Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Setelah menyesap sedikit kopi yang mulai dingin, Ryandi melangkah ke arah stand yang paling ramai, tempat logo-logo band besar dijajar di gantungan-gantungan besi yang nyaris doyong karena beratnya kaos dan jaket. Di sana, dari balik barisan orang yang mondar-mandir, muncullah sosok familiar dengan senyum lebar dan rambut yang dikuncir asal-asalan.

"Eh, Ncheck! Apa kabar?" sapa Reza, sambil menepuk bahu Ryandi dengan semangat khas anak lapangan.

Ryandi menoleh dan tersenyum kecil. “Reza… hidup segan, mati belum waktunya,” jawabnya dengan nada datar, tapi dengan sedikit gurauan kering yang masih menyisakan jejak akrab masa lalu.

“Hahaha… masih aja lo bawa-bawa gaya dark gitu. Gimana, masih ngulik musik? Masih jadi anak warnet?” tanya Reza sambil menyodorkan puntung rokok ke arah asbak di dekat meja.

“Musik ya… kadang. Kalau ada yang minta. Kalau enggak ya cuma main buat diri sendiri. Dan warnet? Udah lama bubar,” kata Ryandi, menyender ke tiang stand.

Reza mengangguk pelan, menyipitkan mata, lalu berkata, “Tapi muka lo beda, bro. Kayak lagi mikirin sesuatu… atau seseorang?”

Ryandi hanya diam, menatap ke kerumunan yang bergerak acak. Wajah gadis itu kembali melintas di benaknya, seperti bisikan yang tak kunjung pergi. Namun ia tidak menjawab.

Reza tertawa kecil. “Udahlah, bro… jangan terlalu lama hidup di kepala. Kadang yang kita cari justru nemu pas kita nggak ngarep.”

Ryandi hanya membalas dengan mengangkat alis, lalu menenggak sisa kopi di tangannya. Ada sesuatu di udara malam itu. Entah itu firasat… atau hanya rindu yang tak punya tempat pulang.

Tak lama setelah obrolan singkat dengan Reza, terdengar suara langkah mendekat di antara riuh musik dan hiruk-pikuk pengunjung stand.

“Woi… akhirnya nongol juga lo, Ncek,” ujar suara perempuan dari arah kanan. Ryandi menoleh dan tersenyum samar.

Lisa datang dengan gaya khasnya yang selalu mencolok—rambut panjangnya diwarnai highlight ungu tua yang menyala di bawah cahaya lampu stand, dikuncir setengah naik seperti gadis-gadis club motor era 90-an. Jaket kulit penuh emblem, celana sobek-sobek, dan sepatu boots tinggi menegaskan bahwa dia memang bukan tipikal cewek biasa. Lisa tak pernah malu menunjukkan siapa dirinya—berisik, liar, dan setia.

Di sampingnya, sosok yang jauh berbeda—Tika. Kalem, rapi, dan elegan. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai alami, wajahnya tanpa rias berlebihan. Kaus putih polos dan jaket denim jadi pilihannya malam ini, dipadukan dengan celana jeans dan sneakers. Meskipun penampilannya sederhana, dia memancarkan pesona yang tak kalah mencolok. Anak kedokteran, tapi tetap nyambung di tongkrongan metal—itulah Tika.

“Lama banget lo gak kelihatan. Kita pikir lo udah pindah planet,” goda Lisa sambil meninju pelan lengan Ryandi.

Tika tersenyum lembut. “Aku sempat ke kampusmu. Tapi katanya kamu udah nggak aktif.”

Ryandi mengangkat bahu. “Ya gitu, hidup lagi nggak sesuai kurikulum,” ucapnya setengah bercanda.

Mereka semua tertawa kecil. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Ryandi merasa sedikit lebih ringan. Dikelilingi orang-orang lama yang masih peduli, yang tak pernah benar-benar pergi meski dia sempat menghilang.

Obrolan pun mengalir. Tentang rilisan musik baru, event komunitas mendatang, dan masa-masa lama yang kini terdengar seperti cerita dari kehidupan lain. Tapi di tengah tawa dan nostalgia, pikiran Ryandi tetap melayang… pada seulas senyum yang belum sempat dia kejar.

Di tengah obrolan santai yang mengalir, Ryandi akhirnya membuka mulut, suaranya sedikit berat tapi penuh harap.

“Nih, gue mau cerita. Dua malam lalu, gue ketemu sama seorang gadis di kafe. Gaya dia old school banget, kayak Nike Ardilla zaman muda—rambut bob hitam legam, jaket jeans belel penuh pin band metal, kaos hitam bergambar tengkorak, dan celana jeans ketat. Sepatu converse tinggi, pokoknya aura metal banget, tapi beda... ada sesuatu yang bikin gue penasaran,” katanya sambil menatap wajah teman-temannya satu per satu.

Reza, Lisa, dan Tika saling berpandangan sebentar. Lisa mengangguk pelan, mencoba mengingat-ingat. “Kayaknya gue pernah lihat cewek kayak gitu di beberapa event underground, tapi belum pernah kenalan. Dia bukan orang komunitas kita sih,” jawab Lisa.

Tika menambahkan, “Di kampus juga gak pernah lihat, apalagi di fakultas gue. Tapi kalau dia sering nongkrong di kafe-kafe musik metal, mungkin dia dari komunitas lain.”

Reza tersenyum kecil, “Gue ada beberapa kenalan di skena lain, nanti gue coba tanyain deh. Siapa tau dia bagian dari circle yang lo belum kenal.”

Ryandi mengangguk, “Thanks, bro. Gue cuma pengen tahu siapa dia, mungkin juga buat... mulai lagi. Bukan cuma soal musik, tapi sesuatu yang lebih.”

“Tumben lu cari cewek, bukannya lu betah jomblo?” Lisa menyelipkan godaan sambil menatap Ryandi dengan senyum nakal.

Ryandi cuma mengangkat bahu santai, “Ya, kadang hati juga butuh hiburan, gak cuma gitar dan distorsi.”

Reza, yang duduk di sebelahnya, langsung penasaran. “Cantiknya gimana sih, Ncek? Ceritain dong.”

Ryandi tersenyum tipis, matanya menerawang. “Kalau dibandingin sama LC, dia lebih cantik, dua kali lipat malah. Kalau Rivianty, hampir setara. Tapi kalau dibandingin sama Via… ya, Via itu idol, bintang panggung, sedangkan dia ini lebih ke cewek ‘speak metal’—karakter yang kuat, bukan tipe cewek manis biasa.”

Lisa mengangguk pelan, “Hmm, cewek kayak gitu memang susah dilupain.”

“Tuh, makanya gue penasaran, siapa dia sebenarnya,” tambah Ryandi lirih.

Malam itu, obrolan ringan tapi bermakna itu jadi bahan bakar kecil yang menghangatkan hati Ryandi. Ada sesuatu yang membuatnya ingin kembali mencoba, bukan cuma dalam musik, tapi juga dalam hidup.

Tiga minggu telah berlalu.

Waktu berjalan pelan tapi pasti, menumpulkan gairah pencarian Ryandi yang semula menyala-nyala. Semua unggahan telah dia scroll, semua story dia lihat, semua tagar dia telusuri—tapi wajah itu tak pernah muncul lagi. Perlahan, dia mulai menerima kemungkinan bahwa momen itu memang hanya satu kilasan yang tak akan kembali.

Dan sore itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Ryandi mengalihkan fokus.

Dia kembali ke akar lamanya—komunitas pecinta alam, tempat di mana peluh, tanah, dan kabut gunung jadi pengganti pelarian dari hiruk-pikuk kota. Komunitas yang sempat ia tinggalkan karena duka, kini kembali ia datangi, meski dengan rasa asing yang samar.

Motor bututnya meraung pelan saat ia memasuki area basecamp, yang letaknya di sebuah bangunan semi-terbuka di pinggir kota. Asap knalpotnya menari-nari di udara sore yang lembap.

Beberapa orang yang sudah berkumpul menoleh ke arahnya. Sebagian kaget, sebagian tersenyum tak percaya. Ada yang hanya saling pandang, seperti sedang memastikan, "Itu beneran si Ncek?"

Ryandi turun dari motor, melepaskan helm, rambutnya kini pendek, dengan sedikit aksen screamo di sisi kanan. Jaket hitam lusuh dan celana jeans penuh tambalan jadi ciri khas yang tetap dia pertahankan. Gaya metal tetap menempel, meski tubuh dan wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya.

"Anjir… Ncek balik," bisik seseorang di antara kerumunan.

Seorang senior mendekat, menepuk bahunya keras. “Wah, gua pikir lo udah pensiun naik gunung, bro.”

Ryandi hanya tersenyum kecil. “Gunung gak pernah salah, yang salah kadang kita yang terlalu tenggelam di bawah.”

Tawa kecil terdengar dari sekitar. Aura kerinduan mulai mencairkan suasana. Beberapa teman lama menghampiri, menyalami, bahkan langsung menawarkan kopi sachet dari termos komunitas.

Di tengah semua itu, meski dirinya tampak kembali menyatu dengan tanah dan langit, dalam hatinya Ryandi tahu—ada sesuatu yang belum selesai. Tapi mungkin… ini waktunya untuk berhenti mencari, dan mulai berjalan lagi. Biarkan semesta yang mempertemukan, kalau memang masih ada ruang untuk itu.

Di sisi lain basecamp, tak jauh dari tempat logistik pendakian disusun dan tenda-tenda latihan mulai dibentangkan, sekelompok gadis tengah duduk melingkar. Tawa dan celotehan mereka bersahut-sahutan, bercampur dengan suara gitar akustik yang dipetik seadanya oleh salah satu anggota cowok yang duduk tak jauh.

Di antara mereka, tampak Yuna—gadis ceria dengan topi lapangan dan buff melingkar di lehernya. Dia sudah cukup lama aktif di komunitas ini dan dikenal luas karena gaya bicaranya yang blak-blakan tapi asyik. Sore itu, Yuna duduk berdampingan dengan seseorang yang belum lama ini bergabung—seorang gadis baru yang mencolok meski tidak mencoba mencolokkan diri.

Rambut bob hitam rapi, jaket hitam polos dengan pin band metal kecil di kerah, dan raut wajah yang tenang namun jelas menyimpan ketegasan. Dia baru pindah dari Bandung beberapa minggu lalu. Suaranya tenang, agak serak, dengan logat yang tipis dan nada bicara yang… datar, tapi tegas.

“Jadi anak-anak skena di Banjarmasin gini doang ya?” ucapnya sambil menyeruput kopi hitam dari gelas plastik bening. “Gak ada yang menarik gitu.”

Yuna tertawa, sedikit tergelitik, tapi tak tersinggung. “Wah, lo jangan salah. Yang kalem-kalem di sini justru kadang paling liar pas udah di atas gunung. Tapi… lo nyari yang kayak gimana sih emangnya?”

Gadis itu mengangkat bahu acuh. “Gak nyari siapa-siapa. Cuma ngerasa tempat baru itu... kosong. Banyak yang coba kenalan, sok asik, tapi gak ada yang kena.”

Memang, sejak kedatangannya, dia jadi pusat perhatian diam-diam. Banyak cowok mencoba mendekat, mulai dari ngajak kenalan halus sampai sok pamer gear gunung mahal. Tapi dia tetap tak tertarik. Dingin. Jaga jarak. Bahkan tatapannya kadang bikin ciut nyali yang berani ngajak ngobrol asal-asalan.

Yuna sempat menatap gadis itu dengan heran. “Lo pasti anak skena juga ya? Dari style lo udah kelihatan.”

Dia hanya mengangguk singkat. “Iya. Tapi beda skena kayaknya.”

Lalu dia menoleh ke arah lapangan terbuka, tempat beberapa orang baru saja datang.

Tatapannya sempat terpaku sebentar.

Tak jauh dari sana, Ryandi—yang sedang menerima pelukan dari salah satu anggota lama komunitas—berdiri dengan postur yang lebih tegak dari biasanya.

Gadis itu tidak bereaksi. Tapi matanya… sempat diam sepersekian detik lebih lama dari biasanya.

Yuna yang memperhatikan arah pandangnya, tersenyum kecil. “Kenal?”

“Enggak,” jawabnya cepat.

Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang tiba-tiba terasa tak asing. Seperti... sebuah ingatan samar yang belum sempat dipahami.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel