BAB. 2 Pertengkaran Di Meja Makan
Setelah mandi dan berpakaian, Rayner dan Deborah akhirnya turun ke lantai bawah. Rambut keduanya masih basah, menunjukkan betapa terburu-burunya mereka setelah menghabiskan waktu terlalu lama di kamar. Langkah-langkah keduanya terdengar mulai menuruni anak tangga, meski pelan, akan tetapi tetap menarik perhatian semua orang yang sudah berkumpul di ruang makan.
Di meja makan, Mommy Olivia duduk di ujung meja dengan tatapan tegas, sementara Daddy Zay sibuk menuangkan kopi ke dalam cangkirnya. Raynard duduk di samping mereka, sudah siap dengan pakaian rapi dan wajah yang tampak tidak begitu puas. Saat Rayner dan Deborah masuk ke ruang makan, semua mata langsung tertuju pada kedua pasangan suami istri tersebut.
Mommy Olivia, akhirnya lega melihat putra bungsunya bersama menantu kesayangannya, akhirnya turun juga dari kamar mereka. Dengan senyum tipis di wajahnya, menyambut keduanya dengan hati senang walaupun juga sang ibu berusaha menahan kesal, dengan tingkah Rayner.
Nyonya Olivia segera berkata, “Akhirnya kalian turun juga. Ayo, bergabung di meja makan, sarapan sudah siap.”
Rayner hanya mengangguk sambil tersenyum, menarik kursi untuk Deborah sebelum akhirnya duduk di sampingnya.
"Terima kasih, Mom," sahut keduanya serentak.
Deborah, terlihat masih menata rambutnya yang basah dengan jari-jarinya, hanya memberikan senyum malu-malu sebelum mulai mengambil sepotong roti.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Raynard, yang duduk tepat di seberang mereka, menatap tajam ke arah adik kembarnya dan Deborah. Matanya melirik ke arah rambut basah keduanya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.
"Rambut kalian masih basah, rupanya?" Raynard mencibir.
"Sepertinya ada yang lupa waktu, nih! Kalian tidak tahu situasi kita saat ini, ya?"
Rayner, yang sedang menuangkan teh untuk dirinya sendiri, berhenti sejenak. Tatapannya beralih ke arah Raynard, dan senyum sinis mulai muncul di wajahnya.
"Ya, kalau sudah menikah, kamu juga bakal ngerti, kok. Nikmatnya surga dunia itu gak bisa ditahan, Raynard. Kamu mungkin bisa lebih paham kalau kamu segera menikah," jawabnya dengan nada tajam, tak kalah sengit dengan ucapan sang kakak.
Raynard mengangkat alisnya, pria tampan itu jelas-jelas mulai tersinggung saat ini.
"Oh ya? Jadi, kamu pikir aku nggak ngerti apa-apa soal hubungan suami istri karena belum menikah?" balasnya tak kalah tajam, suaranya juga mulai meninggi.
"Setidaknya aku tahu kapan waktunya serius dan kapan waktunya harus bersikap profesional!" sindir Raynard lagi.
Kamu juga, Deborah! Ngapain kamu menuruti semua mau Rayner?” ujar Raynard semakin menjadi-jadi.
Rayner tersenyum, lalu memandang Deborah yang tampak canggung di antara pertikaian panas antara suaminya dan kakak iparnya. Dia kemudian kembali menatap Raynard.
"Kalau kamu begitu profesional, kenapa kamu belum bisa move on dari Rebecca? Dia entah di mana sekarang, Raynard. Kamu masih nunggu sesuatu yang nggak pasti kah?" sindir Rayner semakin tajam.
Kalimat itu langsung menghantam Raynard seperti badai. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Rayner.
"Jangan bawa-bawa Rebecca ke dalam hal ini!" tegas Raynard, suaranya bergetar karena marah.
"Itu urusan pribadiku!" hardik Raynard.
“Makanya kamu juga jangan ngatur-ngatur Deborah! Dia itu istriku! Kalian hanyalah bersahabat! Akulah, Rayner Brett yang berkuasa penuh atas istriku!” jawab Rayner kesal.
Deborah, yang duduk di samping Rayner, segera meletakkan tangannya di lengan suaminya, mencoba meredakan ketegangan di antara kedua saudara kembar itu.
"Rey, please," bisiknya, mencoba mencegah konflik lebih lanjut.
Namun Rayner tetap melanjutkan, dan tidak memperdulikan teguran sang istri.
"Aku hanya bilang kenyataan, Raynard. Kamu jangan buang-buang waktu terlalu lama untuk sesuatu yang sudah jelas-jelas nggak ada kepastian. Sudah saatnya kamu move on, cari orang baru yang bisa buat kamu bahagia."
Raynard mengepalkan tangannya di atas meja, jelas-jelas tidak senang dengan arah pembicaraan ini. Dia pun menatap Rayner dengan penuh kemarahan, dan suasana di ruang makan seketika menjadi tegang. Mommy Olivia, yang dari tadi mendengarkan dengan cemas, mencoba mencairkan suasana.
"Raynard, Rayner, sudah cukup berdebatnya!" serunya dengan nada tegas namun lembut.
"Kita tidak punya waktu untuk pertengkaran seperti ini. Kalian harus fokus, kita akan terlambat ke bandara jika terus seperti ini."
Namun, suasana di antara dua saudara kembar itu masih panas. Daddy Zay, yang dari tadi diam, akhirnya meletakkan cangkir kopinya dengan keras di atas meja, mengalihkan perhatian semua orang.
"Cukup!" serunya, suaranya dalam dan penuh otoritas.
"Daddy tidak mau mendengar lagi pertengkaran konyol di meja makan ini! Kita semua harus bersiap-siap untuk pergi. Sekarang, fokuslah pada sarapan kalian dan berhenti berbicara soal hal-hal yang tidak perlu."
Rayner dan Raynard terdiam, meski jelas sekali ketegangan di antara mereka masih belum reda. Rayner mengambil napas dalam-dalam, lalu melirik Deborah yang memegang tangannya di bawah meja, mencoba menenangkannya. Sementara itu, Raynard menunduk, mengeraskan rahangnya, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Semua orang kemudian melanjutkan sarapan mereka dalam keheningan. Daddy Zay melanjutkan minum kopinya, sementara Mommy Olivia mencoba tersenyum, meski suasana di meja makan terasa sangat tegang. Deborah mengambil sepotong roti dan mulai menyuapi Rayner dengan lembut, berusaha mengembalikan suasana menjadi lebih ringan.
“Rey, kamu makan dulu, ya!” ucapnya kepada suaminya.
“Iya, Sayang.” jawab Rayner sambil mencuri satu kecupan di bibir Deborah, sengaja memanas-manasi saudara kembarnya.
Sementara Raynard tidak bisa fokus pada makanannya. Perkataan Rayner tentang Rebecca terus terngiang-ngiang di kepalanya. Meskipun dia sadar jika apa yang diucapkan adiknya mungkin benar, Raynard merasa marah karena itu. Rayner Mengungkapkan tentang Rebecca di depan semua orang, membuatnya tampak lemah dan masih terikat pada masa lalu.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Raynard akhirnya meletakkan garpunya dengan kasar ke piring.
"Aku keluar sebentar, butuh udara segar," katanya sambil berdiri dari kursinya. Dia berjalan keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari siapapun.
Rayner menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah meskipun dia tidak menyesali apa yang telah dikatakan olehnya. Deborah menatap suaminya dengan prihatin.
"Rey, kamu jangan terlalu keras dengan Raynard dia hanya butuh waktu," ucapnya pelan, mencoba menenangkan hati Rayner.
"Aku tahu, Sayang" jawab Rayner sambil memegang tangan Deborah.
"Tapi aku hanya ingin Raynard melihat kenyataan. Sudah terlalu lama dia terjebak dengan perasaannya pada Rebecca. Aku nggak ingin dia terus-terusan seperti itu."
Daddy Zay menggelengkan kepala, lalu menatap Rayner. "Kadang-kadang, cara yang keras tidak selalu terbaik, Rayner. Biarkan kakakmu menemukan jalannya sendiri. Kita semua punya cara berbeda untuk menghadapi masa lalu."
Rayner pun terdiam, mendengarkan nasihat ayahnya. Meski sang pria masih merasa jika apa yang dikatakannya tadi benar.
Dia juga menyadari mungkin ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan kebenaran itu kepada kakaknya.
"Ayo, habiskan sarapan kalian," lanjut Daddy Zay.
"Kita akan berangkat ke bandara sebentar lagi."
Rayner dan Deborah pun kembali makan, meskipun suasana di meja makan tetap terasa berat. Semua tahu jika perjalanan pulang ke Indonesia mungkin akan membawa ketegangan yang masih tersisa, namun untuk saat ini, mereka harus menyelesaikan sarapan dan bersiap-siap untuk perjalanan panjang itu.
