoknya serahkan sama Kang Bimo."
"Kamu sehat-sehat disana ya Zam, jangan lupa pesan Abah."
"Nggih Bah, Azzam pamit."
Gus Azzam kemudian memeluk Abah, Umi, Gus Azmi dan Kang Bimo. Saat akan melakukan cek in kami bertemu dengan teman Abah.
Abah dan Umi sedang ngobrol sambil menunggu Gus Azzam cek in. Gus Azmi dan Kang Bimo sedang selfi-selfi. Aku sendiri tengah memegang koper Gus Azzam.
"Ca."
"Nggih Gus. Sudah mau masuk ya? Ini kopernya Gus."
"Nih." Dia mengulurkan kantong plastik kecil kearahku.
"Ini apa Gus?" tanyaku sambil mengulurkan koper dan kemudian menerima kantong plastik darinya. Dia hanya tersenyum tipis.
"Titip mereka ya Ca, sama sekolah juga."
Kemudian dia berpamitan sekali lagi dengan keluarganya. Sedang padaku hanya menganggukan kepala lalu masuk untuk cek in.
Aku membuka kantong kresek yang diberikan oleh Gus Azzam. Aku tersenyum. Es kocok rasa cokelat. Huh ... ternyata dia baik juga. Aku meminum es kocok rasa cokelat kesukaanku ini.
"Hem ... Manis Gus. Kayak njenengan kalau lagi senyum," lirihku.
Aku menghabiskan es kocok rasa cokelat sambil sesekali berusaha menahan air mata. Aneh, dulu saat Hasan berangkat ke Malaysia aku gak sesedih ini. Tapi kali ini, kenapa aku sedih ya? Apa karena aku akan kehilangan partner gelutku untuk waktu yang lama? Entahlah.
