Kecupan Singkat
Sepanjang acara makan malam, Nadia lebih banyak diam. Dia hanya sesekali menanggapi ucapan Ray atau candaan Armand Widjaya yang memang terkenal ramah pada semua karyawannya.
Namun, kalau boleh jujur Nadia masih merasa kalau sikap Ray sudah keterlaluan kali ini. Pertemuan keluarga bukanlah acara sembarangan. Apalagi hubungan mereka baru berjalan beberapa bulan. Nadia masih butuh waktu untuk berpikir tentang arah hubungannya dengan Ray. Tapi, lelaki itu memutuskan sendiri tanpa berdiskusi dengan Nadia.
“Sepertinya orang tuaku menyukaimu.”
“Kenapa kamu nggak bilang dulu sama aku kalau kamu mau mempertemukan aku dengan keluargamu?” dengus Nadia setelah mobil Ray berjalan meninggalkan area restoran. “Kenapa kamu nggak tanya dulu sama aku, Ray?”
“Kalau aku tanya dulu, memangnya kamu mau?”
Seketika Nadia terdiam. Hanya napasnya saja yang berubah cepat karna menahan amarah sejak tadi. “Kamu bahkan nggak pernah bilang kalau Pak Armand itu papa kamu.”
“Sudah lama aku ingin ngenalin kamu ke orang tuaku. Tapi, kamu selalu menghindar. Apa selama ini kamu menganggap hubungan kita hanya permainan?”
“Bukan begitu, Ray. Tapi, ....”
“Tapi apa?!” suara Ray mendadak meninggi, bersamaan dengan mobilnya yang tiba-tiba menepi, membuat Nadia terbelalak karna terkejut.
Setelah terdiam beberapa saat, pria itu menoleh ke arah Nadia dengan tatapan nyalang seraya berkata, “Apa selama ini kamu hanya mempermainkan aku?!” desisnya dengan sorot mata menyala amarah, membuat Nadia beringsut ketakutan.
Selama ini Nadia tidak pernah melihat Ray marah. Pria itu selalu bersikap baik dan lemah lembut padanya. Karna itulah Nadia merasa sangat terkejut dengan perubahan sikap Ray yang begitu tiba-tiba.
“Ray, a-aku ... aku mau turun,” cicit Nadia sembari berusaha membuka pintu di sampingnya namun gagal. Mobil Ray masih terkunci. “Ray, please ... aku mau pulang!” teriak perempuan itu saat menyadari Ray masih membelalak padanya tanpa berkedip.
Lalu, sesaat kemudian tatapan Ray berubah. Pria itu mengerjap dan berpaling sambil mengusap wajahnya sendiri dengan sebelah tangan.
“Nad, i’m sorry ... apa aku menyakitimu?” Ray hendak meraih pundak Nadia namun gadis itu segera menghindar karna ketakutan, meskipun ekspresi wajah Ray sudah tak seram lagi seperti tadi.
“Aku mau pulang,” lirihnya tanpa menoleh lagi.
Dan sepanjang perjalanan menuju apartemen, mereka berdua tak lagi bersuara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Nad, aku ... aku benar-benar minta maaf. Tadi itu ....”
“It’s enough. Lebih baik kamu pulang, aku capek.” Nadia berbalik dan meninggalkan Ray di lobby apartemen. Bahkan gadis itu melarang kekasihnya mengantar sampai pintu unitnya.
Nadia masih terlalu terkejut dengan semua hal yang terjadi padanya tadi.
Perlahan Nadia melangkah gontai keluar dari dalam lift. Gadis itu melepas heels dan berjalan dengan telanjang kaki menyusuri lorong yang menuju ke arah unitnya dengan kepala tertunduk.
Rasanya dia sangat lelah hari ini. Terlalu banyak kejadian mengejutkan yang membuatnya tak sanggup berkata-kata. Bahkan dia tak sadar saat ada seseorang yang sejak tadi menatapnya.
Nadia baru sadar dan mendongak saat pria itu berdehem dan berjalan pelan mendekatinya.
“Sam?”
“Hai,” balasnya dengan senyum kecil dan lambaian tangan tepat di depan wajah Nadia yang masih terkejut saat melihatnya.
**
“You look messy.” Sam berkomentar setelah menatap Nadia untuk beberapa detik.
Sementara Nadia berusaha tak menghiraukan ucapan Sam padanya, hingga pertanyaan berikutnya membuatnya berhenti melangkah.
“Yang tadi itu ... pacarmu?”
“Bukan urusanmu,” sengit Nadia masih berdiri di depan pintu unitnya menghadap Sam. Kalau Sam benar-benar melihat Ray, berarti pria itu tau kalau Nadia berhubungan dengan saudaranya.
“Kamu terlihat seperti baru saja pulang dari medan perang dari pada berkencan.” Lagi-lagi Sam mengomentari penampilan Nadia yang memang tampak kacau dengan sepatu hak tinggi di tangan.
Sejenak gadis itu menatap kakinya yang telanjang, lalu kembali melayangkan tatapan kesal pada Sam. Kenapa pria itu harus tinggal di samping unitnya? Tidak bisakah dia membiarkan Nadia tenang sebentar saja?
Persetan dengan status Sam yang jauh di atasnya. Saat ini Nadia sedang tidak ingin beramah-tamah dengan pria itu.
“Kamu ngapain di sini?”
“Nungguin kamu.”
“Nungguin aku?” kekeh Nadia tak percaya. “Dasar playboy. Gombalan seperti itu udah nggak bisa mempengaruhiku,” lirihnya sambil berpaling.
“Lalu apa yang bisa mempengaruhimu?” Sam bertanya dengan tatapan penasaran. Seolah-olah dia benar-benar menginginkan jawaban Nadia.
“Just stay away.”
“Aku mau minta maaf soal kejadian tadi pagi di coffea shop.” Raut wajah Sam berubah serius, dan hal itu membuat Nadia kembali menoleh membalas tatapan Sam. “Maafin aku, Nad.”
“Udah telat.”
“Ya, i know,” sesalnya lalu terdiam sesaat, sebelum dia bertanya, “Boleh aku masuk?” Pria itu melirik pintu unit Nadia.
“What? Mau ngapain?”
“Eum ... kamu nggak capek berdiri terus? Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Gimana kalau kita ngobrol sambil minum teh? Kamu punya teh? Kopi? Soda? Air putih juga nggak apa-apa.”
Nadia menatap Sam dengan wajah kesal sambil berkacak pinggang.
“Okay ... maybe next time,” ucap pria itu menyadari kemarahan Nadia sambil memasang wajah kecewa. “Kamu pasti capek banget ‘kan habis kencan sama pacarmu,” sindirnya.
“Kamu emang nyebelin gini ya orangnya? Kayaknya kamu punya bakat bikin orang kesel.”
Sam terkekeh, kedua tangannya berpindah ke saku celana. “Aku juga punya bakat bikin orang terpesona.”
Nadia menggelengkan kepala pelan lalu dengan gerakan malas dia menempelkan card lock ke pintu apartemennya, seraya melirik ke arah Sam yang masih berdiri di sampingnya. “Come in, ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“With my pleasure, dear,” sahut Sam diiringi senyum jail saat Nadia meliriknya tajam.
Pria itu berjalan pelan mengekori langkah Nadia masuk ke dalam apartemen, lalu dia duduk saat perempuan itu menyuruhnya menunggu di sofa ruang tengah.
“Aku hanya punya ini.” Nadia datang dengan dua kaleng soda dingin yang dia letakkan di coffea table sebelum ikut duduk di samping Sam.
Nadia hanya butuh penjelasan tentang kejadian semalam. Dia hanya ingin memastikan bahwa di antara mereka tidak terjadi apa-apa. Mengingat bagaimana sepak terjang Sam dulu yang begitu lihai menggoda lawan jenisnya, Nadia jadi was-was. Berbagai prasangka buruk telah memenuhi kepalanya sejak tadi pagi, dan dia butuh klarifikasi dari Sam.
“Semalam ... kamu nggak macam-macam, ‘kan? Kamu nggak ... eum ... maksudku kamu dan aku ... kita ....”
“Melakukan hubungan intim?”
“Enggak, ‘kan?!” Bola mata Nadia melebar, menanti jawaban dari Sam. “Jawab jujur!”
“Memangnya kamu nggak ingat sama sekali?”
Nadia menggeleng lemah. “Jadi, kita nggak melakukan apa-apa, ‘kan?”
“Melakukan apa?”
“Don’t ask me back!” Nadia mulai kesal. Perempuan itu meraih kaleng soda di hadapannya, membukanya dengan kasar dan meneguknya sedikit. “Jawab jujur atau ....”
“Atau apa?” Wajah Sam tiba-tiba mendekat, membuat Nadia hampir saja tersedak soda yang baru saja mengaliri tenggorokannya.
Pria itu perlahan meraih tangan Nadia dan menaruh kaleng soda dalam genggaman gadis itu tanpa melepaskan tangannya. “Kalau aku bilang tidak terjadi sesuatu, apa kamu percaya?”
“Lepas.” Nadia berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Sam namun gagal.
“Aku minta maaf karna pernah melukai hati dan perasaanmu. Tapi, ....” dengan gerakan lambat dan tatapan sendu, Sam menyelipkan rambut ke belakang telinga Nadia, membuat gadis itu sedikit meremang dan tak bisa berkutik, “... aku tidak pernah berniat mempermainkanmu. ”
Nadia membalas tatapan Sam yang berjarak begitu dekat dengannya. “Jadi? Semalam?”
“Semalam? Hm, ... setidaknya aku berhasil menahan diri untuk tidak menyentuhmu.” Tatapan Sam perlahan turun ke arah bibir Nadia yang bersemu merah dan sedikit terbuka. “Tapi, aku tidak yakin bisa melakukan hal yang sama sekarang.”
Nadia belum sempat berkedip saat Sam tiba-tiba mendekat, memupus jarak di antara mereka dan menyentuh bibirnya dalam kecupan singkat. Butuh satu detik untuk Nadia mencerna apa yang terjadi, sebelum dia melayangkan tamparan ke pipi kiri Sam dengan cukup keras.
**
