Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2: JALAN NAFSU YANG BERLIKU

Kabin itu, tersembunyi di balik deretan rak berisi dokumen-dokumen negara usang dan hadiah-hadiah yang tak pernah dibuka, adalah saksi bisu dari pengkhianatan Keke. Ruangan kecil yang melekat pada perpustakaan pribadi Kaisar ini, jauh dari kemegahan ruang takhta, adalah tempat di mana semua topeng dilepas. Di sini, Lushang bukan Kaisar, dan Keke bukan Selir Junior. Mereka hanya dua insan yang dilalap oleh api terlarang.

Malam itu, Keke masuk dengan jantung berdebar kencang, bukan karena rindu, tetapi karena ketakutan yang akrab. Wangian dupa yang berat, khas Lushang, langsung memenuhi paru-parunya, membuatnya sedikit pusing. Dia masih mengenakan hanfu sutra berwarna lavender pemberian Weilong, kainnya halus dan mahal, sebuah kontras menyolok dengan kesederhanaan ruangan ini.

Lushang sudah menunggu, bersandar pada sebuah divan tua yang ditutupi selimut satin. Dia hanya mengenakan jubah longgar yang diikat longgar di pinggang, memperlihatkan dada yang sudah beruban tapi masih berotot. Matanya, tajam dan lapar, menyapu tubuh Keke dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Akhirnya kau datang,” gumamnya, suaranya serak. “Lepaskan itu. Aku ingin melihatmu. Hanya untukku.”

Tangan Keke gemetar sedikit saat melepaskan bros yang menyematkan hanfu-nya. Kain sutra yang mahal itu meluncur dari bahunya dan berkumpul di lantai kayu yang dingin, meninggalkannya hanya dalam dudou berwarna krem dan rok dalam yang transparan. Dinginnya udara menerpa kulitnya, membuatnya merinding. Dia merasa sangat telanjang, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral.

Lushang mendesis, matanya membara. “Mendekatlah.”

Keke melangkah pelan, setiap langkahnya terasa seperti menempuh jarak satu mil. Begitu dia dalam jangkauan, tangan Lushang menyergapnya, menariknya dengan kasar ke dalam pangkuannya. Cengkeramannya kuat, hampir menyakitkan. Dia mengubur wajahnya di leher Keke, menghirup dalam-dalam.

“Kau masih berbau seperti dia,” geramnya, suaranya rendah dan penuh ancaman. “Bau sabunnya, minyak wanginya.”

“Yang Mulia, aku…” bantah Keke, tapi sebuah cubitan keras di pahanya memotong ucapannya.

“Diam,” perintah Lushang. “Malam ini, lupakan dia. Lupakan segalanya. Kau milikku.”

Dia merebahkan Keke di atas divan, tubuhnya yang lebih besar dan berat menindihnya. Nafasnya, yang berbau anggur dan dupa, mengepul di wajah Keke. Bibirnya menyergap bibir Keke dalam ciuman yang keras dan menguasai, tanpa sedikitpun kelembutan. Ini adalah klaim, sebuah penandaan wilayah. Tangannya menjelajah tanpa malu, meremas dan mencubit, meninggalkan bekas merah di kulit Keke yang pucat.

Keke memejamkan matanya, mencoba memisahkan pikirannya dari apa yang terjadi pada tubuhnya. Dia membayangkan Weilong. Dia membayangkan cara Weilong menciumnya—perlahan, penuh pertanyaan, seolah-olah selalu takjub dengan keberadaannya. Dia membayangkan sentuhan Weilong yang penuh penghormatan, seolah-olah tubuhnya adalah pusaka yang tak ternilai.

Tapi realita adalah Lushang. Realita adalah kumisnya yang kasar menggesek kulitnya yang lembut. Realita adalah desisannya yang penuh nafsu di telinganya. Realita adalah rasa sakit yang tajam dan kenikmatan palsu yang dipaksakan.

“Katakan siapa yang memilikimu,” geram Lushang di sela-sela nafasnya yang berat, menggigit pundak Keke.

Keke menggigit bibirnya, menahan rintihan. Dia tahu permainannya. “Anda, Yang Mulia. Hamba milik Anda.”

“Lebih keras!”

“Hamba milik Yang Mulia!” teriak Keke, suaranya parau dan dipenuhi emosi yang campur aduk—rasa malu, kepatuhan, dan sebuah kemarahan yang tertanam dalam.

Kepuasan yang sadis terpancar dari wajah Lushang. Dia selalu membutuhkan pengakuan ini, kebutuhan untuk menguasai bukan hanya tubuhnya, tetapi juga suaranya, penyerahannya. Bagi Lushang, ini bukan hanya soal nafsu; ini adalah soal kekuasaan. Ini adalah pemberontakan diam-diam terhadap sang putra mahkota, sebuah cara untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa bahkan wanita pilihan putranya pun lebih memilih dia, sang Kaisar, sang penguasa sejati.

Pertemuan mereka berlangsung cepat dan penuh gairah yang kasar. Lushang, yang sudah setengah baya, selalu terburu-buru, seolah-olah ingin mengalahkan waktu dan membuktikan potensinya yang masih ada. Bagi Keke, itu adalah sebuah tugas yang harus diselesaikan, sebuah ritual yang memualkan namun penting untuk mempertahankan posisinya yang baru diraih.

Saat itu semua berakhir, Lushang tergeletak di sampingnya, nafasnya masih terengah-engah. Keke berbaring diam, matanya menatap langit-langit kayu yang gelap, merasakan rasa hantu dari tangan dan bibir Lushang di seluruh tubuhnya. Rasa bersalah datang menghantamnya seperti gelombang pasang, lebih menyakitkan daripada cengkeraman Lushang.

Dia memikirkan Weilong. Dia membayangkannya sedang tertidur di kamar mereka, mungkin tersenyum dalam mimpinya, sama sekali tidak menyadari bahwa istrinya sedang berbaring di samping ayahnya sendiri, tercemar oleh pengkhianatan. Sebuah isak tangis menyumbat tenggorokannya, tapi dia menelannya keras-keras. Menangis di hadapan Lushang adalah sebuah tanda kelemahan, dan kelemahan adalah kemewahan yang tidak bisa dia miliki.

Lushang memecah kesunyian, suaranya sudah kembali menjadi suara Kaisar yang berwibawa, seolah-olah ledakan nafsu tadi tidak pernah terjadi. “Dia memperlakukanmu dengan baik? Weilong?”

Pertanyaan itu menusuk seperti belati. Keke menarik napas dalam-dalam. “Ya, Yang Mulia. Tuanku Pangeran sangat baik.”

“Baik?” Lushang mendengus, ada nada cemburu dan ejekan dalam suaranya. “Kebaikan adalah untuk anak anjing dan pelayan. Seorang Kaisar memerlukan lebih dari sekedar ‘baik’. Dia membutuhkan kekuatan. Keganasan. Kau lihat sendiri, bukan? Dia terlalu lembut untuk jaman yang kejam ini.”

Keke diam. Dia tidak bisa menyangkal, dan membela Weilong secara terbuka hanya akan memicu amarah Lushang.

“Kau telah membuatnya lemah,” tambah Lushang tiba-tiba, suaranya dingin. “Dia terlalu mencintaimu. Itu adalah kelemahan. Seorang penguasa tidak boleh mencintai sesuatu lebih dari yang dia cintai kekuasaannya.”

Perkataan itu membuat Keke membeku. Apakah Lushang melihat cinta Weilong sebagai sebuah ancaman? Apakah hubungan terlarang ini bukan hanya tentang nafsu, tetapi juga sebuah cara untuk melemahkan sang putra mahkota, untuk menjaga agar Weilong tetap terkendali secara emosional?

Tiba-tiba, ruangan kecil itu terasa seperti penjara. Dinding-dindingnya seakan mendekat, dan aroma dupa yang berat terasa seperti racun. Keke ingin keluar. Dia ingin lari kembali ke kamarnya, mandi berjam-jam, dan berusaha menyembunyikan noda pengkhianatan ini sebelum Weilong bangun dan mencarinya.

“Aku harus pergi, Yang Mulia,” katanya, suaranya bergetar sedikit saat dia mengambil hanfu-nya dari lantai. “Tuanku Pangeran mungkin akan bangun untuk berlatih pedang sebentar lagi.”

Lushang tidak menahan nya. Dia hanya mengamati dengan mata tajam saat Keke bergegas mengenakan pakaiannya, tangannya masih gemetar. Dia menikmati kekuasaannya atasnya, ketakutan yang dia pancarkan.

Tepat sebelum Keke mencapai pintu, Lushang berbicara lagi, suaranya seperti suara ular yang mendesis. “Ingat, burung cantik. Sangkar emas pun masih tetap sangkar. Aku yang meletakkanmu di sana, dan aku yang bisa mengeluarkanmu. Atau mematahkan sayapmu selamanya.”

Keke membeku, tangannya sudah di pegangan pintu. Ancaman itu begitu jelas, begitu dingin. Dia tidak menjawab. Dia hanya membuka pintu dan menyelinap keluar, masuk ke koridor yang sepi dan dingin.

Dia berjalan cepat, hampir berlari, menyusuri lorong-lorong yang sepi. Hatinya berdebar kencang, bukan karena gairah, tetapi karena ketakutan dan rasa jijik yang mendalam. Wangi Lushang masih menempel di kulitnya, di pakaiannya. Dia harus mandi. Dia harus mencuci semua ini sebelum Weilong menciumnya, sebelum dia tahu.

Sampai di kamar mandinya, dia menggeser pintu kayu dan masuk. Dengan tangan gemetar, dia menuangkan air dingin dari tempayan besar ke sebuah baskom. Dia menggosok kulitnya dengan kasar menggunakan waslap dan sabun wangi, berusaha menghapus setiap jejak sentuhan Kaisar. Air matanya akhirnya tumpah, bercampur dengan air di baskom, diam-diam dan menyendiri.

Dia melihat bayangannya yang pucat di air yang bergoyang. Siapa dirinya? Seorang selir yang dicintai? Atau hanya sebuah mainan bagi dua penguasa, terjebak dalam permainan kekuasaan dan nafsu yang suatu hari nanti pasti akan menghancurkannya?

Ketika dia akhirnya kembali ke kamar tidurnya, Weilong masih tertidur. Dia berbaring di sampingnya, memperhatikan naik turunnya napasnya yang teratur. Dia ingin memeluknya, mencari perlindungan dalam dekapan pria yang dia khianati ini. Tapi dia tidak berani. Dia takut akan mencemari kesuciannya dengan ketidakmurniannya.

Dia berbaring terjaga sampai fajar menyingsing, terperangkap di antara bayangan pengkhianatan dan cahaya cinta yang dia idam-idamkan, merasa dirinya terbelah menjadi dua, dan perlahan-lahan hancur oleh rahasia yang harus dia bawa.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel