Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Persiapan Lomba

Bab 12 Persiapan Lomba

Klub Berita bergerak cepat. Mereka akan selalu sigap dan bersemangat ketika menyambut ujian. Terlihat dari beberapa poster yang dibuat di tiap mading serta mikrofon sekolah yang terus menyuarakan semarak semangat belajar setiap pagi.

“Pagi, kawan! Hari ini tepat 10 hari menjelang ujian tengah semester. Semangat, kawan! Tidak ada hal yang lebih penting selain belajar dan belajar. Drrt-” ujar suara mikrofon sekolah yang diisi oleh anak laki-laki.

Aku berjalan tidak seperti anak yang lain. Jika kalian masuk ke dalam gerbang sekolah ini, kalian akan melihat begitu banyak—bahkan seluruh murid yang berjalan sambil membaca buku. Buku tersebut tak lepas dari genggaman mereka sampai tiba di kelas.

Ini adalah tradisi sekolah. Semua guru serta para pengawas sekolah tidak heran. Sekolah mewah ini memang dipenuhi dengan anak dari tuan bercuan tinggi ataupun keluarga mapan. Kecuali aku. Aku hanya anak dari kedua orang tua yang memiliki gaji cukup.

“Hidup para murid! Hidup belajar! Hip hip, semangat! Untuk para junior, berusahalah yang terbaik. Para senior kelas 2, tingkatkan prestasi kalian. Serta untuk para senior kelas 3, sambutlah ujian dengan wajah tersenyum sepanjang hari. Semoga kalian semua tidak menyerah. Drrt-”

Kurasa hal tersebut percuma. Mikrfon sekolah tak pernah didengar dengan baik oleh warga sekolahnya. Mereka hanya bercakap sendiri karena semua murid tak sekalipun mengalihkan pandangan dari buku mereka.

Ah ya, lalu kenapa aku tidak seperti mereka? Apakah aku merasa terlalu jenius sehingga tak mementingkan lagi belajar seperti mereka? Tidak mungkin! Kalian salah besar jika berpikir aku terlalu jenius.

Sesampainya di kelas, hal yang tak lain kulakukan adalah mengambil buku dan membacanya di bangku dengan tenang. Bagiku, membaca buku ketika berjalan sangatlah berbahaya. Okey, kalian mengerti apa prioritas yang harusnya lebih ada sebelum belajar, bukan?

Kantin mendadak menjadi sepi. Tak banyak yang duduk di sana. Hanya ada beberapa—sekitar satu pertiga dari biasanya. Ini sungguh rekor yang membuat para penjual sedikit lesu karena dagangan kemasannya tidak diborong habis.

“Baiklah, aku akan membeli roti gandum dan membawanya ke kelas. Setelah itu membeli sekotak jus apel di mesin penjual otomatis,” bisikku pada diri sendiri di depan pintu kantin.

Aileen tiba-tiba muncul dari belakang. Dia membuatku terkejut.

“Kau terlihat menyeramkan saat berbisik sendiri barusan,” ujar Aileen bergidik.

“Ah ya, maafkan aku. Aku memang sedang kelaparan.”

Kami berdua akhirnya masuk ke ruang kantin bersama. Aileen masih mendekap bukunya sampai saat ini. Sementara aku hanya membawa catatan kecil yang kusimpan di saku seragam. Aileen kemudian memesan sandwich dan kami memilih tempat duduk di dekat jendela kaca.

“Kau lihat mereka? Buku menjadi sesuatu yang penting mulai sekarang.” Aku membuka pembicaraan terlebih dulu agar suasana tidak menajdi kaku.

“Ingat tradisi. Para senior terdahulu adalah murid-murid paling rajin sepanjang sejarah. Karena itu mereka membuat rekor sekolah meningkat sebab nilai ujian yang rata-ratanya cukup tinggi.” Aileen memberitahuku setelah menelan roti sandwich-nya

“Salah satunya anak kepala sekolah. Dia sangat jenius,” tambahku.

Setelah habis menelan semua yang baru dibeli aku berdiri. Meregangkan kaki serta tangan.

“Casie, apa kau mau belajar bersamaku di perpustakaan?” ajak Aileen kemudian.

Aku pikir-pikir sepertinya tidak ada salahnya belajar dengan Aileen. Lagipula, perpustakaan adalah tempat yang begitu hening. Pasti lebih fokus nantinya.

***

Hening. Tidak ada suara berisik sedikit pun. Aileen tengah sibuk dengan bukunya dan aku sesekali mengambil buku di rak lalu kembali untuk membacanya.

Tidak sengaja saat tengah mengambil buku di rak, aku melihat seseorang yang lain di depanku. Di balik rak, dia mengambil buku yang letaknya bersandaran dengan buku yang kuambil. Rak tersebut jadi renggang dan kami bisa mengintip satu sama lain.

“Rival?”

“Casie?”

Di situ aku terdiam. Kenapa sih harus bertemu Rival? Dia selalu muncul tiba-tiba di depanku. Seperti saat berlari kemarin. Ah, itu masih memalukan meski dahiku sudah tidak lagi bengkak dan plester kecil yang menutupinya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Wajah Rival terlihat begitu jelas. Begitu dekat. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang. Seketika langsung kuberalih dari rak tersebut agar Rival tak melihat wajahku yang memanas.

Ini aneh. Aku tidak menyukainya sama sekali. Tapi kenapa aku merasa seperti ini?

“Huft, baiklah. Aku harus tetap bersikap egois di depannya agar Rival tidak suka berbicara lagi denganku,” batinku sambil mengelus dada mencoba menenangkan pikiran.

Lalu aku kembali. Wajah Rival masih ada di sana.

“Kau sendiri kenapa ada di sini, hu? Aku tentu saja sedang mencari buku untuk belajar!” jawabku ketus.

“Sstt! Kau terlalu berisik, Casie!” desis Rival. Ups! Kala itu, beberapa anak yang ada di sekitarku jadi menoleh dan merasa risih terhadap sikapku. Ya ampun, berapa kali aku harus menahan malu?

Semua gara-gara Rival. Dia kemudian pergi sambil terkekeh, membuatku kesal untuk beberapa kalinya. Aku kembali ke meja Aileen. Namun sudah ada Rival yang menempati tempat dudukku dengan buku matematika di tangannya.

“Hei, itu tempat dudukku. Aku sedang bersama Aileen tadi.” Tak ingin berbuat ricuh secara tak sengaja lagi, aku mendesis pelan dan mengecam Rival.

Rival yang duduk santai dengan kaki yang disilangkan hanya diam saja. Tidak menyahut. Sampai kemudian Aileen yang mengatakan kalau dia memang mengajak Rival untuk bergabung bersama mereka.

“Kau masih bisa duduk di sebelahku. Kemarilah.”

Apa-apaan?! Kenapa Rival bersikap seperti itu padaku? Ini tidak semudah yang kalian bayangkan, kawan. Dia berkata ingin aku duduk di sebelahnya? Sesungguhnya ini mimpi buruk. Rival sangat menyebalkan.

“Tidak. Casie masih bisa duduk di sebelahku.” Aileen menyahut sebelum aku akan menolak tawaran Rival barusan.

Untung saja Aileen yang melakukannya. Aku segera duduk di sebelah Aileen. Tapi Aileen seperti tidak memperhatikanku. Dia terus saja memperhatikan Rival yang sebenarnya tidak peduli dengannya. Ucapannya barusan memang terdengar dipaksa. Seperti ada suatu rasa yang dia sembunyikan padaku. Ataukah Rival?

***

“Cas, apa kau bisa menyelesaikan soal yang ini?” Rival membuyarkan keseriusanku ketika sedang membaca buku sejarah.

“Soal apa?”

“Tentu saja matematika. Apa lagi, memangnya?” Rival mendesis lagi. Bahunya diangkat. Buku di tangannya diserahkan padaku dan jari telunjuknya menunjukkan salah satu sisi yang harus kulihat.

“Bisa. Bukankah kau juga bisa menyelesaikannya sendiri?”

Rival memiringkan kepalanya. Dia terdiam kebingungan. Sudah jelas terlihat kalau dia hanya ingin menggangguku. Huh! Dasar otak tidak tahu diri!

Selang beberapa menit kemudian, Aileen yang bertanya pada Rival. Dia menunjukkan bukunya dan menyerahkan soal matematika pada Rival.

“Rival, bisa kau bantu aku untuk menyelesaikan ini?” Aileen mengucapkannya sembari tersenyum begitu panjang pada Rival. Agak aneh menurutku.

“Pakai penaku saja. Kau bisa menulis rincian jawabannya di sini.” Aileen menyerahkan pulpen berwarna biru dengan boneka karakter di ujungnya. Rival yang menerimanya tertawa renyah.

“Pulpen yang bagus, Aileen,” puji Rival yang membuat Aileen tersipu.

Rival kemudian menyelesaikan soal yang diberikan Aileen tadi. Diserahkannya buku tersebut pada Aileen. Tidak sengaja genggaman tangannya tergenggam oleh Aileen. Mereka berdua bertatapan sejenak.

Sungguh, itu pemandangan yang memuakkan. Kenapa Rival dan Aileen tak segera melepaskannya, sih? Di antara Aileen dan Rival, pasti ada sesuatu yang sudah terjadi. Ya! Aileen pasti terpesona dengan tatapan Rival yang mulai viral di kalangan adik kelas perempuan.

Aileen berhati-hatilah! Rival tak seperti yang kau bayangkan. Dia begitu menyebalkan.

“Eits, boleh aku pinjam sebentar, Aileen? Aku ingin memastikan jawabannya.” Aku menggenggam bagian tengah buku dan menariknya ke atas. Tangan Rival dan Aileen pun terlepas.

Aileen diam. Tatapannya masih tidak lepas dari Rival. Dia sudah terkena makan hasut!

“Casie, bisa kau kembalikan bukuku?”

“Ya. Jawabannya benar.” Aku menyerahkan kembali buku itu pada Aileen.

Saat itu Aileen langsung memeluk bukunya dan entah apa yang sedang ia pikirkan. Hal gila pasti terjadi. Rival adalah racun bagi para murid perempuan di sekolah ini. Semua orang terpesona dengannya, tapi tidak denganku.

“Baiklah, aku pergi dulu ya! Terima kasih Rival!”

Aileen berlari keluar dan meninggalkan kami berdua. Semu di wajahnya tak kusadari jika ia benar-benar menyukai Rival.

“Aku tak habis pikir jika dia punya pulpen seperti itu. Hahaha. Karakternya begitu lembut dan aku menyukainya,” lirih Rival.

“Apa maksudmu menyukainya?” Detak jantungku seolah berhenti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel