Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Sherin sibuk dengan laptopnya, keasyikan melanjutkan ceritanya. Dia sudah mendapatkan dua bab, yang akan segera di publish. Namun, saat akan mengedit, Renata dan Novi datang menyusulnya. Membuat Sherin mau tak mau menunda pekerjaannya tersebut.

"Rin, masih belum selesai belajarnya?" tanya Novi. Dia langsung duduk di hadapan Sherin yang menutup laptopnya.

"Sudah kok. Kenapa kalian ke sini?"

"Vano dan Vian ada kelas bersamaan sekarang. Makanya kita nyusul kamu ke sini," jawab Renata. Dia duduk di samping Sherin, memperhatikan wajah sahabatnya tersebut.

"Rin, maaf jika aku dan Novi sudah membuatmu merasa tak nyaman. Kami-"

"Tak perlu meminta maaf. Aku memutuskan diam di sini karena suasana tenang. Dan suasana di sini mendukung aku untuk bisa menulis dengan lebih giat." Sherin memotong perkataan Renata. Dia tak mau kedua sahabatnya itu merasa bersalah padanya.

"Ya bagus kalau begitu. Ngomong-ngomong, nanti mau ikut kita gak?"

"Kemana?" tanya Sherin heran.

"Em, Vano dan Vian mengajak kami untuk main ke rumah mereka." Novi menjawab dengan jujur.

"Apa? Gak salah? Kalian baru resmi pacaran loh."

"Mereka yang ngajak, Rin. Kita mah oke-oke saja. Mereka juga menyuruh kita ngajak kamu."

"Enggak deh. Aku nggak mau ikut. Buat apa juga aku ikut dengan kalian."

"Ayolah, Rin. Ini Vano dan Vian yang minta."

"Nggak. Aku gak mau ya jadi obat nyamuk kalian nanti. Sementara kalian asik pacaran," cibir Sherin.

"Janji deh itu gak akan terjadi. Kita kan bisa main TOD, nonton film, atau mungkin belajar bareng juga." Renata berusaha membujuk Sherin. Namun, Sherin tetap menolak.

"Iya, Rin. Vano dan Vian akan merasa bersalah jika kamu tak ikut. Mereka akan merasa seperti memisahkan kita," ujar Novi dengan sedih. Sherin menatapnya dengan datar. Dasar tukang akting memang. Pemaksa lagi.

"Baiklah, aku ikut. Kalian puas?" Renata dan Novi tersenyum lebar mendengar itu. Mereka langsung bertos ria. Berhasil membujuk Sherin.

"Tapi mungkin, aku gak akan bisa berangkat bersama kalian karena ada yang harus aku urus dulu. Jadi, beri tahu saja alamat rumahnya. Nanti aku nyusul." Renata dan Novi menatap Sherin curiga. Takutnya itu hanya alasan untuk menghindar lagi.

"Beneran? Kamu gak bohong kan?"

"Ish. Aku harus bayar sewa kosan dulu. Bu Ratna udah neror dari tadi."

"Baiklah. Awas ya kalau kamu tak datang. Kita akan marah." Sherin memutar bola mata bosan mendengar itu. Ayolah. Tak ada gunanya bagi dia menemani dua pasangan baru yang akan pacaran.

"Iya, iya. Bawel banget sih," gerutu Sherin. Renata dan Novi tersenyum mendengarnya. Mereka hanya tak mau Sherin merasa sendirian. Karena mereka tahu, Sherin akan bersedih dan menangis jika sedang sendirian.

***

Setelah selesai membayar sewa kosannya bulan ini, Sherin pun menyetop sebuah taksi. Memberi tahu supir taksi agar mengantarkannya ke alamat yang dikirimkan oleh Renata.

"Wah, itu mah alamat perumahan elit, Neng."

"Masa sih? Gak apa-apa deh. Aku mau ketemu teman di alamat itu soalnya."

"Oke, Neng." Mobil pun melaju menyusuri jalanan menuju alamat yang di tuju. Tak membutuhkan waktu yang lama, hanya dalam waktu singkat Sherin sampai di alamat yang diberitahukan Renata. Setelah membayar ongkos, Sherin pun turun dari mobil dan mendekati sebuah gerbang yang nomor rumahnya sama seperti yang dikirimkan oleh Renata.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Seorang satpam yang berjaga di depan gerbang datang menghampiri Sherin.

"Apa ini benar rumahnya Alvano dan Alvian?" tanya Sherin hati-hati. Satpam itu langsung mengangguk dengan cepat.

"Iya benar. Non, temannya tuan muda ya? Tuan muda sudah menunggu Nona di dalam dengan teman-temannya yang lain." Sherin menghembuskan nafas lega karena berhasil menemukan rumah si kembar.

"Mari masuk, Non." Satpam tersebut membukakan pintu gerbang. Sherin menatap takjub pada halaman depan rumah mewah tersebut. Begitu luas dan indah.

"Non masuk saja ke dalam. Kebetulan ART-nya sedang ke pasar."

"Duh, bagaimana kalau saya nyasar, Pak?" Satpam tersebut tertawa geli mendengar pertanyaan Sherin yang penuh rasa khawatir.

"Gak mungkin, Non. Non tinggal buka pintu dan masuk ke dalam. Lalu naik ke lantai dua, dan cari pintu berwarna hitam. Itu adalah kamar Tuan Vano. Kalau sepi, Non masuk ke kamar di depannya saja. Itu kamar Tuan Vian." Satpam menjelaskan dengan seksama. Sherin menghembuskan nafas pelan mendengarnya. Ribet sekali deh.

Setelah berterima kasih, Sherin pun berjalan mendekati pintu utama. Membuka pintu dengan hati-hati dan masuk ke dalam rumah tersebut. Suasananya begitu hening dan sepi. Saking sepinya, Sherin sampai bisa mendengar suara langkah kakinya sendiri.

Mengikuti ucapan satpam di depan, Sherin pun menaiki tangga menuju lantai dua. Lalu dia mencari-cari pintu kamar berwarna hitam. Dan dia menemukannya.

Sherin mengetuknya, namun tak ada balasan dari dalam. Dia menggerutu kesal, merasa dipermainkan. Akhirnya, dengan berani Sherin membuka pintu tersebut. Melangkah masuk, dengan perasaan bingung.

"Loh, kok sepi? Apa mereka ada di kamar yang depan ya?" tanya Sherin pada dirinya sendiri. Sebelum keluar dari sana, Sherin sempat melihat sekeliling. Tak bisa berhenti untuk merasa takjub melihat segala kemewahan yang melingkupi kehidupan si kembar Vano dan Vian.

Sibuk memperhatikan sekeliling, Sherin sampai tak menyadari seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Orang itu menatap heran pada Sherin, yang berada di kamarnya.

"Ada perlu apa?" Sherin berjingkat kaget mendengar suara baritone yang masuk ke telinganya. Dia berbalik, menatap ke arah suara barusan.

"KYAAAA! SIAPA KAMU?!" Sherin berteriak kaget dan langsung berbalik, memunggungi orang tersebut. Wajahnya memerah karena malu.

"Saya pemilik kamar ini. Ada yang bisa saya bantu?" Sherin dilanda rasa panik karena berada dalam satu ruangan dengan seorang pria yang baru saja selesai mandi dan hanya memakai selembar handuk!

"I-ini bu-bukan kamar Vano?" tanya Sherin pelan. Terdengar tawa kecil dari pria tersebut.

"Kamu salah masuk kamar. Kamar anakku berada paling ujung. Masuklah ke sana." Wajah Sherin merah saat mendengar itu. Anakku? Berarti pria itu ....

Tanpa basa-basi lagi, Sherin keluar dari sana dengan buru-buru. Wajahnya sudah semerah tomat, saking malunya. Dia berlari menuju ujung koridor, dan menemukan sebuah pintu lain yang berwarna hitam. Kedua tangan Sherin terkepal erat, merasa marah.

Tanpa menunggu lagi, Sherin langsung membuka pintu dan masuk ke sana. Terlihat Vano dan Vian yang sedang main game. Sedangkan Renata dan Novi, menonton film berdua. Perhatian keempat orang itu langsung beralih pada Sherin yang baru saja datang. Belum juga menyapa, mereka sudah dihadiahi kemarahan oleh Sherin.

"Aku akan buat perhitungan dengan kalian semua!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel