BAB. 3 Gejolak Kenangan Bersama Rebecca
Setelah meninggalkan meja makan yang penuh dengan ketegangan, Raynard melangkah keluar menuju teras rumahnya. Pria tampan itu memilih untuk menunggu keluarganya di sana, menghindari lebih banyak interaksi dengan Rayner, adik kembarnya yang semakin memanas.
Udara pagi yang segar menerpa wajahnya, memberikan sedikit ketenangan meski pikirannya masih kalut. Raynard berdiri tegak di tepi teras, sambil memandang ke arah langit San Francisco yang cerah dan biru. Burung-burung terbang melintas, menciptakan siluet di tengah langit yang mulai semakin terang. Tak lama lagi, dia dan keluarganya akan meninggalkan kota ini, kota yang penuh kenangan baginya.
Raynard menyilangkan lengannya di dada, matanya menyapu pemandangan kota yang mulai hidup. Mobil-mobil mulai bergerak, dan suara bising perlahan mengisi suasana saat itu. Namun, pikirannya bukan pada hiruk-pikuk kota tersebut, melainkan pada satu sosok yang selalu menghantui hatinya, yaitu Rebecca. Gadis cantik yang telah lama menghilang, tanpa jejak, dan tidak ada pesan apapun darinya. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana dia berada, termasuk Raynard. Tapi sang pria tahu satu hal, jika hatinya masih terikat erat pada gadis itu.
“Rebecca ….” gumamnya pelan, suara Raynard hampir tertelan angin pagi saat menyebut nama gadis itu.
“Kamu sebenarnya ada di mana? Aku sangat merindukanmu. Kenapa tidak ada satu petunjuk pun tentangmu?” tuturnya lagi.
Pikirannya mulai berputar kembali ke saat-saat terakhir mereka bersama. Malam itu masih terpatri jelas di ingatannya malam di mana Raynard dan Rebecca bersama, di mana cinta mereka yang tak sempat terucapkan menjadi terlalu dalam untuk disangkal. Akan tetapi kemudian, Rebecca menghilang begitu saja, meninggalkan Raynard dalam kegelapan dan keraguan.
“Sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini,” lanjut Raynard dalam hati.
Pemuda gagah itu dapat merasakan desakan emosional yang sulit dijelaskan olehnya.
“Bagaimana dengan cinta kita yang belum sempat bersemi? Apakah aku harus melupakannya begitu saja? Rebecca, tolong beri aku petunjuk untuk menghadapi semua ini!” ujarnya frustasi sambil memegang kepalanya.
Kegalauan itu mulai membungkusnya dengan erat, seolah-olah menekannya di setiap napas yang dia tarik. Raynard mendesah panjang, menundukkan kepala, mencoba menahan rasa sedih yang mulai menyelimuti.
Hampir lima tahun lamanya Rebecca telah menghilang. Dan selama itulah, cinta Raynard tidak pernah pudar sedikitpun kepada gadis itu. Sang pria masih ingat bercak darah di atas sprei, saat sang gadis menyerahkan Kesuciannya kepada Raynard. Sejujurnya pria tampan itu sangat berat untuk meninggalkan Kota San Francisco, tapi apa daya, dia tak dapat berbuat apa-apa.
Hatinya terbelah. Di satu sisi, Raynard tahu keluarganya menantinya untuk kembali ke Jakarta, untuk melanjutkan hidupnya di sana. Tapi di sisi lain, dia merasa masih ada yang belum selesai di sini, di Kota San Francisco. Rebecca, gadis yang sejak dulu sangat dicintai olehnya, selalu ada di dalam pikirannya dan masih tak tergantikan oleh perempuan manapun.
Mata Raynard mengerjap menahan perih. Pikirannya terus berputar. Apakah sudah saatnya dia harus melupakan Rebecca? Apa mungkin sang pria dapat melanjutkan hidup tanpa kejelasan tentang gadis itu? Namun, di dalam hatinya, ada satu sisi yang berkeras untuk terus mencari, untuk tidak menyerah menemukan gadis itu. Rebecca bukan hanya kenangan masa lalu bagi Raynard. Gadis itu adalah seseorang yang membawa arti dalam hidupnya.
“Aku ... aku tidak bisa melupakanmu begitu saja, Rebecca,” bisik Raynard, suaranya nyaris tak terdengar di antara deru angin pagi itu.
“Aku yang telah merenggut kesucianmu, aku yang seharusnya bertanggung jawab atasmu. Bagaimana aku bisa meninggalkan semua ini tanpa kepastian?”
Tangannya mengepal, menggenggam tepi pagar teras dengan erat. Keputusannya mulai mengeras. Meskipun akan meninggalkan Kota San Francisco, Raynard tahu jika dia tidak akan pernah benar-benar meninggalkan kenangan akan Rebecca. Di dalam hatinya, sang pria masih akan mencari gadis itu, di mana pun dirinya berada.
Tak lama kemudian, Rayner muncul dari dalam rumah, diikuti oleh Deborah, istrinya . Koper-koper sudah disiapkan, diangkat satu per satu ke dalam mobil. Daddy Zay yang memimpin, mulai memastikan semuanya berjalan lancar, sementara Mommy Olivia terus mengingatkan agar mereka tak lupa dengan barang-barang penting.
“Raynard,” panggil Mommy Olivia dari pintu, suaranya lembut namun terdengar tegas.
“Kita sudah siap. Ayo, jangan berlama-lama lagi. Kita harus segera berangkat ke bandara.”
Raynard menghela napas panjang.
“Iya, Mom, aku datang.” Dia lalu melepaskan genggamannya dari pagar teras dan melangkah masuk ke dalam rumah, menyiapkan dirinya sebentar untuk perjalanan panjang kembali ke Jakarta.
Beberapa menit kemudian, seluruh koper telah dimasukkan ke dalam mobil. Raynard dan keluarganya naik satu per satu, menempati tempat duduk mereka. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara mesin yang terdengar saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah mereka.
Raynard duduk di kursi belakang, matanya menatap keluar jendela. Dia melihat jalan-jalan yang pernah dilewati olehnya bersama Rebecca, kafe tempat keduanya pernah bertemu, taman di mana pernah mereka berbicara tentang mimpi-mimpi di masa depan. Namun semua itu terasa begitu jauh, seolah-olah hanya tinggal bayangan saja.
Di dalam hatinya, rasa sedih semakin membesar. Raynard pun memejamkan matanya, berharap bisa menenangkan dirinya, akan tetapi bayangan Rebecca terus menghantui. San Francisco telah menjadi tempat penuh kenangan baginya, kenangan yang sekarang terasa semakin pahit.
Deborah, yang duduk di depan bersama Rayner, melirik ke belakang.
“Ray, kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan lembut.
Raynard membuka matanya dan memaksakan senyum tipis. “Aku nggak apa-apa, Deb,” jawabnya pelan.
“Cuma ... sedikit berat meninggalkan kota ini.”
Rayner, yang mendengar percakapan itu, melirik ke arah kakak kembarannya melalui kaca spion.
“Kamu pasti bakal baik-baik aja, Raynard,” ucapnya dengan nada tenang.
“Kamu cuma butuh waktu untuk melupakan semuanya dan memulai hidup baru di Jakarta nantinya.”
Raynard hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya dia sadar jika waktu bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan olehnya. Ada hal-hal yang lebih dalam dari itu, sesuatu yang tidak akan bisa dirinya temukan dengan hanya menunggu.
Perjalanan menuju bandara berlangsung dalam keheningan. Daddy Zay sibuk berbicara dengan Mommy Olivia tentang jadwal penerbangan, sementara Rayner dan Deborah berbincang ringan tentang rencana mereka setibanya di Jakarta. Namun, bagi Raynard, waktu seolah berjalan sangat lambat. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin menyadari bahwa dia akan segera meninggalkan San Francisco, dan bersama dengan itu, mungkin juga akan meninggalkan harapannya pada Rebecca, wanita impiannya.
Ketika mobil mereka mendekati bandara, Raynard kembali memejamkan matanya. Udara di dalam mobil terasa berat, menciptakan perasaan kosong di dalam hatinya.
Namun dia yakin meskipun dirinya akan pergi meninggalkan kota ini, bayangan Rebecca akan selalu mengikutinya. Dengan sebuah cinta yang belum sempat bersemi, satu katan yang masih terjalin di dalam hatinya.
"Apakah aku harus benar-benar melupakanmu, Rebecca?" pikir Raynard dalam hati.
"Atau haruskah aku terus mencarimu, meskipun semua ini terasa sia-sia?"
Namun, jawaban atas pertanyaan itu masih belum ditemukan olehnya. Yang Raynard tahu hanyalah satu hal, yaitu hatinya masih terikat erat pada kenangan di Kota San Francisco, pada sosok Rebecca yang tak pernah bisa dia lupakan.
