BAB. 3 Terpaksa Harus Melarikan Diri
Masih di dalam sebuah apartemen,
Liliya sedang duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil yang hampir penuh dengan pakaiannya. Tangannya masih saja gemetar saat dia melipat kemeja terakhirnya, dan matanya masih basah oleh air mata yang terus saja menetes dengan deras.
Gadis itu baru saja menerima kabar mengerikan jika kedua orang tuanya, Tuan Vadim dan Nyonya Disca, telah tewas dalam kebakaran besar yang melanda rumah keluarga mereka yang di Kota Kazan. Kepedihan itu terlalu berat untuk ditanggung olehnya sendirian, dan setelah menangis dalam beberapa jam, dia pun memutuskan untuk kembali ke Kazan guna memberikan penghormatan terakhir kepada kedua orangtuanya.
Jam di dinding apartemennya telah menunjukkan pukul delapan malam. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Suara hening semakin menyelimuti ruangan itu, hanya sesekali diselingi oleh napas berat Liliya. Namun, tiba-tiba, keheningan itu terpecah oleh suara ketukan keras di arah pintu apartemen. Ketukan itu terdengar kasar dan tak sabar, hampir membuatnya melompat dari tempat tidurnya.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan suara gemetar, namun tak ada jawaban. Ketukan itu terdengar lagi, dan kali ini lebih keras dan cepat.
Rasa penasaran dan cemas bercampur dalam pikirannya. Dengan ragu, Liliya berjalan menuju pintu apartemennya dan membukanya sedikit, dia lalu menemukan seorang pria sedang berdiri di ambang pintu. Pria itu tinggi dan berwajah tegas, dengan jambang tebal menutupi rahangnya. Dia juga mengenakan topi tebal dan mantel musim dingin yang besar, seolah baru saja datang dari tempat yang sangat jauh. Wajahnya tampak tegang, seakan-akan sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
"Siapa Anda?" tanya Liliya dengan nada curiga, matanya memandang pria itu dari ujung kepala hingga kaki.
Pria itu menatapnya dengan tatapan serius.
"Namaku Igor," ucapnya dengan suara berat.
"Aku sahabat ayahmu, Tuan Vadim."
Liliya memandangnya tanpa ekspresi.
"Aku tidak pernah mendengar ayahku menyebut namamu sebagai sahabatnya," ujarnya dingin.
Igor mendesah pelan, tampak tidak terkejut dengan respon dari gadis itu.
"Itu karena banyak hal yang ayahmu sembunyikan darimu. Aku datang untuk memperingatkanmu, Liliya. Kamu tidak boleh pergi ke Kazan sekarang ataupun dalam waktu dekat ini. Kota itu belum aman untukmu," seru Igor dengan suara tegas.
Liliya mendengus dan menatapnya dengan dingin. "Anda tidak berhak mengatur hidup saya," ujarnya tajam.
"Dan saya tidak percaya dengan cerita Anda! Saya tetap akan pergi ke Kazan! Sekali lagi saya katakan, Anda tidak berhak mengatur-atur hidup saya!" sergah Liliya semakin tajam.
Namun tanpa diduga Igor pun melangkah masuk ke dalam apartemen gadis itu tanpa diundang. Sikapnya tegas, namun ada rasa cemas dalam gerak-geriknya.
"Liliya, dengarkan aku baik-baik. Nyawamu dalam bahaya sekarang! Kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada orang yang ingin mencelakai keluargamu, dan sekarang mereka sedang mengejarmu," seru Igor dengan nada serius.
Liliya seketika memutar bola matanya, merasa frustasi dengan situasi ini. Dia pun berkata dengan acuh tak acuh,
"Saya tidak tahu apa yang sedang Anda bicarakan, dan saya tidak peduli sama sekali! Ini adalah urusan saya. Jika Anda benar-benar teman ayah saya, Anda akan tahu bahwa saya harus pergi ke Kazan untuk mengucapkan selamat tinggal pada kedua orang tua saya!" sahut Liliya mencoba menahan rasa sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya.
Igor mendekat, tatapannya tajam ke arah Liliya.
"Kamu tidak mengerti. Mereka memburu keluargamu untuk alasan yang sangat berbahaya. Jika kamu pergi ke Kazan sekarang, kamu hanya akan membawa dirimu ke dalam bahaya yang lebih besar! Tolong dengarkan peringatan dari saya ini!" serunya lantang dan berharap gadis itu mau mendengarkan perkataannya.
Namun, sebelum Liliya sempat membalas, ketukan keras kembali terdengar dari pintu apartemennya. Kali ini, ketukan itu disertai dengan suara langkah kaki berat dari arah koridor yang panjang. Igor langsung mematung, lalu tanpa berpikir panjang, dia pun meraih tangan Liliya.
"Kita harus pergi sekarang," ujarnya serius.
"Mereka sudah di sini!" serunya lagi.
Liliya tersentak.
"Apa maksudmu? Siapa mereka?"
Tapi Igor tidak menjawab. Ketegangan di wajahnya cukup untuk membuat Liliya merasa bahwa ada sesuatu yang sangat salah sekarang. Sesaat kemudian, suara tembakan terdengar dari luar pintu. Liliya membelalakkannya mata dan tubuhnya mjlsk gemetar.
"Ayo! Tidak ada waktu lagi!" seru Igor sambil menarik Liliya menuju pintu belakang apartemen yang langsung menujukd tangga darurat.
Keduanya lalu berlari secepat mungkin menuruni tangga-tangga sempit yang berdecit di bawah beratnya langkah kaki mereka. Dari kejauhan, Liliya bisa mendengar suara langkah kaki lain yang mengejar mereka. Napasnya terengah-engah, dan pikirannya dipenuhi kekalutan.
"Siapa mereka? Apa yang sebenarnya terjadi?" Liliya berteriak saat sedang berlari.
"Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuamu," jawab Igor tanpa menoleh.
"Dan sekarang mereka ingin menghabisimu juga!"
Ketakutan mulai merayapi Liliya, namun tidak ada waktu untuk merenung. Mereka terus berlari, hingga akhirnya tiba di basement gedung apartemen. Beberapa pria berpakaian serba hitam sudah terlihat di ujung tangga, tapi Igor tidak berhenti. Dia lalu membuka pintu sebuah mobil hitam dan mendorong Liliya masuk.
"Masuk cepat!" serunya sebelum dirinya juga masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala, dan Igor segera menekan pedal gas, membuat mobil melaju kencang keluar dari basement.
Ketika keduanya keluar dari tempat parkir, Liliya dapat mendengar suara ledakan besar di belakang mereka. Jantungnya hampir berhenti saat dia menoleh dan melihat apartemennya kini telah hancur berkeping-keping.
"Astaga ...." Liliya terengah-engah, matanya tak percaya melihat kehancuran yang di belakangnya.
"Itu ... itu apartemenku!"
"Sudah kubilang, orang-orang itu tidak akan berhenti sampai mereka berhasil membunuhmu," seru Igor dengan nada tegas sambil tetap fokus pada jalan di depannya.
"Ini bukanlah sebuah permainan, Liliya. Mereka benar-benar ingin kamu mati juga."
Liliya tidak tahu harus berkata apa. Air matanya mulai mengalir lagi, kali ini bukan hanya karena kehilangan orang tuanya, akan tetapi juga karena kenyataan bahwa hidupnya kini dalam bahaya besar. Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan, namun dia tidak tahu siapa yang bisa dipercaya atau apa yang harus dilakukan.
"Kenapa ... kenapa mereka ingin membunuhku?" tanya Liliya dengan suara bergetar.
Igor meliriknya sebentar sebelum kembali memfokuskan diri pada jalan.
"Ceritanya sangat panjang. Tapi yang harus kamu tahu sekarang adalah jika ayahmu menyimpan sesuatu yang sangat berharga bagi orang-orang itu, dan mereka berpikir kamu tahu di mana sebuah dokumen disembunyikan!" seru Igor mulai menceritakan garis besarnya.
Liliya terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Igor. Ayahnya? Sesuatu yang berharga? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Mobil terus melaju kencang di bawah langit malam Kota Moskow yang semakin kelam, sementara di belakang mereka, bayangan kehancuran apartemen Liliya semakin menjauh. Namun, ketakutan dalam dirinya semakin mendekat, menyelubungi setiap langkah yang diambil olehnya ke dalam ketidakpastian yang mengerikan.
