Pertemuan Rahasia
Di lantai paling atas rumah megah keluarga Kiem, terdapat sebuah ruangan kerja pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu. Ruangan itu luas, dihiasi dengan perabotan kayu mahoni yang mahal, rak buku tinggi, serta sebuah meja kerja besar yang menunjukkan betapa berpengaruhnya pemiliknya.
Di balik meja itu, duduklah Kakek Kiem—atau yang lebih dikenal sebagai Bos Kiem, seorang pria tua yang masih memancarkan wibawa luar biasa. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya tetap tajam seperti elang. Malam itu, ia baru saja menyelesaikan laporannya tentang perkembangan bisnis perusahaan-perusahaan yang ia miliki.
Pintu ruangan diketuk pelan.
“Masuk,” perintahnya dengan suara berat.
Seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam rapi masuk dengan langkah mantap. Dia adalah Pak Candra, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Bos Kiem selama puluhan tahun.
"Anda memanggil saya, Bos?" tanya Pak Candra dengan nada hormat.
Bos Kiem menyandarkan tubuhnya di kursi, jari-jarinya bertaut di atas meja. "Duduk, Candra. Aku punya tugas penting untukmu."
Pak Candra duduk dengan postur tegap, siap menerima instruksi.
"Luna," ucap Bos Kiem, menyebut nama cucunya dengan nada penuh kewaspadaan. "Dia satu-satunya ahli waris yang bisa meneruskan semua ini. Tapi dunia bisnis tidak seindah yang dia kira. Banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."
Pak Candra mengangguk. "Saya mengerti, Bos. Sejauh ini, belum ada ancaman langsung terhadap Nona Luna, tetapi persaingan bisnis semakin kejam. Ada beberapa perusahaan pesaing yang diam-diam mencoba menekan Kiem Tekstil."
"Itulah yang aku khawatirkan," ujar Bos Kiem dengan nada serius. "Luna masih muda dan terlalu percaya diri bahwa dia bisa mengatasi semuanya sendiri. Aku tidak ingin ada kejadian buruk menimpanya. Mulai sekarang, kau harus mengawasi dia lebih ketat."
Pak Candra mendengarkan dengan saksama.
"Jangan sampai dia tahu bahwa dia sedang diawasi," lanjut Bos Kiem. "Aku ingin kau memastikan keamanannya, terutama setelah keputusan gilanya untuk mencari pacar dalam waktu tiga bulan."
Pak Candra sedikit mengangkat alis. "Pacar?"
Bos Kiem mengangguk dengan ekspresi dingin. "Ya. Dia berjanji padaku akan membawa pacar dalam tiga bulan, atau aku akan menjodohkannya. Aku yakin Luna akan melakukan hal-hal nekat untuk menghindari perjodohan. Itu yang membuatku khawatir."
Pak Candra tersenyum tipis. "Jadi tugas saya bukan hanya menjaga dari ancaman bisnis, tapi juga mengawasi rencana pribadi Nona Luna?"
Bos Kiem menatap tajam. "Betul. Aku tidak ingin dia membuat keputusan bodoh. Jika ada pria yang mencurigakan mendekatinya, selidiki siapa dia. Aku tidak ingin ada seseorang yang hanya memanfaatkan Luna karena dia pewaris kekayaan ini."
Pak Candra mengangguk tegas. "Saya mengerti, Bos. Saya akan memastikan tidak ada ancaman yang bisa menyentuh Nona Luna, baik dalam urusan bisnis maupun pribadinya."
Bos Kiem tersenyum puas. "Bagus. Aku mempercayakan tugas ini padamu. Jangan sampai kecolongan."
Pak Candra berdiri, membungkukkan tubuhnya sedikit dengan penuh hormat. "Saya akan menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya."
Bos Kiem mengangguk, lalu melambaikan tangan tanda pertemuan selesai.
Saat Pak Candra melangkah keluar dari ruangan, pikirannya mulai menyusun strategi.
"Siapakah pria yang akan dibawa Luna sebagai pacar?"
Satu hal yang pasti—Bos Kiem tidak akan membiarkan sembarang orang masuk ke dalam keluarganya. Dan Pak Candra? Dia akan memastikan tidak ada satu pun ancaman yang luput dari pengawasannya.
Malam sudah semakin larut ketika Pak Candra keluar dari kediaman Bos Kiem. Dengan langkah cepat dan penuh kewaspadaan, ia menuju sebuah lokasi tersembunyi di pinggiran Surabaya. Bangunan itu tampak seperti gudang tua dari luar, tetapi di dalamnya, tempat itu adalah markas Naga Hitam—kelompok elit yang dibentuk oleh Bos Kiem untuk melindungi keluarga dan bisnisnya.
Pintu baja besar terbuka otomatis begitu Pak Candra menunjukkan kartu identitasnya. Begitu masuk, ia langsung disambut oleh seorang pria bertubuh kekar dengan rambut cepak dan sorot mata tajam.
"Pak Candra," sapa pria itu dengan suara berat.
"Kita perlu bicara, Joko," kata Pak Candra tegas.
Joko, pemimpin operasional Naga Hitam, memberi isyarat agar Pak Candra mengikutinya ke ruang briefing. Di dalam ruangan itu, beberapa pria berpakaian hitam sudah menunggu, masing-masing dengan ekspresi serius.
Pak Candra berdiri di depan mereka, melipat tangannya di belakang punggung. "Kita punya tugas baru dari Bos Kiem. Ini soal Nona Luna."
Para anggota Naga Hitam langsung memperhatikan dengan lebih seksama.
"Kalian tahu bahwa dunia bisnis itu kejam. Ada banyak pesaing yang ingin menjatuhkan Kiem Tekstil. Dan sekarang, Nona Luna dalam posisi rentan," lanjut Pak Candra.
Joko mengangguk. "Apakah sudah ada ancaman yang spesifik?"
"Bukan hanya soal bisnis," Pak Candra menghela napas. "Nona Luna juga mendapatkan tekanan pribadi dari Bos Kiem untuk segera mencari pasangan. Aku khawatir dia akan bertindak gegabah dan itu bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
Salah satu anggota, seorang pria bertubuh ramping bernama Reza, mengangkat tangan. "Jadi, tugas kami bukan hanya menjaga Nona Luna dari ancaman bisnis, tapi juga mengawasi siapa pun pria yang mendekatinya?"
"Benar," jawab Pak Candra. "Aku ingin kalian mengawasi dari jauh. Jangan sampai dia merasa diawasi, tapi pastikan tidak ada satu pun bahaya yang mendekatinya. Jika ada pria yang mencurigakan atau seseorang yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini, selidiki dan laporkan kepadaku secepatnya."
Joko bersedekap. "Berapa orang yang perlu kita tugaskan?"
"Empat orang cukup. Satu orang mengikuti aktivitas kantornya, satu orang memantau apartemennya, dan dua orang bersiap sebagai back-up jika terjadi sesuatu."
Joko menoleh ke arah timnya. "Reza, kamu bertanggung jawab untuk memantau aktivitas kantornya. Jangan terlalu dekat, tetapi pastikan setiap pergerakan di sana terpantau."
"Siap!" jawab Reza.
Joko melanjutkan, "Budi, kamu awasi apartemennya. Jangan biarkan ada orang asing yang masuk tanpa sepengetahuan kita."
"Siap, Pak!" kata Budi mantap.
"Dan Dika serta Arif," Joko menatap dua orang lainnya. "Kalian tetap siaga untuk keadaan darurat. Jika terjadi sesuatu di luar dugaan, kalian harus siap bergerak cepat."
Dika dan Arif mengangguk serempak. "Siap!"
Pak Candra menatap mereka satu per satu. "Ingat, misi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Nona Luna tidak boleh menyadari keberadaan kalian. Kalian bukan hanya pengawal, tetapi mata dan telinga yang akan memastikan dia tetap aman."
Joko menepuk dadanya. "Kami mengerti, Pak Candra. Naga Hitam akan memastikan tidak ada satu pun ancaman yang bisa menyentuh Nona Luna."
Pak Candra tersenyum tipis. "Bagus. Mulai besok, operasi dimulai."
Para anggota Naga Hitam berdiri tegak dan memberikan hormat sebelum mereka membubarkan diri untuk bersiap menjalankan misi.
Sementara itu, di apartemennya, Luna masih sibuk memikirkan rencana gila untuk mencari pacar bayaran, tanpa tahu bahwa dalam bayang-bayang malam, ada sekelompok pria yang diam-diam mengawasi dan melindunginya…
***
