bab 2
Mobil hitam milik Erik berhenti didepan kostku. Aku sibuk mengelap pipiku yang masih basah.
"Habis ini lo mau kemana?" Tanya Erik.
"Tidur."
"Ya udah gw temenin."
Aku langsung menatapnya tajam. Bola mataku langsung berputar.
"Maksud gw, gw akan temenin lo ngobrol di depan kamar. Biar lo nggak seharian nangis sampai besok pagi mikirin orang yang lagi asik malam pertama." Jelasnya sambil menjitak kepalaku dengan jarinya. "Melotot nya udah lebih serem dari burung hantu!"
Aku melihat ke spion, terlihat mataku disana yang memang mirip burung hantu. Maskaraku luntur karna air mata.
"Aaa! hantu!"
"Hahahahh ...."
Kami berdua turun dari mobil. Berjalan menuju kamar kostku. Erik duduk diluar, aku masuk ganti baju dan cuci muka. Setelah selesai, aku keluar membawakannya secangkir godday favorite nya.
"Makasih ya." Ucapnya.
Lalu aku duduk dikursi sampingnya, terhalang sebuah meja kecil ditengahnya.
"Rik, kok elo nggak nyari cewek sih? Dengar-dengar anak magang yang namanya Sesil itu suka sama elo ya?"
Erik mengambil cangkir disampingnya dan meminumnya. "Ngegosip lo!"
"Eh, bener kan? Dia sering ngeliatin elo. Suka cari-cari perhatian gitu."
"Kok elo bisa tau?"
"Kata anak buah gw sih gitu." Aku nyengir. "Kenapa elo belum punya pacar sih?"
"Gw takut nantinya ditinggal nikah."
Aku tinju lengannya. "Sialan lo!" Aku langsung cemberut.
"Hahahah ... Nggak gitu. Gw cuma bercanda kok."
"Rik, Reno kenapa sih kok ninggalin gw? Dia nggak cerita sama elo ya?"
"Yakin pengen tau?"
"Iya lah. Setidaknya, gw tau kan alasannya ninggallin gw. Andai aja dia bilang kenapa dia pergi, mungkin sakitnya nggak akan seperti ini."
"Tapi elo jangan marah ya."
"Iya gw janji deh." Aku mengacungkan jari kelingkingku.
"Ok gw kasih tau." Erik menatapku. Menghela nafasnya. "Dia bilang, elo udah nggak ... Perawan. Terus dia kecewa."
DUuerr!
Serasa ada kembang api yang sedang menyala dikepalaku. Emosi. Tentu saja iya aku emosi.
Aku langsung menggenggam erat lengan Erik. "Bagaimana bisa dia bilang begitu??!! Jelas-jelas itu pertama kalinya!!" Aduh. Aku jadi keceplosankan. Aku mengacak-acak kelalaku. "Aaarrg! Sialan!" Aku menggigit lengan Erik.
"Aaa!!"
**
Seperginya Erik, aku menangis seharian bahkan mengurung diri didalam kamar sampai malam. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku tak tentu.
Bagaimana bisa dia bilang seperti itu? Itu pertama kalinya aku melakukannya. Aku menyerahkannya dengan mudah pada Reno. Dan dia bilang seperti itu, apa maksudnya?
Aku duduk ditepi ranjang. Kembali kuingat kejadian minggu itu. Saat aku melakukannya. Dia memakai alat pengaman itu didepanku. Lalu dia memaksaku dengan cintanya. Saat dia memasukkannya, aku merintih kesakitan. Bahkan tak henti-hentinya aku menangis karna sangat perih rasanya. Dan perih itu terasa sakit sampai senin pagipun masih terasa. Tapi memang tidak ada noda merah di atas sepraiku. Aku juga tidak tau kenapa selaput darahku tidak sobek saat itu.
Apa karna tidak ada noda merah itu? Pasti iya kan. Karna tidak ada noda selaput darah, jadi dia menganggapku tidak lagi perawan. Jahat sekali dia. Hanya mencari selaput darah, dan setelahnya pergi begitu saja. Bahkan dia tidak peduli dengan sakit yang dia goreskan.
Bukankah tanda perawan atau tidaknya bukan hanya dengan selaput darah yang pecah? Aku pernah baca, selaput darah bisa saja pecah karna terjatuh atau karna apalah itu. Jadi bisa saja saat pertama kali melakukan hubungan seperti itu, tidak lagi keluar darah. Hanya saja perih dan sakit dibagian selangkangan dan pangkal paha. Itu tanda-tanda gadis masih perawan.
Bodoh sekali dia! Aah aku yang bodoh. Kenapa aku bisa percaya dengan dia yang bodoh seperti itu. Aku harus menjelaskan semuanya.
Aku akan menelfonnya sekarang. Aku mengambil ponsel dan mulai kucari nomornya Reno. Aah pasti aku sudah gila. Ini kan malam pertamanya. Bagaimana bisa aku mengganggunya dengan menjelaskan keprawananku. Aku kembali merebahkan tubuhku di ranjang. Pikiranku tak bisa lepas dari Reno. Semua kenangan yang pernah kita ukir, semua berlarian dikepalaku. Air mataku terus menetes tanpa aba-aba. Aku ambil dompetku lalu keluar kamar.
"Mau kemana, Nov?" Tanya Lia yang sedang duduk didalam kamarnya, kebetulan pintu kamarnya tidak ditutup.
"Mau ke warung cari shampoo." Jawabku asal.
Aku melajukan motorku menuju warung terdekat.
"Mbak, beli rokok M****** mentol." Ucapku pada pemilik warung.
Setelah mendapatkannya lalu aku membayar dan pergi. Aku melajukan motorku kembali kekostku. Aku langsung naik kelantai dua, tempat jemuran baju. Sudah pasti disana akan sepi tak ada orang. Kunyalakan rokok ditanganku, mulai menghisapnya perlahan-lahan.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!."
Awalnya batuk-batuk. Tapi lama-lama aku menikmatinya. Setelah rokok pertama habis, aku menyalakan lagi yang kedua. Seperti itu seterusnya. Hingga aku habis rokok satu bungkus. Mulai terasa ngantuk. Lalu aku turun dan tidur. Agak sedikit bisa lupa dengan masalahku.
Aku merasa diriku sudah rusak. Aku tak lagi suci. Untuk apa aku menjaga baik-baik tubuhku ini. Aku tidur dengan mata yang tak henti meneteskan bulir-bulir bening.
**
"Nov, Nova! Nov." Teriakan dan ketukan pintu yang bersaman dari luar kamar membuat tidurku terganggu.
"Iya. Apa sih, Lia." Dengan malas aku berjalan untuk membuka pintu kamar.
"Ya hancur Nov, elo baru bangun?" Lia berdiri didepanku, dia sudah rapi dengan seragam kerjanya.
Terlihat aku dengan rambut singa dan masih sedikit merem.
"Gw mau minta bedak. Bedak gw habis. Belom sempet beli." Tanpa malu-malu dia langsung masuk kamarku dan mengambil sekotak make up diatas meja. Aku kembali merebahkan tubuhku diranjang. "Hey, lo mau masuk kerja nggak?"
"Masuk."
"Buruan mandi. Gw mau nebeng motor lo. Bensin gw habis."
"Beli dong."
"Belum gajian."
"Sama kan."
"Beda dong. Kalau lo patah hati, gw kan nggak."
Aku langsung melototinya sambil mengacungkan kepalan tanganku. Dia nyengir dan menutupi mukanya dengan kotak make up ku. "Dasar lo!"
**
Mengikuti brifing yang berlangsung selama 15 menit. Kali ini yang membrifing Pak Joni. Biasanya sih Reno pacarku itu, eh sekarang sudah menjadi mantan. Selama brifing, aku tak begitu mendengarkannya, aku malah mengingat saat Reno dulu yang mengisi brifingnya. Setelah 15 menit, aku turun kelantai bawah, karna aku sekarang bertugas dilantai bawah untuk mendampingi anak chacier yang magang.
Kerjaanku cukup simple, hanya mengawasi mereka saja. Tapi saat mereka melakukan kesalahan, aku lah yang kena imbasnya. Aku juga yang harus meminta maaf pada pelanggan.
Eeh, iya sampai lupa ya gaes, kenalkan namaku Nova Astria. Aku bekerja sebagai senior chacier disalah satu supermarket terbesar. Tempat kerjaku ini ada di kawasan mall kota.
Aku berdiri di bibir toko sambil memegang HT. Pikiranku terus saja memikirkan Reno. Ingin sekali aku menjelaskan semuanya. Memberitahunya bahwa aku masih perawan. Tapi bahkan itu tak penting lagi. Menyebalkan sekali.
"Nov, kirain nggak masuk. Gw cari diatas tadi." Ucap Erik yang sudah berdiri disampingku. Entah sejak kapan dia disampingku.
"Masuk lah, emang kenapa nggak masuk?"
"Maaf ya buat kemarin. Seharusnya gw nggak ngomong itu sama elo."
"Nggak papa, Rik. Gw biasa aja kok. Makasih ya, udah ngasih tau. Tangan elo gimana?" Aku lihat tangan Erik masih diperban. "Maaf ya, kemarin gw emosi."
"Iya santai aja."
Mataku tertuju pada seorang lelaki yang sangat sempurna. Dia memakai kaos putih dan dibalut kemeja lengan panjang warna biru muda. Kemeja itu sengaja tidak ia kancingkan. Itulah gayanya dia. Siapa lagi kalau bukan Reno. Hanya dia lelaki sempurna dimataku. Rambutnya yang masih sedikit basah, membuatku ingin menangis saat ini juga. Pasti dia habis malam pertamakan. Iiiihh menyebalkan sekali. Bahkan aku hanya bisa menatapnya saja. Selama 4 tahun ini aku menjaganya. Tapi dia finisnya sama wanita lain. Kejam sekali.
Dia melewatiku dan Erik. Bahkan dia hanya menepuk lengan Erik dan tersenyum pada Erik tanpa melihatku. Sepertinya dia benar-benar menganggapku tidak ada. Dia terus berjalan masuk ke toko. Aku terus mengawasinya, berharap dia akan menoleh ke arahku, melempar sedikit senyum. Tapi tidak. Dia menghilang diantara etalase.
Tak berapa lama, dia keluar dengan menenteng sebuah sendal warna pink muda. Sendal jepit biasa untuk wanita. Itu pasti untuk istrinya kan. Dia melakukan transaksi.
Aku jadi ingat saat kita liburan kepantai, dia membelikanku sandal jepit warna pink muda. Padahal dia tau aku sangat membenci warna itu. Tapi dia sengaja membelinya dengan alasan agar aku menjadi feminim. Terpaksa aku memakainya juga.
Setelah selesai transaksi, dia berjalan kearahku, dia melewatiku lagi. Tapi kali ini dihentikan oleh Erik.
"Cuma beli sendal aja, Ren." Sapa Erik.
"Iya istri gw lupa nggak bawa sandal. Padahal kita mau melakukan perjalanan jauh."
"Mau kemana? Bulan madu ya?" Pertanyaan Erik yang membuatku sangat tidak suka.
"Belum. Kita mau pulang kerumah mertua gw. Di kota XX."
"Emang lo cuti berapa hari?"
"Gw udah risegn, Rik. Tadi sekalian ngantar surat risegnnya."
"Jadi lo mau tinggal di XX? Pindah kerja disana juga?"
"Iya, Rik. Gw pamit ya." Ucapnya. Lalu mereka berpelukan.
Pasti bentar lagi dia akan memelukku juga kan? Ini kan perpisahan. Aku siap-siap, menyiapkan diri lebih tepatnya.
"Hati-hati ya, Ren. Jaga istri lo baik-baik."
"Pasti, Rik."
Sekarang Reno menatapku. Lalu mengulurkan tangannya. Kali ini aku melihat cincin emas putih yang dulu dia lihatkan padaku. Dia memakainya sekarang. Apa yang seharusnya dijariku, sekarang ada dijari istrinya? Dadaku mulai terasa sesak. Tapi aku berusaha menahan air mataku yang sudah tidak sabar untuk tumpah. Aku meraih tangannya.
"Maafin gw ya, Nov. Selamat tinggal." Hanya begitu. Iya hanya itu yang diucapkan. Lalu dia lepaskan tangannya. Dia menatapku cukup lama. Mungkin berharap aku akan mengatakan sesuatu. Tapi aku lebih memilih menggigit bibirku saja. Aku yakin, jika mulutku terbuka, air mataku juga akan turun membasahi pipiku.
Karna aku hanya diam tak mengucapkan apapun. Dia melambaikan tangan pada Erik dan berjalan menjauh. Aku hanya terpaku menatap punggungnya yang menghilang.
"Nih." Erik menyodorkan tissu kearahku.
Aku meraihnya dan menekan ujung mataku. Menggagalkannya agar tak merusak riasan wajahku.
"Baper banget sih lo."
**
Sepulang kerja, aku langsung mencari sendal pemberian Reno waktu itu. Sendal warna pink muda yang tidak pernah aku pakai. Aku membawanya kekamar mandi dan aku cuci hingga tak ada lagi debu dan kotoran yang menempel disana. Aku jemur di kost depan dekat pagar. Waktunya istirahat, aku duduk depan kamar kost sambil ngemil.
"Nov, ponsel lo ada sinyal nggak? Pinjem dong. Punya gw nggak ada sinyalnya nih." Ucap Lia sambil duduk dikursi sampingku.
"Ngomong aja kalau nggak punya kuota. Gitu aja pake muter-muter."
"Heheh ... kok tau sih lo." Dia nyengir kan. Emang udah biasa sih, Lia kaya' gitu. Tapi nggak papa, dia teman yang baik.
"Ambil tuh, diatas meja." Jawabku tanpa melihatnya.
"Tumben nggak lo pegang."
"Buat apa?"
"Eh, iya. Gw lupa. Lo kan jomblo." Aku langsung melototinya. Dia nyengir lagi dan bergegas masuk kekamarku.
Terlihat mobil hitam berhenti didepan kost. Si pemilik mobil membuka pintu dan turun. Erik, menatapku sambil tersenyum sok imut. Lalu dia berjalan menuju kamarku.
"Sendal siapa itu disana?" Tanyanya saat duduk disampingku.
"Punya gw."
"Tadi dibawa kabur anjing."
"Hah!!" Aku langsung berdiri celikukan mencari keberadaan anjing yang dimaksud Erik. "Mana anjingnya?"
"Udah lari, Nov."
Aku langsung berlari memeriksa sendal pink ku. Dan benar saja tinggal sebelah. Aku ambil sendal itu. Aku duduk di samping Erik sambil memeluk sendal itu.
"Yaela, Nov, sendal aja dipeluk. Gw peluk aja sini." Erik menelentangkan tangannya, siap untuk memelukku.
"Ini tuh sendal dari Reno. Orangnya udah diambil pelakor. Masak sendalnya juga diambil anjing sih. Hiks hiks hiks ...."