Bab 3
Ketika permintaan aneh meluncur bebas dari bibir Jessica. Pupil mata Jason lantas terbelalak sempurna.
Sementara yang ditanya, enggan menjawab, melainkan memejamkan mata sambil memegang kepala. Suara rintihan pun kerap kali keluar dari bibir tipisnya. Lelaki berjas hitam itu masih terlihat kesakitan.
"Jessica, apa kau sudah gila?!" kata Jason seraya melirik tajam Jessica.
Jessica reflek memutar sedikit kepala ke samping, kemudian melipat tangan di depan dada.
"Apa sih? Jessica tidak gila, Abang. Jessica mau Paman ini jadi Papa kita," ucap Jessica.
Jason berdecak kesal sejenak lalu berkata,"Astaga Jessica! Paman ini orang asing dan kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu, jangan berpikiran pendek, kita tidak tahu niat terselubungnya."
Mata Jessica sontak mengerling. Sekarang, sikap saudara kembarnya itu membuat dia muak.
"Abang benar-benar jahat! Abang tidak tahu berterima kasih, tadi Paman ini sudah membantu kita, tapi Abang malah berpikir yang tidak-tidak," ujar Jessica dengan penuh penekanan.
Mendengar penuturan Jessica. Jason terdiam selama beberapa detik kemudian membuang napas berat. Ya, dia sangat berterima kasih dengan kehadiran sosok di dekatnya ini tadi. Namun, tak dapat dipungkiri dia harus lebih berhati-hati terhadap orang asing.
"Tapi Jess—"
Jessica tiba-tiba menyela dengan mimik muka masam. "Sudahlah, kalau Abang tidak mau Paman ini jadi Papa kita, biarkan Paman ini hanya jadi Papa Jessica saja!"
Kerutan di dahi Jason langsung tercipta. Dia makin heran dengan perkataan adiknya itu. Jason hendak mengeluarkan pendapat. Namun, respons Jessica sekarang, membuat Jason hanya bisa menahan kesal.
Jessica menatap kembali pria tersebut, sejak tadi lelaki bermata hijau itu mengabaikan Jessica dan Jason. Sosok tersebut masih bergeming, dengan kepala tertunduk dalam tengah menahan rasa sakit yang perlahan mulai menghilang sekarang.
"Paman kenapa? Nama Paman siapa?" Jessica maju beberapa langkah kala menyadari ada sesuatu yang salah pada pelindungnya itu.
Sosok itu memegang kepalanya. Dia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya dan mengapa pula bisa berada di sini saat ini. Saat hendak berusaha mengingat namanya. Bayangan aneh mulai menari-nari di benaknya sekarang.
"Maafkan aku Tuan Michael, ini semua salahku!"seru seseorang dalam ingatannya.
Dalam penglihatannya, dia berada di dalam kendaraan bersama seorang pria berambut blonde. Keadaan di luar tampak gelap gulita dan di sepanjang jalan hanya terlihat hutan belantara. Dia sesekali melontarkan timah panas ke belakang, di mana ada beberapa buah mobil menyerang ke arah mereka.
Lelaki itu kembali meringis lalu memejamkan matanya kala rasa sakit di kepala semakin menyerangnya.
Jessica tampak panik. Secepat kilat mendekat lalu mendongakkan kepala hendak berusaha melihat wajah sang pria. Bola mata mungil berwarna hijau lantas melebar saat melihat muka lelaki itu tampak sangat pucat. Kepanikannya bertambah berkali-kali lipat ketika baru sadar jika ada banyak bercak darah di jas hitam lelaki tersebut.
"Apa yang terjadi sama Paman? Nama Paman siapa?" tanya Jessica, kemudian tanpa sengaja memegang punggung tangan kiri sosok tersebut.
Jessica sangat penasaran dengan nama lelaki di hadapannya ini.
Lelaki tersebut perlahan membuka mata dan menurunkan tangan kanannya dari kepala, kemudian mengalihkan pandangan kepada Jessica. Kini, rasa sakit di kepalanya pun berangsur-angsur menghilang.
"Namaku Michael." Sosok itu menyakini bahwa namanya Michael. "Aku ...." Namun, lidahnya mendadak kaku kala ingin menjawab pertanyaan dari Jessica. Sebab dia juga bingung apa yang telah terjadi padanya. Ketika berusaha mengingat-ingat kembali malah rasa sakit yang dirasakannya.
"Shft ...." Michael menyentuh lagi kepalanya sambil mengeluarkan erangan.
"Paman, ayo ikut Jessica ke rumah, di rumah ada obat!" seru Jessica sembari menarik tangan Michael.
Michael spontan beranjak masih dengan memegang kepalanya.
"Jessica, apa-apaan kau? Di rumah tidak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Lihatlah banyak bercak darah di tubuhnya!" Mendengar perkataan Jessica, Jason tentu saja langsung menolak. Sebagai seorang abang sekaligus pelindung. Dia tak mau membahayakan keselamatan Jessica dan mamanya.
"Ish, Abang! Kasihan Paman ini, anggap saja kita balas budi!" Jessica langsung protes.
"Tapi Jessica, ada banyak cara untuk membalas budi." Jason mencoba melunakan hati Jessica, memberi tanggapan dengan nada suara yang lembut. Dia tahu adiknya ini sangat keras kepala dan begitu sulit diberitahu. Namun, Jessica terlihat tetap bersikeras.
Jessica menggeleng kemudian menyeret Michael dan berjalan dengan cepat. Michael hanya diam saat tangannya ditarik oleh sosok yang ditolongnya tadi.
Sementara Jason, sorot matanya tajam dan urat-urat di wajahnya pun mulai muncul ke permukaan. Jason tengah menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Karena adiknya tidak mau mendengarkan perkataannya barusan.
Jason hanya mampu memandang tajam sejenak punggung Jessica dan Michael dari kejauhan. Setelah itu Jason pun mulai bergerak, menyusul adik keras kepalanya itu.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di rumah Jessica dan Jason. Michael menghentikan langkah kaki tepat di halaman rumah, lalu mengamati sejenak rumah kecil beralaskan kayu tersebut.
Meskipun kecil, tapi halaman depan tampak bersih dan menyegarkan mata bagi siapa pun yang memandang. Terdapat pohon-pohon mungil dan tanaman bunga di sekitar.
"Ini rumah Jessica, ayo kita masuk ke kamar," sahut Jessica sambil menengadahkan wajah.
Michael tampak ragu-ragu. Namun, ketika teringat bahwa dia membutuhkan obat untuk meredakan rasa sakit. Michael memantapkan diri untuk mengiyakan ajakan.
"Apa ada gunting kecil untuk mengeluarkan peluru?" tanya Michael, setelah sadar ada peluru yang bersarang di beberapa bagian anggota tubuhnya tadi.
"Tentu saja ada! Ayo masuk, Paman!" Dengan cepat Jessica menarik tangan Michael saat melihat di belakang Jason sana, memandangnya dengan sangat tajam, seolah-olah Jason akan menelan hidup-hidup dirinya saat ini.
Sesampainya di dalam, Jessica menuntun Michael masuk ke kamar. Jessica membuang napas lega karena Moon, alias mamanya tidak ada di rumah saat ini.
"Ayo, Paman duduk dulu di sini." Jessica menarik Michael untuk duduk di tepi ranjang.
Michael menurut, lalu memperhatikan perempuan kecil yang pakaiannya tampak lusuh itu berlari kecil ke sudut ruangan.
"Paman jangan sungkan ya anggap saja rumah sendiri, ini Jessica ada obat untuk Paman."
Di kala Jessica sibuk membuka lemari. Michael justru mengamati kembali rumah Jessica. Meski di luar terlihat bersih tapi di dalam jauh dari kata bersih, ada jaring laba-laba di atas plafon serta rembesan air di dinding. Kemudian kasur berukuran sedang yang dia duduki terlihat usang dan lusuh.
"Paman, luka Paman nyeri tidak?" Jessica tiba-tiba berbalik sambil memegang kotak kecil berisi obat-obatan.
Michael dengan cepat menoleh ke arah Jessica. "Tidak, bawa lah ke sini kotaknya!" perintah Michael.
Jessica pun bergegas menghampiri dan tak lupa membawa kotak tersebut.
"Ini Paman,"kata Jessica lalu menyodorkan kotak kepada Michael.
Dengan cepat Michael meraih kotak tersebut, membukanya lalu mengambil salah satu gunting kecil. Michael hendak mengeluarkan sendiri peluru dari tubuhnya.
"Paman, kenapa bisa berdarah?" Sambil memperhatikan apa yang dilakukan Michael, Jessica pun duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Michael.
"Tidak usah banyak bertanya Jessica, bisa saja Paman itu seorang pembunuh, lihatlah banyak darah di tubuhnya." Seketika, di daun pintu kamar, Jason berdiri tegap masih dengan wajah terlihat merah padam.
Kedua netra Jessica lantas membola sejenak dengan kedatangan Jason. Sedangkan Michael terlihat biasa saja. Namun, sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas. Merasa perkataan Jason ada benarnya juga.
"Ck, dasar penganggu! Pergi sana!" balas Jessica dengan sangat ketus lalu kembali menatap Michael. "Jadi, apa yang terjadi sama Paman?"
"Paman juga tidak tahu, Paman lupa, geserlah sedikit, Paman mau membuka pakaian."
Begitu titah dikeluarkan, Jessica menggeser sedikit bokongnya sambil melirik sekilas Jason, yang masih berdiri di ambang pintu dengan urat-urat di wajah masih menegang.
Jessica memutus kontak mata lalu menoleh ke samping. Melihat Michael tengah membuka jas serta kemeja putih. Pemandangan pertama yang Jessica lihat adalah otot-otot di perut Michael. Mata Jessica terbelalak kala melihat ada beberapa peluru hinggap di pundak Michael.
"Astaga, banyak sekali pelurunya," komentar Jessica tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Michael.
Michael tak membalas, memilih sibuk mengotak-atik tubuhnya sendiri. Darah mulai mengalir pelan di kulit Michael kala peluru satu-persatu telah berhasil dikeluarkan. Michael sesekali mengeluarkan erangan.
Mendadak benak Michael dipenuhi tanda tanya besar sekarang. Michael merasa sebagian memorinya menghilang. Sebab dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
"Abang, lihat kan luka di tubuh Paman!" Jessica menggerakkan bola mata ke arah Jason seketika.
"Tidak mungkin Paman seorang pembunuh, mungkin saja dia yang mau dibunuh orang!" sahut Jessica berapi-api.
Jason ingin membalas. Akan tetapi, perhatian bocah itu teralihkan dengan seseorang di luar kamar. Jason menoleh, melihat Moon ternyata telah sampai di rumah. Keringat lantas muncul di keningnya, ketakutan mulai menggerogoti tulang Jason sekarang.
"Jason, kalian dari mana saja tadi? Mama mencari kalian dari tadi," ujar Moon dengan kening berkerut samar.
Di dalam kamar, Jessica yang mendengar suara Moon langsung menegang.
Melihat ekspresi Jason, Moon pun mndekat sambil berkata lagi," Ada apa Jason?"
Saat tiba di depan pintu dan menengok ke dalam kamar. Wanita bermata hitam itu langsung membola dengan keberadaan sosok asing di dalam kamarnya.
"Siapa kau?!"
