BAB. 4 Perjalanan Menyakitkan Menuju Kuskovo
Dalam sebuah perjalanan,
Di malam yang basah dan dingin, suara hujan deras yang menghantam kaca mobil terdengar nyaring, seolah-olah ingin menutupi suara napas berat dan isakan halus dari Liliya. Igor mengemudi dengan pandangan yang tetap fokus ke jalan di depannya, kedua tangannya menggenggam erat gagang setir. Meski begitu, sesekali pria berwajah tegas itu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya, memperhatikan raut wajahnya yang dipenuhi dengan kesedihan. Lampu-lampu Kota Moskow yang gemerlap semakin memudar di kaca spion, menandakan bahwa mereka telah jauh meninggalkan pusat kota.
Liliya memandang keluar jendela mobil, melihat tetesan demi tetesan air hujan yang tak henti-hentinya membasahi kaca mobil. Kota Moskow yang biasanya penuh kehidupan dan hingar-bingar kini terasa begitu jauh, seolah-olah berada di dunia lain. Gemerlap lampu kota mulai berganti dengan pemandangan jalanan yang sepi dan gelap saat mereka menuju ke distrik timur, Kuskovo. Perasaan cemas yang selama ini dipendam oleh Liliya mulai membuncah di dalam dadanya.
“Ke mana kita akan pergi? Tempat ini sepertinya semakin jauh dari kota.” Suara Liliya terdengar bergetar, hampir tenggelam oleh rintik hujan.
Gadis itu menoleh dengan tatapan penuh kebingungan, meskipun dalam hatinya sudah sedikit memahami bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa.
Igor menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Kita akan pergi ke Kuskovo. Itu tempat yang aman bagimu sekarang,” ujar pria itu. Suaranya dalam dan tenang, namun ada sedikit nada tegas yang tak terbantahkan.
“Di sana, kamu akan lebih tenang, jauh dari bahaya yang sedang mengintaimu saat ini,” ujar pria berwajah tegas itu lagi.
Liliya pun terdiam mendengar jawaban itu. Hatinya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Semuanya terasa begitu mendadak baginya. Kedua orang tuanya baru saja meninggal secara misterius di Kazan, sebuah tragedi yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami olehnya. Dan kini, apartemennya di Moskow, satu-satunya tempat yang dianggap olehnya sebagai rumah kini telah hancur berkeping-keping. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Air matanya kembali menetes, mengalir di kedua pipinya yang dingin. Dengan tangan gemetar, dia lalu meraih gelang berbentuk hati di pergelangan tangannya, sebuah kenangan terakhir dari kedua orang tuanya. Di dalam gelang itu, terdapat foto dirinya bersama mereka, senyum bahagia yang kini hanya tinggal kenangan. Liliya mengeratkan genggamannya pada gelang itu, seolah-olah berusaha menemukan kekuatan dari memori masa lalu.
“Gara-gara semua ini, aku tidak bisa lagi kuliah,” suara Liliya pecah dalam isakan pelan.
“Mimpiku untuk menjadi seorang jurnalis … semuanya sudah hancur. Orang tuaku … apartemenku … semuanya sudah hilang. Apa yang tersisa dariku sekarang?”
Igor pun diam sejenak, membiarkan kata-kata Liliya tenggelam dalam suara hujan yang semakin deras. Dia sangat tahu rasa sakit yang dialami gadis itu, meskipun mungkin pria dewasa itu tidak sepenuhnya bisa memahaminya. Namun, Igor tahu satu hal, jika Liliya tidak boleh menyerah.
“Kamu masih punya hidupmu, Liliya,” ucap Igor akhirnya, suaranya dalam tapi penuh arti.
“Kamu masih bisa membangun kembali apa yang telah hilang. Selama kamu hidup, harapan itu selalu ada. Sambil belajar dengan giat dan pada saatnya nanti, kamu bisa membalaskan semua dendammu atas kematian kedua orang tuamu!” tegas Igor mencoba mengobarkan semangat Liliya.
Liliya terisak lebih keras.
“Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku ketika semua yang aku cintai sudah tiada? Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana caraku membalas mereka?”
Igor tidak langsung menjawab. Dia pun memandang lurus ke depan, menerobos hujan dengan tatapan serius. Setelah beberapa detik yang terasa hening, pria itu berbicara, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
“Aku tidak punya semua jawaban untukmu, Liliya. Tapi aku tahu, untuk sekarang, yang bisa kita lakukan adalah memastikan kamu tetap aman. Kuskovo mungkin bukan tempat yang sempurna, tapi setidaknya di sana kamu akan terlindungi. Sambil kita akan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan saat itu tiba, kamu akan tahu apa yang harus dilakukan.”
Liliya tidak bisa menahan tangisnya. Kata-kata Igor mungkin benar, tapi rasa kehilangan yang dirinya rasakan begitu dalam, begitu menyakitkan. Belum selesai dia berduka atas kepergian kedua orang tuanya, kini dirinya harus menghadapi kenyataan pahit jika masa depannya yang telah direncanakan olehnya begitu matang juga berada di ambang kehancuran.
Mobil terus melaju, meninggalkan jalan-jalan besar dan mulai memasuki wilayah pinggiran Kota Moskow. Lampu-lampu jalan semakin jarang, hanya tersisa bayangan hitam dari pohon-pohon yang melintang di sepanjang jalan. Hujan yang deras tampak semakin memperburuk suasana, seperti menggambarkan kedukaan yang dirasakan Liliya.
Sesekali, Igor melirik ke arah Liliya yang tampak begitu rapuh di sampingnya. Gadis yang pernah dirinya lihat secara diam-diam sejak dulu telah tumbuh dewasa kini tampak seperti bayang-bayang dirinya sendiri, terseret dalam pusaran tragedi yang tak terduga. Igor tahu betapa pentingnya Liliya bagi ayahnya, sahabat karibnya, dan kini tugas untuk melindungi gadis itu jatuh ke tangannya.
“Jangan khawatir, Liliya,” ucap Igor dengan nada lebih tegas.
“Aku sudah berjanji kepada ayahmu untuk menjagamu. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu untuk tetap aman,” seru Igor lagi.
Liliya hanya mengangguk lemah, air matanya masih mengalir. Dia tahu jika Igor adalah sosok yang bisa dipercaya olehnya, seseorang yang dekat dengan keluarganya terutama bagi kedua orang tuanya. Namun, rasa kosong yang memenuhi hatinya membuatnya semakin sulit untuk merasakan kenyamanan dalam janji-janji itu.
Mobil mereka terus melaju dalam kesunyian yang panjang. Hanya suara hujan yang menemani perjalanan keduanya, dan Liliya terbenam dalam pikirannya sendiri. Dia memandang gelang di pergelangan tangannya sekali lagi, berusaha mencari kekuatan dari kenangan masa lalu. Namun yang dirasakan olehnya hanyalah kekosongan.
Akhirnya, setelah berjam-jam berkendara, lampu-lampu kecil mulai tampak di kejauhan. Igor pun memperlambat laju mobilnya dan mulai memasuki kawasan perumahan yang lebih sepi. Kuskovo, tempat yang selama ini hanya didengar oleh Liliya lewat cerita, kini menjadi tujuan akhirnya. Tempat yang dikatakan Igor aman, namun bagi Liliya, itu adalah tempat di mana dirinya harus menghadapi kenyataan pahit tentang hidupnya yang telah berubah drastis.
Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah tua dengan halaman yang luas. Igor mematikan mesin mobil dan menoleh ke arah Liliya.
“Kita sudah sampai,” ucap Igor dengan nada lembut.
“Ini adalah rumah lama keluarga ayahmu. Kamu akan aman di sini.”
Liliya memandang rumah itu dengan tatapan kosong. Dia jika tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi, dan mulai dari saat ini, dirinya harus menerima kenyataan bahwa semua yang dicintai olehnya sudah pergi. Dengan langkah berat, gadis cantik itu membuka pintu mobil dan keluar, masih menggenggam erat gelang berbentuk hati di tangannya.
