Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Malu

Bab 2

"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku saat kami dalam taxi online, selepas mengerjakan tugas.

"Nanti juga tahu," jawab Prisa singkat sambil terus menekuri ponselnya. Sesekali ia tersenyum menatap layar benda pipih itu. Lain waktu tertawa keras.

Aku hanya mendengkus pelan lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Ternyata sifat pecicilan Prisa itu menurun dari Om Pandu, papanya.

Oh ya, ngomong-ngomong papanya Prisa, baru kali ini aku bertemu dengannya. Padahal ini bukan pertama kali berkunjung ke rumahnya. Ya, walaupun lebih sering Prisa yang ke rumahku.

Dulu, kukira papanya itu seumuran ayah, hampir mencapai usia enam puluhan. Namun, ternyata dia masih muda. Bisa kutaksir usianya paling terpaut dua puluh tahun saja dengan Prisa.

Terlihat lebih muda karena dia juga suka olahraga. Terbukti di rumahnya ada ruangan khusus dengan berbagai alat kebugaran di sana.

Prisa pernah bercerita orang tuanya menikah di usia yang masih muda. Saat emosi masih labil dan ego masing-masing masih tinggi, ditambah faktor ekonomi yang belum mapan. Mungkin karena itu mereka akhirnya bercerai saat usia Prisa masih sangat kecil, hingga akhirnya gadis itu hanya diasuh sang papa.

Om Pandu itu hebat, bisa membesarkan anak seorang diri, sambil membangun usaha hingga mapan seperti sekarang.

Eh, tunggu! Kenapa aku jadi memikirkan Om Pandu? Jangan bilang kalau ... ih, apa sih, Alvina? Kamu payah! Baru lihat roti sobek saja, sudah ngawur begini.

Aku menggeleng sambil mengibaskan tangan di depan wajah.

"Kenapa, Al?" tanya Prisa tiba-tiba dengan jarak wajahnya yang sangat dekat.

"Dari tadi senyum-senyum, geleng-geleng, kibas-kibas. Sakit, lu?" Gadis itu menempelkan punggung tangannya di keningku.

Aku menepisnya cepat.

"Sepertinya gue mabuk laut, Pris," jawabku asal untuk menyembunyikan malu.

"Mabuk laut?" Prisa keheranan.

Aku mengangguk.

"Tapi kita, kan ... di darat," lanjutnya bingung.

Aku mengulum senyum melihat raut wajahnya.

"Ah gue tahu, lu bukan mabuk laut," katanya lagi sambil menjentikkan jari.

"Lalu?"

"Mabuk ... mabuk duda, haha ...." Tawa Prisa membahana, tetapi tak lama kemudian dia meringis saat kakinya kuinjak.

"Rasakan!" omelku pelan.

"Galak banget ibu tiri!" gerutunya.

"Apa lu, bilang?" Aku mendelik.

Prisa refleks menutup mulutnya sambil menggeleng.

"Sudah yuk, turun! Sudah sampai dari tadi!" ajaknya sambil membuka pintu mobil.

"Yaelah, jadi kita cuma mau makan doang? Kenapa mesti kesini, sih? Kenapa tidak di rumah lu, aja?" gerutuku setelah kami berada di depan sebuah rumah makan cukup ramai.

"Di rumah gue tidak ada makanan," jawabnya santai.

"Kan, gue bisa masak buat kita."

"Memang lu bisa masak?"

"Bisalah!"

"Masak apa?"

"Mie instan."

Prisa memutar bola mata malas, mendengar jawabanku. Lalu menarikku masuk.

Di pintu, seorang pelayan menyambut kami dengan ramah.

"Selamat datang, Mbak Prisa," sapanya sambil mengangguk ramah. Pasti Prisa sering datang kesini sampai pelayan mengenalnya.

Prisa mengajakku duduk di meja agak sudut, dekat jendela. Lebih privacy katanya. Entahlah, dia mau apa, seperti mau pacaran saja. Padahal hanya mau makan.

"Sudah datang, Sayang?" Suara seseorang terdengar dari belakang kami. Aku mengenalnya, itu suara....

Aku dan Prisa menoleh bersamaan ke sumber suara.

Oh My God ... dia lagi?

Aku sontak membalikkan badan lagi menghadap meja, membelakanginya.

Kenapa ya, setiap bertemu dia jantungku seperti mau loncat keluar dari rongga dada? Padahal dia pakai baju lho, sekarang.

Haish, bicara apa aku ini?

Aku memukul lagi mulutku tanpa sadar.

"Jangan dipukulin terus mulutnya, sayang loh, mendingan ...."

Aku melotot mendengar ucapan pria itu. "Mendingan apa?"

"Mendingan buat makan," lanjutnya santai. "Masakan di sini enak-enak, loh. Apalagi buat calon nyonya bos, spesial pokoknya."

Aku menatap Prisa dan Om Pandu yang tersenyum penuh arti melihatku kebingungan, mereka tertawa bersama.

"Ini rumah makan papa gue, Al. Nyantai aja. Kita bisa makan sepuasnya, menu spesial pakai cinta," goda Prisa, kemudian berdiri hendak pergi.

"Eh, mau kemana?" aku meraih tangan Prisa sambil ikut berdiri.

"Gue mau BAB, lu mau ikut?" tanya Prisa heran. "Udah lu santai saja, ada papa gue ini," lanjutnya sambil melepaskan tanganku yang mencengkeram kuat.

Aku melepaskan tangan Prisa dengan berat hati. Seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya di keramaian.

'Justru itu, Pris. Gue takut berduaan sama papa lu,' jeritku dalam hati.

"Dilirik dong, Om-nya," celetuk Om Pandu tiba-tiba. "Pake baju loh, sekarang. Masa seganteng ini tidak dilirik sama sekali?" lanjutnya lagi seraya duduk di kursi sebelahku.

Ya Tuhan ... tiba-tiba panas dingin itu menyerang lagi tubuhku. Aku menggeserkan kursi agak menjauh darinya.

Payah, kenapa aku segrogi ini? Seperti baru kenal laki-laki saja. Aku kan, sudah pernah beberapa kali pacaran.

Iya, tapi bukan sama duda. Apalagi dudanya yang meresahkan begini.

Aku memberanikan diri melirik Om Pandu yang sedari tadi menatapku. Ternyata dia sedang tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi dan aku yakin tak pernah tersentuh nikotin.

"Om, jangan lihatin aku terus, dong!” protesku tiba-tiba. Entah dari mana keberanian itu muncul. Mungkin karena rasa risih.

"Kenapa?" tanyanya mengangkat sebelah alis.

"Nanti jatuh cinta, lho!" ucapku lancang sambil menunjuk mukanya. Padahal hati kebat-kebit tak karuan.

Dia terbahak. "Kamu lucu banget sih, jadi tidak sabar kepingin buru-buru...."

"Apa?" potongku cepat sambil mendelik.

Dia terbahak lagi seolah perkataanku, lucu. Membuatku kesal.

"Halo Om Gan, apa kabar?" tiba-tiba dua orang wanita bermake-up tebal dengan pakaian agak terbuka menghampiri meja kami dengan senyum tersungging di bibir merah mereka.

Dua wanita itu langsung mengelilingi Om Pandu dengan sok akrab, salah satunya bahkan membelakangiku, seolah aku ini makhluk kasat mata.

Mereka segera saja terlibat obrolan yang menurutku hanya sekedar basa basi yang dipaksakan.

Hih, dasar duda meresahkan. Senang ya, dikelilingi perempuan, apalagi yang seksi begitu.

Selagi mereka asyik berbincang, aku berdiri dengan hati-hati. Ini kesempatan untuk menyusul Prisa yang sejak tadi menghilang entah ke mana.

Aku mengendap seperti maling ayam, hanya agar Om Pandu tak menyadari kepergianku.

Satu ... dua ... tiga ....

Aku berniat lari meninggalkan mereka agar bisa terbebas dari duda meresahkan itu. Namun ... untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kaki yang sudah siap dengan tenaga full untuk berlari itu tersangkut di kaki meja yang tak salah apa-apa, tetapi masih saja kusalahkan. Dasar kaki meja tidak ada akhlak. Kenapa juga menghalangi langkahku?

Tak ayal tubuhku terhuyung ke depan terbawa tenaga sendiri. Aku memejam saat merasa tubuh ini melayang hebat.

Kenapa memejam?

Karena tidak sanggup menghadapi kenyataan kalau aku akan menghadapi rasa malu yang teramat.

Ya, di saat kita terjatuh di depan umum, rasa sakit tidak akan ada artinya dibanding rasa malunya.

Aku masih memejamkan mata menunggu tubuhku mendarat di lantai dengan sempurna.

Namun, sampai beberapa saat lamanya menunggu, tetapi aku tak kunjung merasakan apa-apa. Tidak ada benturan, tidak suara debuman lantai yang tertindih tubuhku. Tidak ada juga rasa sakit, yang kurasa hanya benda hangat yang menopang tubuhku dengan kuat. Disertai sapuan angin hangat menerpa kulit wajah.

Penasaran. Perlahan kubuka mata. Suasana di sekitar mendadak hening. Pemandangan pertama yang kulihat adalah ... wajah Om Pandu yang hanya berjarak sejengkal dari wajahku.

"Aaahhh…." Aku berteriak dengan oktaf yang paling tinggi, karena kaget.

Brukkk.

Kurasakan punggungku berbenturan dengan lantai. Aku meringis.

"Papa ... kenapa Alvina dilepas? Dia jadi jatuh, kan?" pekik Prisa yang terdengar lari menghampiriku.

"Ya, maaf. Papa kaget, habisnya dia teriak keras sekali, sampai liurnya muncrat kena muka Papa."

Apa?

Arghhh... aku berteriak dalam hati. Fix, Maluku berlipat-lipat.

Prisa masih mengguncang tubuhku dengan khawatir. Namun, aku sudah memutuskan tidak akan membuka mata. Aku sudah memutuskan berpura-pura pingsan saja, tak kuat rasanya menanggung malu yang berlipat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel