1. Nafsu Sex Mertua
“Mas … sakit banget …,” desis seorang wanita saat jemarinya sedang berada dalam serangan sang casanova.
“Bentar lagi sakitnya juga hilang, bentar lagi sayang ….”
“Pelankan temponya, Mas, aku udah gak kuat lagi menahan semuanya. Emm …,” rintih wanita itu lagi.
“Baiklah, sekarang akan pelan-pelan sayang, jangan dilawan oke!”
***
"Om, cium."
Ananda merentangkan kedua tangan serta memonyongkan bibirnya, hendak memeluk leher Taufik untuk mencium bibir lelaki yang ber umur 37 tahun itu.
"Eh! Tunggu-tunggu. Ponakan Om yang manis tenang dulu ya."
Taufik berusaha menahan kedua tangan Ananda dengan kedua tangannya serta menjauhkan kepala, berusaha menghindari bibir yang menggoda iman itu kebelakang.
"Ih Om, Anna mau nyium Om tau."
Bibir bawah Ananda manyun lalu melepaskan tangannya dari genggaman Taufik.
Ananda tidak tahu saja, saat ini Taufik berusaha menahan diri melihat bibir cerewet itu, apalagi di ruangan itu hanya ada mereka berdua yang bisa membuat Taufik khilaf kapan saja.
"Anna yang manis tenang dulu, oke."
Taufik berusaha menghindari Ananda yang ingin menciumnya dengan berpindah dan duduk di sofa dalam rumah mereka itu.
"Om gimana sih? Dimana-mana orang yang habis nikah itu ciuman!"
Ananda berusaha mendekati Taufik lagi, tapi lagi-lagi Taufik berusaha menjauhinya dengan kembali berdiri saat Ananda duduk disampingnya.
"Anna dengar dari mana kata itu."
Taufik harus terus menjawab ucapan gadis belia genit ini agar tidak terus membahas ciuman, dan Taufik harus berusaha membahas topik lain.
Tapi sepertinya Ananda tidak akan berhenti meminta apa yang diinginkannya
Dan sialnya gadis yang meminta di cium ini adalah istrinya.
Entah apa rencana Tuhan sampai ia harus menikahi gadis yang bahkan belum menginjak usia 18 tahun ini.
Istrinya ini bahkan masih duduk di bangku SMA.
"Ya tau lah Om. Makanya Anna mau cium."
Ananda berdiri lagi dan berjalan mendekati Taufik.
Pria berumur 37 tahun itu berusaha mundur menghindari Ananda yang terus melangkah maju mendekatinya.
"Ponakan Om yang manis, yang cantik, yang imut, yang_"
"Ihs, Om! Anna itu sekarang istrinya Om Taufik, bukan ponakan lagi!"
Gadis yang baru berstatus istri itu memperbenar ucapan Taufik yang salah.
Mereka terus berbicara sembari Taufik mundur dan Ananda yang melangkah maju.
"Oke, oke. Anna istrinya Om yang manis tenang dulu yaa. Ciumannya tunda dulu."
Setelah berucap, Taufik merasakan punggungnya sampai pada ujung dinding.
Ananda tersenyum melihat Taufik sudah tidak bisa mundur lagi, dan langsung memperpendek jarak di antara mereka.
"Nggak."
~~~~~
*Mantan Rasa Pacar
PLAAAK
Tamparan keras memalingkan wajah seorang remaja yang memakai pakaian putih biru itu, bajunya yang putih penuh dengan coretan berbagai warna.
Begitu pula dengan baju gadis remaja yang baru saja membarikannya tamparan.
Wajah gadis itu dipenuhi linangan air mata yang menuju lehernya.
Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia untuk kelulusan mereka.
Tapi apa ini?
Pacarnya baru saja minta putus di hari kebahagiaan mereka bersama.
"Puas? Puas kamu hah! Sudah puas bikin aku kaya gini!" teriak gadis itu.
Si remaja pria hanya diam membisu melihat gadis yang ada didepannya terpukul dengan permintaanya barusan.
Remaja itu menatap gadisnya dengan mata memerah menahan gejolak yang memaksanya untuk menenangkan, menghibur, dan memeluk kekasihnya yang menyesakkan dada remaja pria itu.
"Kita pernah berjanji Rey. Kita pernah berjanji buat terus sama-sama."
Si gadis berucap dengan suara serak lalu terduduk di atas rerumputan hijau di taman itu.
Kepalanya menunduk untuk waktu yang lama dengan tangis pilunya.
"Kenapa?"
Kepalanya mendogak untuk melihat lawan bicaranya.
"Kenapa kamu lakuin semua ini sama aku Rey? Kenapa?" tanyanya dengan lirih meminta alasan.
"Ly, mama_"
"Stop," ujar Laily lalu berdiri.
Maniknya menatap lekat kedua mata Reynaldi yang dibalas pula oleh pria yang terhenti perkataannya itu.
"Ternya ini pilihan yang kamu ambil, oke. Hari ini kita putus."
Laily tau jika hubungan mereka tidak direstui oleh mama Reynaldi.
Gadis itu berdiri setelah memutuskan pacarnya untuk pergi.
"Ly," panggil Reynaldi tapi Laily tidak menjawab.
Reynaldi harus menjelaskan yang sebenarnya.
Reynaldi tidak ingin membuat kekasihnya bersedih, tapi ini yang terbaik untuk mereka berdua. Dan Reynaldi melakukan ini untuk kebahagian mereka bersama nanti.
Jadi inilah yang terbaik.
"Laily, ini buka_"
"Udah Rey, stop. Kita udah putus."
Laily terus berjalan.
Reynaldi akan membiarkan Laily tenang dulu dan besok akan pergi berbicara di rumah gadisnya secara empat mata.
Ia tahu Laily pun berat memutuskannya.
~~~~
*Duda ketemu Janda
"Mama!"
Girang seorang bocah tampan imut melihat Ibunya datang menjemput.
Disampingnya ada gadis manis yang seumuran dengannya ikut memandang kedatangan Ibu dari temannya. Wajahnya tampak murung melihat interaksi ibu dan anak itu.
"Anak mama yang ganteng sudah belajar ya."
Yang dipanggil mama itu menghampiri anaknya dan mengecup kedua pipinya bergantian.
"Hay cantik," sapanya beralih melihat bocah di samping putranya, lalu mencolek dagu si cantik.
Gadis itu tersenyum senang mendapat colekan dari Amelia.
"Hay Bibi."
Zia memperlihatkan senyum cerianya saat berbicara dengan Adelia.
"Susternya Zia belum jemput?" tanya Amelia lembut pada gadis itu.
Zia menggeleng sebagai jawaban.
Amelia merasa kasihan pada Zia yang sering terlambat dijemput oleh pengasuhnya.
Apa yang Orang tuanya lakukan sampai menyerahkan semuanya pada sang pengasuh. Pengasuhnya juga tidak bekerja dengan benar.
Amelia dan Amar sering menemani gadis itu sampai pengasuhnya datang, seperti yang mereka lakukan sekarang.
Sudah 2 jam mereka menunggu dan hari hampir siang, namun belum ada yang datang menjemput gadis malang ini.
"Zia mau pulang ke rumah Amar dulu? Nanti Bibi antar ke rumah Zia," tanya Amelia dan di angguki semangat dari Zia.
"Yey, Zia pulang sama Amar."
Amar kegirangan saat Zia mau pulang dengan mereka.
Amelia menggandeng kedua bocah itu di masing-masing genggamannya.
"Mama Zia nggak akan marah kan, kalau ikut sama Bibi dan Amar?"
Amelia takut bila orangtua Zia tidak membolehkannya ikut bersama mereka.
"Zia tidak punya Bunda."
Amelia menghentikan langkahnya mendengar cicitan Zia.
"Zi_"
"Mau kau bawa kemana anakku?"
Suara dari belakang menghentikan ucapan Amelia.
~~~~
~~~~~~
Uhuk Uhuk_
"Ish Om."
Ananda mendekap mulut dan hidungnya dan ber angsur mundur saat Taufik batuk tiba-tiba.
"Jangan batuk depan Anna dong. Nanti virusnya nempelin Anna."
Omelnya masih tetap mendekap mulut dan hidungnya.
Uhuk Uhuk_
"A_ir," pinta Taufik.
Ingin ikut berbicara mendengar omongan Ananda tapi batuknya tidak mereda, ia bahkan menyebut air dengan susah payah.
"Eh! Tunggu Om."
Ananda yang sadar suaminya tidak berhenti dari batuk langsung mengikuti kemauan Taufik untuk mengambilkan air.
Apa kata orang nanti kalau suaminya mati karena batuk.
"Aduh, dapurnya mana sih?"
Ananda sudah memasuki dua ruangan dengan berlari, tapi tidak menunjukkan bentuk dapur yang sesungguhnya.
Saat pencarian ruang ke tiga, barulah dapurnya ia temukan.
"Ini yang desain rumahnya mikirin labirin kali ya? Dapurnya susah sekali dicarinya."
Ananda mengambil air disertai gerutuan yang tidak jelas.
Padalah dia sendiri yang baru pertama kali memasuki rumah besar namun minim penghuni itu. Jadi, otomatis dia belum tahu letak keberadaan dapurnya.
"Ini Om, minum."
Taufik menyambar cepat gelas di tangan Ananda lalu meminumnya.
"Hah_hah. Makasih."
Setelah mengatur nafasnya Taufik mengucapkan terimakasih.
Hampir saja nyawa satu-satunya melayang direnggut batuk tak berunjung.
