Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Apa Kau Menyukai Rival?

Bab 13 Apa Kau Menyukai Rival?

Kelas ternyata begitu ribut meski semua anak sedang memegang bukunya. Mereka semua kebanyakan berkumpul. Bukannya membahas tentang pelajaran namun malah bergosip yang arahnya tidak jelas sama sekali.

“Dia anak seorang CEO perusahaan Maxtrime di ibukota. Keren, bukan?” Salah satu dari mereka berbisik sambil tergirang-girang.

“Oh ya? Benarkah? Katakan apa lagi yang membuatnya begitu spesial, hey! Aku akan mendekatinya nanti,” balas yang lain. Ia tertawa sambil menutup mulutnya dengan buku yang ada di tangannya.

“Hahaha! Kau pasti bercanda. Dia itu tidak akan pernah melirik gadis sepertimu. Setidaknya kau harus pintar seperti Casie.” Gadis yang lain menyahut dan ikut tertawa mengejek.

Aku menelan ludah. Mengapa mereka membicarakan tentang aku? Dan siapa sebenarnya laki-laki yang mereka bicarakan begitu memesona?

Tersisa lima hari lagi sebelum ujian dimulai. Aku, Aileen, dan sosok yang tak kuharapkan kehadirannya—Rival, belajar di perpustakaan setiap jam istirahat tiba.

Untung saja hari ini Rival tidak ikut bersama kami. Katanya dia sedang berurusan dengan Darren.

Hari ini saat aku dan Aileen duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Tidak biasanya, Aileen terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Dia bersikap aneh. Gelagatnya tak bisa kupahami sampai kemudian ia mengatakan sesuatu yang-ukh!

Aku sendiri tidak bisa memahaminya.

“Casie ... apa kau menyukai Rival?” tanyanya.

Saat itu juga hatiku berkecamuk. Tak ada yang bisa kuucapkan untuk menjawab pertanyaannya barusan. Yaitu sebuah pertanyaan yang membuatku meringis ngilu.

“Apa kau menyukainya?” tanya Aileen sekali lagi. Dia meraih tanganku. Wajahnya terlihat memohon ingin tahu sementara aku sangat tak ingin menatap matanya sekarang. Memuakkan.

“Itu ... aku, aku tidak menyukainya. Aileen, apa yang kau katakan barusan itu?” Aku melepas genggaman tangan Aileen dan beralih pandang dari tatapannya.

“Benarkah kau tidak menyukainya?” Lagi-lagi Aileen membuatku muak dengannya.

“Iya, Aileen. Tidak mungkin aku menyukai Rival. Lagipula dia laki-laki yang sangat menyebalkan. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu padaku?” Lidah ketusku mulai menjuntai. Jawabanku barusan disertai dengan nada yang agak tinggi.

“Syukurlah ...,” ujar Aileen sambil mengelus dada. Memangnya apa ada yang baik-baik saja? Tidak.

“Kau bilang Rival menyebalkan? Sungguh keterlaluan, tahu. Dia itu laki-laki yang sering digosipkan oleh banyak anak perempuan di sekolah ini. Lain dari itu, banyak juga dari mereka yang sedang mengincar Rival.” Aileen berbisik di telinga kananku. Seolah tak ingin ada seseorang yang mendengarkan perbincangan kami.

“Apa maksudmu dengan mengincar Rival? Bagaimana bisa?”

Masih terheran-heran dengan ucapan Aileen, aku memilih untuk mencegahnya berbicara. Namun tak disangka, Aileen malah terus melanjutkan pembicaraannya.

“Lebih baik kita belajar saja. Tidak usah membicarakan tentang Rival. Aku muak,” beritahuku dengan pelan.

Tapi Aileen menolak. Dia bilang kalau hal ini adalah hal yang harus dibicarakannya denganku. Karena Aileen merupakan salah satu dari ribuan murid yang sedang mengincar keberadaan Rival.

Oh ya ampun! Dia itu sudah menjadi primadona kelas yang banyak diincar para laki-laki. Lalu kenapa harus memilih Rival, sih? Memangnya se-terkenal apa Rival? Aku sangat heran.

***

APA?! Aku sungguh tidak menduganya kalau gosip yang tadi pagi kudengar di kelas adalah gosip tentang Rival. Dia adalah anak dari seorang CEO perusahan terkenal di ibukota. Perusahaan makanan yang brand-nya terkenal hampir di seluruh negeri.

Lalu sejak kapan aku tak mengetahui hal ini? Bukan, maksudku—sejak kapan mereka tahu tentang rahasia keluarga Rival yang sangat mencengangkan tersebut?

“Dia itu laki-laki terkeren, Casie. Semua orang mengaguminya karena dia sangat pintar sama sepertimu. Rival adalah sempurna dengan ketampanannya yang luar biasa.” Aileen berbinar. Tangannya menggenggam tanganku sambil terpukau dengan bayangannya sendiri.

Bayangan Rival sudah menjamur dalam pikiran Aileen. Memangnya setampan apa Rival? Padahal menurutku Darren lebih keren. Rival tak lebih dari itu dan sejatinya dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah kuhadapi.

“Okey, dan kami semua iri padamu karena bisa sangat dekat dengan Rival. Kalau begitu, ayolah, ceritakan tentangnya lebih banyak lagi. Apa yang dia suka dan apa yang tidak disukainya? Apakah coklat, permen, nasi?”

Hah! Pertanyaan macam apa itu?! Kenapa aku harus menjawab pertanyaan tentang Rival? Aku muak. Aku yang sejak awal ingin belajar dengan damai malah harus terganggu dengan cerita Aileen yang menyebalkan.

“Aku tidak menyukai Rival. Jadi mana mungkin aku tahu segala tentangnya,” balasku sedemikian rupa. Kemudian mencoba beralih ke tempat duduk yang lain—tidak bersebelahan dengan Aileen, dengan alasan hanya karena ingin ceritanya lebih nyaman didengar. Alasan yang konyol, tapi Aileen tak menyadarinya.

Matanya masih terus berbinar. Dia terus saja berkhayal tentang Rival. Jadi sikap primadona kelas itu seperti ini ya?

“Iya, tampaknya kau memang tidak pandai soal hal ini, Casie. Maaf ya, sepertinya aku memang menyukai Rival. Dan aku yakin Rival juga menyukaiku,” lanjutnya kemudian.

“Eh?”

Aileen menyukai Rival? Dugaanku tidak salah. Tapi apa benar Rival memang menyukainya? Hanya karena pulpen karakter yang diterimanya kemarin, atau karena Aileen memang cantik?

Ah sudahlah! Untuk apa aku membahas hal ini dalam pikiranku. Lagipula aku juga tidak pandai soal ‘cinta’. Jadi mana mungkin aku mengerti. Bagiku Rival tetaplah Rival yang akan bersaing denganku di kelas sekaligus ‘kawan’—yang hanya seorang kawan.

Tapi kenapa, sih? Jantungku tiba-tiba ikut berdebar mendengar pengakuan Aileen tentang Rival. Dia memang cantik dan termasuk sebagai salah satu anak yang pintar di kelas. Tidak ada yang mustahil kalau mereka berdua akan saling menyukai.

Ukh! Kenapa jantungku berdegup lagi? Seolah tidak setuju dengan dugaan yang kubuat sendiri. Ya, tidak setuju jika Rival harus menyukai orang lain. Maksudku, aku pikir Rival tidak tertarik dengan hal ini. Aku pun ingin kami bersaing lebih serius saat kompetisi sesungguhnya yang datang tiga bulan lagi.

***

Oke, cukup! Siang ini aku telah menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia.

“Jadi bagaimana menurutmu, Casie? Apa aku harus memberinya sesuatu?” tanya Aileen lagi. Kini ia sedang mempersiapkan buku tulis dengan pulpen karakternya yang hendak digunakan untuk mencatat hal penting yang akan kukatakan.

Namun tidak ada yang penting.

“Menurutku, kau lebih baik berteriak di atap sekolah dan ucapkan apa yang kau mau.”

“Di atap sekolah? Kau yakin?”

Ya. Aku mengangguk. Dengan tawa menggelegar yang kusembunyikan dari balik senyum misteriusku.

“Baiklah. Aku akan serius mulai hari ini. Apa kau mau menemaniku, Casie?” Aileen memohon.

“Maksudmu sekarang? Kau mau melakukan hal itu?” Aileen mengangguk. Dia serius dan tidak main-main.

Ayolah. Aku hanya sedang bercanda tadi. Namun Aileen tak mau percaya kalau aku memang bercanda. Perutku tiba-tiba sakit karena menahan tawa menyenangkan ini. Dia memang aneh.

***

Lalu entah bagaimana akhirnya aku ikut dengan Aileen menuju atap sekolah. Jam istirahat lima menit lagi berakhir. Kami berlari di koridor meskipun itu dilarang. Namun Aileen tampak begitu girang. Dia menarik lenganku dan tak ingin melepasnya.

“Casie, cepatlah!” ujarnya.

Akhirnya, aku dan Aileen sampai di atap sekolah. Di sana masih ada beberapa anak yang sedang memakan isi bekalnya. Ada juga yang sedang belajar di bangku yang disediakan oleh sekolah.

Atap tersebut begitu luas. Ada pagar kawat yang sangat rapat—yang membatasi atap tersebut. Aileen berlari ke arah sana. Lalu tanpa berbasa-basi melompat dan meraih pegangan kawat tersebut.

“Aileen, berhati-hatilah!” Aku berlari panik mengejarnya.

“Hentikan! Aku hanya bercanda. Ini tidak serius, Aileen,” cegahku.

Gadis itu tetap menolak. Dia akan melakukannya sekarang juga. Oh tidak! Apa yang harus kulakukan?!

“Aku menyukai Rivaal! Aku ingin memberikannya pulpen karakter yang sama seperti punyaku!” teriak Aileen seketika. Angin kencang yang lewat membuat suaranya bergema sampai seantero sekolah.

Burung-burung seolah menjawab, mereka menjadi berisik. Terlebih pada beberapa anak yang berada di atap saat itu. Mereka melongo bersamaan denganku. Berpikir bahwa, “ternyata masih ada orang tidak waras yang melakukan hal kuno di sekolah ini.”

Tidak tahu kenapa aku yang merasa malu. Melihat kelakuan seorang primadona yang begitu aneh. Jadi, bagaimana pendapat kalian?

Ya. Lebih baik aku berlari meninggalkannya dan turun dari atap sesegera mungkin. Kubiarkan Aileen yang sedang mendapat pancaran sinar kebahagiaan di sana. Rival tidak akan datang, tahu!

Aku berlari ke arah pintu dan turun melalui tangga dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba ada seseorang yang lain dari arah bawah, sama tergesanya denganku. Kami bertabrakan. Sesuatu yang tidak sengaja dan sangat kebetulan. Orang itu adalah Rival.

“Rival? Mau apa kau pergi ke atap?”

“Aku merasa ada orang yang memanggilku barusan.”

Mataku terbelalak. Bagaimana mungkin?! Hal gila lainnya yang kulakukan kemudian adalah menarik tangannya dan membawanya turun. Aku tidak mau kalau Rival harus bertemu Aileen di sana. Itu akan membuat kami semua semakin menggila tidak jelas.

Jadi kukatakan saja kalau di luar sedang mendung. Lebih baik kujauhi atap dan kembali bersama Rival menuju kelas.

“Hei kawan! Ada apa denganmu?” selidik Rival. Suaranya menyelubungi relung hati serta rongga telingaku. Sehingga kata ‘kawan’ terus terngiang dalam benak dan pikiranku.

Ya!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel