Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Oka dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Oka membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Oka meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Oka yang memeluk Alice dan siluet Brad yang kabur. Ia menunggu perintah Oka untuk mengejar Brad.

“Morgan, masuklah. Selesaikan urusan dengan pemilik Brooklyn Blend agar dia tidak menghubungi polisi,” kata Oka. Wajah Morgan mengernyit. Dia sungguh terkejut ketika Oka malah menyuruhnya masuk alih-alih mengejar dan menghabisi Brad.

“Ka, aku masih bisa mengejar Brad ….”

“Masuk. Selesaikan urusan dengan pemilik Brooklyn Blend!” perintah Oka dingin.

Oka membantu Alice untuk berdiri dan membawanya kembali masuk ke dalam Brooklyn Blend yang separuh hancur. Oka menarik satu kursi terbalik dan membetulkan posisinya agar Alice bisa duduk di situ. Di saat seperti ini, barulah pemiliki Brooklyn Blend atau atasan Alice, keluar dari dalam dapur dengan wajah ketakutan, sesaat kemudian wajahnya berubah menjadi sedih bercampur marah melihat coffeshopnya setengah hancur.

“Alice … tidaaak …,” keluhnya hanya kepada Alice yang juga menatap ketakutan ke arahnya.

“Apa ini? Bagaimana aku ….” Pemilik Brooklyn Blend terbata-bata berusaha meraih benda yang masih utuh. Morgan yang sedari tadi mengikutinya dari belakang kembali mendekati pria separuh baya itu.

“Seperti kataku tadi, sir. Jangan khawatirkan perihal kerugian finansialmu. Mister Tenan akan mengganti semuanya, asalkan Anda tidak melapor ke polisi atas kejadian ini.” Morgan mengeluarkan kalimat dengan tenang, berbanding terbalik dengan wajahnya yang berdarah-darah. Membuat pria pemilik Brooklyn Blend menatap takut-takut dan sulit mempercayai kata-kata Morgan.

Morgan menarik napas saat menyadari kalau wajahnya terlihat mengerikan. Lengan besarnya naik ke muka dan menyeka darah di sana, lalu menggosokkan lengannya ke kaus biru navy yang ia kenakan. Oka mengeryit tidak setuju, karena Morgan mengenakan kausnya. Morgan merogoh ke dalam saku celana dan mengeluarkan dompetnya. Sesaat kemudian ia mengulurkan tangan yang membawa kartu nama ke pria paruh baya pemilik coffeshop.

“Kartu nama tuan itu. Hubungi ketika Anda selesai menghitung kerugian. Satu syarat. Tidak ada polisi turut campur dalam masalah ini. Oke, sir?”

Pria paruh baya pemilik Brooklyn Blend menerima kartu nama dan membaca tulisan di atasnya. Ia menoleh ke arah Oka yang langsung tersenyum menenangkan.

“Okey … a-aku akan mempertimbangkan ini,” ucapnya sambil melambaikan kartu di tangannya.

“Bagus! Sekarang kami pamit. Mohon maaf atas kerusuhan ini dan maaf kami tidak bisa membantu membersihkan. Kami tunggu tagihan Anda, tuan.” Morgan menepuk bahu pria paruh baya itu dan berlalu meninggalkan coffeshop mengikuti Oka yang sudah membawa Alice duluan.

Oka membiarkan Morgan yang menyetir menuju ke apartemen Alice, sementara ia duduk di belakang untuk menenangkan Alice yang ada di pelukannya. Beberapa kali Morgan perlu arahan untuk tiba di apartemen Alice. Walau tidak seberapa jauh dari Brooklyn Blend, tetap saja, hanya Oka yang pernah ke sana.

Morgan memarkirkan mobil Oka di depan apartemen Alice. Ia masih melihat ke sekitar dengan mata curiga ketika Oka sudah membimbing Alice turun.

“Oka!” Desisan Morgan tidak berguna karena sahabatnya sudah berjalan sambil membimbing Alice menyeberangi jalan menuju ke apartemen. Morgan perlu mengenali lingkungan sekitar dan menilai keamanannya karena mobil mahal Oka harus parkir di area ini.

“Shit!” Morgan tidak punya pilihan selain mengikuti mereka. Ia keluar dan membanting pintu mobil agak terlalu keras lalu berlari menyeberangi jalan dan naik tangga pintu masuk sebelum Oka dan Alice menghilang dari pintu.

Mereka bertiga masuk ke apartemen Alice, tempat yang sama telah dimasuki oleh Oka semalam. Ketika tiba di apartemennya, Alice sedikit lebih tenang. Dia membebaskan dirinya dari pelukan Oka, dan meskipun masih berwajah sedih, ia mempersilakan Oka dan Morgan untuk duduk sementara ia menyingkir ke ruangan lain dan kembali dengan membawa handuk kecil, sebaskom air dingin untuk Oka membersihkan lukanya. Alih-alih ia pakai, Oka malah menyerahkan dan membiarkan Morgan yang memakainya.

“Bersihkan dirimu, Choco Girl. Kami akan menunggu di sini,” ujarnya kepada Alice yang mengangguk dan kembali meninggalkan Oka dan Morgan.

“Jadi, semalam kau di sini?” tanya Morgan sambil memeras handuk yang baru saja ia celupkan dalam baskom air dan menggunakan handuk itu untuk membasuh mukanya yang memiliki luka. “Di mana kau tidur? Kamarnya?” lanjut Morgan ketika Oka tidak menjawab.

Oka hanya melirik ke arahnya lalu menatap datar. Morgan yang melap mukanya balas menatap Oka, matanya tampak berpikir, sejurus kemudian dia berdiri seolah pantatnya menduduki besi panas.

“Holyshit! Di sini!!” raungnya sambil menatap sofa Alice dengan jijik. Oka terkekeh pelan dan berdiri untuk menuju ke lemari es yang ada di sudut dapur. Oka membuka lemari es dan masih mendengar Morgan yang memaki-maki pelan di belakangnya dan pindah duduk ke kursi kayu di seberang sofa.

“Bir, Morg?” tawar Oka ketika melongok ke dalam lemari es Alice.

“Ambilkan satu untukku” Geram Morgan yang teredam handuk. Oka mengambil dua kaleng bir dan membawanya kembali ke ruang tamu. Mereka berdua sedang menikmati bir ketika Alice keluar dari kamarnya, sudah lebih baik dan segar sehabis mandi. Oka tersenyum dan menepuk sofa di sisinya, tanda meminta Alice agar duduk di situ. Alice melirik ke arah Morgan yang tampak cuek, dan wanita itu menyeberangi ruangan untuk duduk di sebelah Oka.

“Aku mengambil bir di lemari esmu, Choco Girl. Kuharap tidak apa-apa?” Ijin Oka. Alice menggeleng dan tersenyum lemah.

“Tidak apa, kamu boleh menikmatinya. Aku … sungguh berterimakasih karena kamu dan Morgan sudah menyelamatkan aku malam ini,” kata Alice pelan.

“Apapun akan aku lakukan untuk membantumu, Sweet darling,” sahut Oka terdengar sambil lalu. Alice tersenyum samar. Ia merasakan perhatian Oka sekaligus sikap dingin lelaki itu. Hal itu membuat Alice sedikit bingung. Oka memang beberapa minggu ini menjadi pelanggan tetap coffeshopnya. Ia sering berdiam di sudut dan mengerjakan sesuatu melalui laptop. Alice sering memperhatikan dan lama kelamaan interaksi mereka menjadi dekat. Hal tersebut yang membuat Alice menerima tawaran Oka untuk menemaninya pulang kemarin dan berakhir bercinta di apartemennya.

Selama Alice sibuk dengan pikirannya sendiri, Oka tampak menyesap bir dan membuang pandangannya ke jendela. Alice menangkap sesuatu yang terasa agak berbeda dari wajah Oka. Dengan agak ragu ia bertanya, "Adakah sesuatu yang kamu pikirkan?"

Oka memandang wajah Alice, ia meminum birnya lalu meletakkan kaleng kosong itu di atas meja. "Sebenarnya ... ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.”

“Oh.” Wajah Alice tampak berbinar. Namun, sesaat kemudian berubah murung. Ia kesulitan menangkap arah pembicaraan Oka. Apa yang ingin dibagi pria ini, sesuatu yang membahagiakan atau malah menyedihkan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel