Pustaka
Bahasa Indonesia

PESONA AYAH SAHABATKU

141.0K · Tamat
Rosemala
109
Bab
8.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah diselingkuhi istri dan ditinggal begitu saja karena kemiskinan, aku memutuskan menjadi single parent untuk putri semata wayang. Delapan belas tahun bukan waktu singkat untuk menduda. Karena terlalu lama sendiri, aku sudah terlalu nyaman, hingga tak terpikir untuk menikah lagi. Padahal kini aku duda kaya yang memiliki beberapa rumah makan di ibukota. Padahal pula ada banyak wanita mendekat, tetapi aku tahu semua hanya silau dengan hartaku. Siapa sangka jika akhirnya pilihanku untuk menikah lagi jatuh kepada gadis seusia putriku? Dia bilang aku terlalu tua untuknya. Tapi lihat saja, akan kulakukan apa pun untuk mendapatkannya!

RomansaIstriLove after MarriageCinta Pada Pandangan PertamaKampusKeluargaPernikahanBaper

Bab 1 Pertemuan tak sengaja

"Prisa, tolong bilang sama temanmu itu, dia harus bertanggung jawab, ya! Kedudaan Papa sudah ternoda, dia sudah melihat aurat Papa. Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!" teriak Om Pandu dari depan pintu kamar Prisa, membuatku terperangah.

Apa katanya? Aku harus bertanggung jawab?

Oh My God, yang ternoda di sini, aku. Mata dan otakku sudah ternoda gara-gara melihat ... ah, aku mengacak rambut frustrasi. Menyesal kenapa datang ke sini.

"Iya, Pa. Tenang aja, Alvina bukan gadis yang suka lari dari tanggung jawab, kok," balas Prisa juga sambil teriak dan diiringi tawanya yang membahana.

Aku melotot kesal ke arah sahabatku itu, tetapi hanya dibalas dengan tawa renyahnya.

"Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus mau menikahi Papa. Kalau tidak, Papa akan tuntut sama orang tua dia!" teriak Om Pandu lagi dari celah pintu kamar Prisa yang sedikit terbuka.

Aku semakin terbelalak mendengar ucapan ayah dari sahabatku itu.

Dasar duda meresahkan!

Dia yang tidak pakai baju. Kenapa aku yang disalahkan? Sampai meminta tanggung jawab pula. Memangnya dia pikir aku perempuan apa?

Dasar Om-om aneh! Duda meresahkan!

Prisa sudah membuka lagi mulutnya hendak menjawab teriakkan papanya. Namun, aku secepat kilat mengeluarkan jurus bangau lari seribu bayangan. Kuterjang sahabatku itu dengan bantal tepat di wajahnya, hingga ia terjungkal di atas karpet tebal kamarnya ini, dan itu sukses membuatnya bungkam dengan mata melotot. Walaupun akhirnya terdengar lagi tawanya yang menyebalkan.

**

Beberapa saat sebelumnya....

Hari ini aku dan Prisa sudah janjian mengerjakan tugas kuliah bareng. Rumah Prisa sudah deal kami jadikan tempat mengerjakan tugas. Entah kenapa tiba-tiba dia mau di rumahnya saja. Padahal biasanya rumahku yang dijadikan base camp kami. Dia bilang selalu suka suasana rumahku yang hangat, dan yang terpenting dia suka masakan ibu.

Prisa yang sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, selalu bermanja-manja dengan ibuku. Kalau dilihat sekilas, seolah-olah dialah yang anak kandung ibu, dan bukan aku.

Dengan memesan ojek online aku menuju rumah Prisa. Hari masih terlalu pagi memang, karena kami berencana keluar setelah tugas selesai.

Aku menekan bel di samping kanan pintu bercat putih itu hingga beberapa kali karena tak kunjung ada yang membukakan pintu.

Kemana Prisa? Apa dia belum bangun sesiang ini? Masa iya anak gadis bangunya siang.

Aku yang kerepotan membawa buku-buku tebal, kesal juga karena cukup lama Prisa tak jua membuka pintu.

Tanganku terangkat hendak mengetuk, saat tiba-tiba pintu terbuka dari dalam dan langsung menyuguhkan pemandangan yang membuat tubuhku panas dingin.

Seorang pria usia awal empat puluhan berdiri di sana dengan tubuh bagian atas tak berpenutup, hanya celana pendek yang menutup tubuh bagian bawahnya.

Keringat terlihat membanjiri seluruh tubuhnya. Aku yakin dia baru selesai berolahraga.

Mataku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Buku-buku tebal yang kupegang tiba-tiba lolos begitu saja dari dekapan, karena sendi-sendiku mendadak lemas tak bertenaga.

Ya Tuhan ... oh tidak ... mataku ternoda. Aku coba menunduk, tetapi sial, mataku malah disuguhi keringat yang mengalir di sela-sela roti sobek pria itu seperti air sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan kaki bukit.

"Cari siapa?" tanya pria itu seraya maju satu langkah.

Aku yang kaget, sontak mundur juga satu langkah.

"Eh ... anu ... cari ... saya ... cari keringat, Om." Aku membekap mulutku sendiri yang tiba-tiba menjadi gagap.

Sial, bicara apa aku ini?

Aku memukuli mulut sendiri tanpa sadar.

"Bagaimana?" tanyanya lagi dengan kening berkeringatnya terlihat berkerut.

"Anu Om, saya ... mau cari ... anuan .... roti sobeknya, Om."

Ya Tuhan, ada apa dengan diriku? Bicara apa aku ini? Semakin ngelantur saja. Aku memukuli lagi mulut yang tidak bisa diajak kompromi.

"Roti sobek?" tanyanya lagi dengan heran.

Dia maju lagi selangkah, dan aku refleks mundur lagi dengan mata semakin terbelalak. Ternyata setelah di depan pintu dengan pencahayaan dari matahari, roti sobek dan keringatnya terlihat semakin ... arghhh ... tubuhku semakin panas dingin tak karuan.

Dasar payah, kenapa lihat roti sobek saja aku jadi terhipnotis begini?

Alvina, matamu benar-benar ternoda. Matamu sudah tak perawan lagi!

"Al, kamu sudah datang?" Suara Prisa terdengar nyaring di balik punggung pria itu.

"Ih, Papa apa, sih? Malah nakut-nakutin teman aku. Sana minggir! Mana nggak pakai baju, lagi!" omelnya sambil mendorong tubuh pria yang menghalangi jalannya.

"Loh, siapa yang nakut-nakutin? Malah Papa yang takut diterkam sama temanmu itu, dari tadi dia melihat Papa terus, nggak ngedip-ngedip."

Apa?

Mataku semakin membulat mendengar ocehannya. Dia, bicara apa?

Terlihat Prisa memajukan bibirnya.

"Iyalah, dia nggak ngedip-ngedip, orang Papa porno begitu," omel Prisa lagi seraya menunjuk tubuh papanya.

"Masih untung anak orang nggak pingsan. Kalau pingsan Papa mau tanggung jawab?"

"Loh, kok, jadi Papa yang harus tanggung jawab? Yang ternoda di sini tuh, Papa. Kedudaan Papa sudah ternoda sama dia, jadi dia yang harus tanggung jawab." Lelaki itu menunjuk ke arahku.

Aku semakin terperangah. Kepalaku semakin pusing mendengar perdebatan mereka.

Prisa terdengar berdecak kesal.

"Sudah Al, ayo masuk! Kenapa lama banget, sih? aku tunggu dari tadi juga!” ujar Prisa sambil memungut buku-buku yang tadi terjatuh. Lalu dia menarik tanganku yang masih juga bengong menatap sepasang ayah dan anak yang aneh itu.

"Tunggu, Pris!" seru pria itu lagi. Membuat Prisa menghentikan langkahnya secara mendadak dan aku yang tidak fokus menabrak tubuh Prisa karena tanganku yang digeretnya.

"Pokoknya ... Papa tidak mau tahu, Papa mau meminta pertanggungjawaban temanmu, ya!" ucapnya lagi keukeuh.

Aku dan Prisa memutar bola mata malas bersamaan.

"Dasar centil!" umpat Prisa kemudian menarik tanganku lagi, membuatku terhuyung-huyung mengikuti langkahnya.

Di belakang, masih terdengar suara tawa pria itu, yang di telingaku terdengar sungguh menyebalkan.