KELELAKIAN YANG TERUSIK
Usai perjumpaan hari itu di hati Ryan seperti ada yang bergejolak. Bagaimanapun juga ia mendapatkan pekerjaan tersebut dari Pak Ridwan yang notabene adalah suami Rayya.
Sedang Rayya adalah mantan istri yang pernah Ryan campakkan demi menuruti ego Safitri.
Mantan istrikah?
Bagaimana bisa disebut mantan jika ternyata mereka belum pernah dipisahkan oleh kalimat talak?
Tapi kenyataan saat ini Rayya telah menjadi istri lelaki lain, lelaki kaya raya yang mampu mencukupi kehidupannya, lelaki kaya yang bahkan telah memberi Ryan sebuah tender besar.
Tender dengan keuntungan ratusan juta dimana keuntungannya akan Ryan rasakan bersama Safitri.
Ryan menunduk, ia merasa malu sekali. Ia merasa tidak punya ruang lagi untuk bernafas ketika ia menyadari ia akan menjadi bawahan suami Rayya. Ia mungkin akan terlibat secara emosional dan mungkin... ya... bisa saja Rayya akan membalas kelakuannya dulu saat ia meninggalkan Rayya begitu saja.
Semua hal bisa saja terjadi.
Semua hal mungkin saja muncul..
Tapi bagaimana dengan bayi mungil yang kemarin Rayya ceritakan?
Bayi itu pasti adalah darah dagingnya, dalam nafas bayi itu ada nafasnya. Selama menikah dengan Safitri Ryan tidak punya keturunan dan bayi Rayya itu adalah salah satu keturunannya. Salah satu kebanggaan dan mimpinya. Ryan pernah mempunyai mimpi yang teramat besar untuk menemui Rayya dan bayi itu, namun melihat kenyataan hari ini semua menjadi serba tidak mungkin.
"Aku ingin sekali memeluk bayi itu, dia satu-satunya keturunanku. "
Ryan menggumam pelan. Ada banyak gejolak yang tidak bisa ia artikan.
Kelelakian nya terusik saat ini. Ia malu sekali pada Rayya.
Ia dulu tidak bisa mempertahankan cintanya pada Rayya dan menghilang begitu saja hanya demi nama baik, kehormatan dan harga diri namun dunia mempermainkan dirinya karena faktanya ia belum mampu jadi apapun saat ini. Ryan hanya menjadi laki-laki biasa yang terus saja tunduk di bawah kendali Safitri.
Di tempat yang lain..
Rayya sedang menimang putri cantiknya "Rasya" sebuah nama yang berarti Rayya dan Suriansyah. Ia memandangi wajah bayi itu. Kemudian ia pun beralih memandang ibu jari kakinya yang hilang.
Wow..
Ada guratan perih yang tersimpan di relung hatinya.
"Inikah saatnya melawan? " desis Rayya dalam gumam yang tak biasa.
Rayya mencium kening Rasya kemudian meletakkannya di atas kasur. Ia menitipkan bayinya pada Heni pembantu baru yang bertugas hanya merawat bayinya saja.
Ia melangkah menuju kamar, pak Ridwan sedang terlelap. Rayya telah membubuhkan pil tidur di dalam gelas kopinya tadi. Pantas saja suaminya masih tertidur pulas.
Ia ingin suaminya tetap disini sebab nanti malam adalah malam minggu, ia ingin jalan-jalan berdua. Inginnya hanya itu tidak lebih namun sesuai kesepakatan inginnya tidak mungkin bisa terwujud sebab malam minggu adalah malam dimana pak Ridwan harus berkumpul bersama keluarga intinya.
Dulu sebelum menikah dengan Pak Ridwan, Rayya memang telah sepakat namun saat ini ia berusaha bermain cantik dengan mengingkari kesepakatan itu.
Sesekali Rayya ingin berbuat ingkar dengan menikmati akhir pekan bersama suami sendiri, salahkah ?
Desis Rayya sambil matanya masih tetap belum berpaling dari wajah suaminya.
Hingga Pak Ridwan pun menggeliat, ia mulai membuka matanya.
"Sudah pukul berapa sayang? "Tanya Pak Ridwan pada Rayya.
" Setengah enam, Mas. "
"Adduh... " Pak Ridwan pun menepuk jidatnya sendiri.
"Mas tidak bisa pulang dong... "
Rayya kemudian menghambur dalam pelukan Pak Ridwan ia membiarkan lengannya menggelayut di leher milik suaminya itu.
"Sesekali tinggallah disini di akhir pekan, aku ingin mas.. ku mohon. " Suara Rayya sangat manja dan menantang.
"Ini pertama kalinya aku meminta, aku yakin mas akan mengabulkannya." Suara Rayya makin sendu mendayu.
Suara yang tidak pernah pak Ridwan dapatkan di dalam rumah tangganya di rumah yang lain.
"Kalau mas nggak pulang nanti mas minta jatah lagi lho... "
"Tujuh kali dalam semalam pun Rayya akan lakukan asal mas janji berada disini malam ini. "
Rayya mengerling nakal seiring dengan ujung jemarinya menyentuh sesuatu yang mulai membesar di dalam celana pendek suaminya.
"Kamu nakal. " Bisikan Pak Ridwan sambil menggigit ujung telinga Rayya.
Pak Ridwan pun beralih tempat, ia menyambar ponselnya hendak menghubungi istrinya yang lain sembari mencari alasan mengapa ia tidak bisa pulang.
Lelaki mana yang tahan diberikan iming-iming cinta dan pelayanan.
Sambil menunggu Pak Ridwan menelpon, Rayya mempersiapkan dirinya untuk melayani suaminya.
Rayya tersenyum menang di depan cermin panjang kamar tidurnya.
Wajah cantiknya ia raba, ia berjanji merawatnya karena wajah cantik adalah modal untuk memikat lawan jenisnya.
"Aku harus kuat, permainan ini harus ku menangkan. Aku akan tanyakan nomer Ryan pada Pak Ridwan. Aku harus membalas. "
Desisnya dalam suara yang tak jelas.
Ekor matanya mengikuti tingkah suaminya. Dalam hatinya bersorak riang.
"Kejadian seperti ini akan terulang pekan depan. Jadi mas siap-siap ya. " Rayya bicara sendiri. Merenung sendiri.
Tersenyum sendiri.
Dan Rayya menikmati setiap permainan yang ia buat hari ini.
Pak Ridwan sedang sibuk dengan ponselnya, Rayya memperhatikan tingkah laku lelaki itu, hatinya bersorak riang, ia tahu Pak Ridwan pasti sedang menyusun alasan agar istri sahnya tidak marah. Rayya terus memperhatikan mencari celah agar ia bisa berakting.
Toh Pak Ridwan juga menginginkan dirinya, menginginkan pernikahan ini lalu untuk apa begitu takut mengambil sikap.
Dari perjalanan yang panjang itu baru kali ini Rayya ingin ditemani di akhir pekan, salahkah?
Tidak. Bisik batin Rayya lagi.
Sebagai istri ia punya tempat dan hak yang sama dengan istri yang lain. Mengapa ia harus menanggung ingin sendirian?
Mestinya Pak Ridwan bijak dong dalam bersikap, tidak boleh berat sebelah.
Sebagai lelaki saat ia memutuskan menikah lagi mestinya ia harus punya formula untuk mengatasi hal-hal seperti ini.
Rayya masih memandang lelaki itu dari tempatnya.
Lucu sekali melihat lelaki sedang bingung.
Hingga Pak Ridwan mendekati Rayya, menyentuh bahunya, menyingkap rambut yang tergerai menutupi leher kemudian mencumbui leher Rayya sambil menggigit kecil. Rayya menggelinjang. Pak Ridwan paling tahu bagaimana caranya membuat Rayya melayang.
Rayya tersenyum.
Bila sudah begini kewajiban nya adalah melayani.
Sebagai wanita ke dua Rayya sadar dimana posisinya dan harus seperti apa ia bersikap. Kecantikan juga sex adalah modal utama hubungannya dengan Pak Ridwan sedang hati adalah urusan kesekian.
Sebagai wanita ke dua ia tidak bisa menuntut Pak Ridwan untuk meletakkan namanya di hati lelaki itu. Bahkan ketika semua terjadi tanpa hati pun maka Rayya harus siap. Tidak boleh protes.
Cumbuan demi cumbuan berganti di atas ranjang. Rayya dengan semangat melayani lelaki bertubuh tambun itu. Lelaki yang kini jadi suaminya.
"Kamu hebat sayang" bisik Pak Ridwan di telinga Rayya.
"Mas juga hebat. " Rayya membalas pujian Pak Ridwan.
Mereka berpelukan hingga senja hampir tiba.
"Mas, malam ini mas tidur di tempat Rayya kan? " Rayya bicara manja.
"Pasti dong. "
Ach, Rayya bersorak riang. Puas sekali rasanya ia berhasil membuat suaminya mau melewatkan akhir pekan bersama dirinya.
"Rayya mandi dulu ya mas.. "
"Ia sayang, " Jawab Pak Ridwan sambil lengan kanannya meremas payudara milik Rayya.
Di kamar mandi, Rayya membubuhkan sabun cair di tubuhnya. Ia harus tetap wangi di depan Pak Ridwan.
Gaun panjang berwarna kuning gading dengan aksen bunga-bunga membuat Rayya manis nian.
Ia menggandeng lelaki di sampingnya, senyumnya mengembang sepanjang perjalanan.
Ia telah menitipkan Rasya putrinya pada asisten rumah tangganya.
Memasuki sebuah cafe mewah juga megah, dentuman musik mulai terdengar. Rayya terus melenggang bersama suaminya. Memilih sebuah kursi yang letaknya di ujung. Dua dessert sudah ia pilih lengkap dengan minuman dingin dan hangat.
Rayya demikian manja, hingga tiba-tiba ia melihat Pak Ridwan berkali-kali memegang ponsel. Nampak wajahnya gundah, Rayya tahu Pak Ridwan sedang bertengkar dengan istrinya perihal ketidak muncullannya di rumah akhir pekan ini. Nampak sekali Pak Ridwan gusar.
Rayya menyeruput air jeruk hangat di depannya.
Dalam batinnya menggumam bangga "aku menang".
Rayya berdiri, Pak Ridwan menatapnya.
" Ada apa sayang? " tanya Pak Ridwan.
"Kalau mas sibuk dengan ponselnya, sebaiknya kita pulang! " Rayya mengancam.
Pak Ridwan panik, ia meraih jemari lentik Rayya.
"Mas minta maaf, duduklah. Mas akan masukkan ponsel ini. " Usai berkata demikian Pak Ridwan pun akhirnya meletakkan ponselnya di saku kemejanya.
Rayya duduk dengan cemberut.
"Maafkan mas ya sayang. "
Rayya masih cemberut, tepatnya pura-pura cemberut.
"Aku memang tidak pernah penting di dalam kehidupan mas. "
"Tidak sayang, kamu juga penting. Ke dua istriku sama pentingnya. " Pak Ridwan mencoba menenangkan Rayya. Usai berkata begitu Rayya pun merebahkan kepalanya di lengan kanan Pak Ridwan. Lelaki itu membelai lembut rambut Rayya yang tergerai indah.
Rayya tersenyum.
Menang.
Jutaan nafas ia simpan untuk melanjutkan aksinya nanti malam.
Akhir pekan yang indah benar-benar telah jadi miliknya, ia tidak perduli seperti apa perasaan istrinya Pak Ridwan di rumah yang lain. Yang penting malam ini ia bahagia. .
