Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Melihat Jessica masuk dalam keadaan menangis. Anehnya, dada Michael terasa amat sesak sekarang. Terlebih panggilan tadi, membuat ia merasa sedikit senang. Ada getaran aneh juga merayap ke dalam relung hatinya sekarang. Sebuah getaran yang tak dapat Michael jelaskan melalui kata-kata. Dengan cepat Michael melepaskan tangan Moon.

Sementara Moon langsung menoleh dengan kening berkerut kuat. Sorot matanya yang semula menyala-nyala langsung redup bak disiram air sejuk.

Mendengar Jessica memanggil pria aneh bin gila itu dengan sebutan 'papa' barusan. Hati Moon mendadak perih seolah-olah ada benda tak kasat mata menikam organ dalamnya tersebut. Sekarang, mata Moon mulai tampak berkaca-kaca.

Moon perlahan mendekati Jessica, yang masih menangis tersedu-sedan.

"Jessica dia bukanlah Papamu, sadarlah Nak, laki-laki gila ini orang asing ...."

Lidah Moon mendadak kelu. Tangisan Jessica begitu menyayat-yayat hatinya sedari tadi. Memang lah benar, sedari kecil Jessica menginginkan seorang ayah. Lelaki yang dia sendiri pun tidak tahu siapa namanya. Lelaki yang selama ini bagi Moon tidak pantas disebut seorang ayah!

Memikirkan hal itu, suasana hati Moon jadi semakin buruk. Karena lelaki tersebut membuat hidupnya hancur dalam sekejap.

"Tidak, Paman itu bukan orang gila! Dia Papaku!" Gadis mungil berambut panjang itu berteriak sangat kencang hingga mukanya terlihat mulai merah karena terlalu keras menangis.

"Benar Jessica, dia hanya pria asing yang membantu kita tadi, jangan aneh, dia bukan Papa kita, Papa kita sudah berada di surga." Jason cepat-cepat masuk ke dalam, berusaha membantu mamanya untuk menenangkan sang adik. Tidak hanya Moon, Jason pun ikut tersiksa dengan tangisan Jessica.

Selama ini Jessica jarang sekali menangis. Bisa dihitung menggunakan jari seberapa banyak dia menangis. Adiknya itu tipikal anak yang periang dan memang lebih banyak berbicara ketimbang dirinya. Namun, tepat di pagi ini, adiknya menangis sambil sesenggukan, seolah-olah akan kehilangan seseorang. Jason pun tak mengerti mengapa adiknya itu cepat sekali akrab dengan pria asing tersebut.

"Paman itu Papaku, Mama jahat!" teriak Jessica lagi.

Membuat darah Moon mendidih kembali. Wanita bertubuh kurus itu alihkan lagi pandangan ke arah Michael.

"Ini semua salahmu! Keluar kau dari sini!" jerit Moon. Kemudian maju beberapa langkah hendak menyeret Michael.

"Tidak!" Namun, Jessica sudah terlebih dahulu menyentuh Michael. "Jangan pergi Pa! Jessica mohon jangan pergi ...."

Pupil mata Michael lantas melebar tatkala gadis mungil itu memeluk kedua kakinya seketika. Ada getaran aneh lagi merasuk tubuhnya.

"Jessica, dia bukan Papamu," kata Moon kembali dengan sorot mata mulai sendu.

Jessica menggeleng cepat sambil memeluk erat-erat kedua kaki Michael. Air matanya semakin mengalir dengan sangat deras sekarang, membasahi seluruh wajahnya, sampai-sampai hidungnya pun ikut merah.

"Paman, harus jadi Papa Jessica! Jangan pergi. Jessica sayang Papa," ucap Jessica dengan suara sedikit bergetar.

Michael tak menyahut, malah menoleh ke bawah dengan sorot mata memancarkan kesedihan.

Saat tak ada jawaban, Jessica perlahan mendongakkan wajah, menatap lekat-lekat wajah pria yang tampak pucat.

"Paman, jadi Papaku ya! Jessica mohon!" terang Jessica lalu kembali menelusupkan wajah di sela-sela kedua kaki Michael. Detik itu pula, tangis Jessica semakin pecah. Membuat Moon dan Jason tanpa sadar mulai menitikkan air mata.

"Iya, iya, Paman akan jadi Papamu," kata Michael, perlahan membungkukkan badan kemudian mengangkat tubuh mungil Jessica.

Jessica langsung tersenyum sumringah. Kendati demikian, air mata masih jatuh dari pelupuk matanya sejak tadi. Akan tetapi, sorot mata gadis mungil itu kini tampak bersinar terang. Berbeda sekali dengan Moon, justru mengepalkan kedua tangan, menahan amarah dengan interaksi Jessica dan pria tak yang dikenalnya itu.

"Yei, mulai sekarang Jessica punya Papa, Papa jangan pergi ya," ungkap Jessica sambil menaruh kepalanya di pundak Michael.

Michael mengulum senyum lalu mengelus pelan pipi Jessica.

"Sudah jangan menangis lagi, kalau menangis terus nanti Papa pergi," kata Michael kemudian melirik Moon seketika.

Namun, sebuah tatapan dingin yang Michael dapatkan. Michael tentu saja tahu ibu dari anak yang digendongnya ini tengah menahan diri untuk marah. Michael tak peduli, memilih memeluk Jessica erat-erat.

***

Sementara itu, di Rusia, kota Moskow. Tepatnya di mansion mewah dan luas, serta dikelilingi dengan pagar-pagar tinggi nan menjulang. Terlihat lah pria berwajah bengis dan bermata elang melangkah cepat ke dalam satu ruangan, diikuti seorang pria berambut blonde di belakangnya.

Wajah pria berambut blonde itu terlihat kusut dengan kantung mata menghitam di bawah matanya. Sorot matanya memancarkan ketakutan pula. Dengan tubuh sedikit bergetar, dia sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat rumah dalam keadaan sepi, hanya beberapa asisten rumah yang lalu lalang di sekitar, tengah menjalankan tugasnya, dan beberapa bodyguard berdiri di sudut-sudut ruangan.

"Duduklah, anggap saja ini rumahmu," titahnya setelah sampai di ruangan bernuansa gelap, di mana semua dinding berwarna hitam. Ada banyak patung aneh terlihat dan lukisan-lukisan aneh terpajang di dinding.

Lelaki berambut blonde itu mengangguk samar. Namun, kakinya tak kunjung dia gerakkan. "Tidak usah Tuan, aku berdiri saja."

Lelaki bermata hijau menyeringai sejenak, perlahan menjatuhkan diri di sofa sambil mengarahkan mata elangnya pada pria berambut blonde.

"Kau yakin? Apa kau tidak lelah? Kau kan baru saja datang. Sudah, duduklah, hari ini suasana hatiku sedang baik, apa kau menolak perintahku?" Setiap kata-kata yang dikeluarkan terdengar tajam, hingga menusuk indera pendengaran pria berambut blonde sekarang.

Tidak hanya itu, atmosfer di sekitar pun mendadak mencekam hingga membuat seluruh tubuh pria berambut blonde mulai bergetar hebat. Padahal lelaki bermata hijau itu memandang dengan mimik muka datar sejak tadi. Pria tersebut memiliki aura yang sangat menakutkan.

Dengan susah payah, pria berambut blonde menarik napas lalu berkata,"Baik Tuan, terima kasih atas tawarannya."

Dia mulai menggerakkan tubuh hendak menjatuhkan diri di sofa. Akan tetapi, perkataan sosok di hadapannya ini membuat gerakan anggota tubuhnya seketika terhenti.

"Aku tidak ada bilang duduk di sofa, duduk lah di lantai!" titahnya tiba-tiba.

Lelaki berambut blonde itu tampak serba salah. Mau tak mau duduk di lantai sambil meneguk ludah dengan susah payah.

"Jadi dia sudah mati, 'kan?" Lelaki bermata hijau tiba-tiba bertanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel