Passion Man
Malam harinya.
Kevin masih terus memandang takjub pada pemain hula-hoop di depannya, dia sungguh tidak mengerti bagaimana bisa seorang didepannya membuat benda itu berputar.
Risa mendengus kesal, Sean menutup telponnya begitu saja setelah dia bilang merindukan kamarnya, setidaknya pria itu harus mengucapkan sesuatu, jangan langsung mematikan begitu saja.
"Hei, siapa namamu?" tanya pemain hula hoop pada kevin pria itu mengulurkan tangannya.
"Kamu mau mencoba memainkan ini?"
Risa memberi isyarat dengan senyumannya, mengizinkan Kevin untuk menerima tawaran dari sang pemain hulahu, wajahnya mengangguk penuh senang.
"Bolehkah?"
"Tentu saja, ayo coba. Kamu bisa mendapatkan hadiah jika berhasil mempertahankannya selama satu menit." pemain hula hoop itu memberikan Kevin hula-hoop berukuran lebih kecil dari miliknya.
"Benarlah?" wajahnya memancarkan kebahagian, seakan dia begitu menanti hadiah apa yang akan dia dapatkan.
"Tentu, kamu bisa mencoba yang ukuran kecil." ucap sang pemilik hula-hoop, dia membantu kevin memakainya dengan benar.
Risa hanya tertawa ringan saat wajah Kevin kebingungan, anak itu terlihat menggemaskan dengan keingintahuan dalam menggerakkan hula-hoop, Risa jelas sudah tahu jika bermain hulahup membutuhkan keseimbangan tubuh yang cukup baik, dan untuk pemula butuh beberapa hari latihan agar lancar.
"Lihat aku bisa!" Kevin berteriak dengan keras mungkin kurang dari dua puluh detik hula-hoop itu sudah terjatuh lagi ke tanah.
Bibir Risa tersenyum melihat Kevin yang terus mencoba meski hula-hoop hanya bertahan sekitar 20 detik berputar di perutnya.
"Ibu ayo coba!" Kevin menarik lengan Risa, pemain hula hoop itu dengan cepat memberi Risa hula-hoop ukuran besar.
"Baiklah, lihat Ibu ya."
Risa mulai memutarkan hula-hoop di pinggang rampingnya, membuat gerakkan yang bisa membuat para pria menatapnya dengan penasaran, gadis itu tanpa merasa risih membuat gerakan memutar pinggangnya, membuat beberapa orang menatap dirinya.
"Ibu hebat." puji Kevin penuh kekaguman saat Risa selesai memainkan hula hoop-nya.
"Kevin juga hebat, lebih baik daripada Ibu."
Risa ber-high five ria dengan Kevin Dan saat matanya menatap sosok yang tengah berdiri disana memandangnya dengan tatapan sensualnya. Risa membeku, tanpa sadar dia menggigit pelan bibir bawahnya karena gugup.
'Bagaimana bisa? Tunggu Sean ada disini? Sejak kapan?
"Ayah!" Kevin berlari ke arah Sean yang menyambutnya dengan rentangan tangan yang lebar siap untuk mengangkatnya, dengan mudahnya Sean mengangkat tubuh Kevin, menggendong Kevin bukan hal sulit untuk pria besar seukuran Sean.
"Bagaimana Ayah bisa tahu aku dan Ibu disini?"
Apa yang pria itu lakukan disini? Dan kenapa pula Grew Sean terlihat lebih tampan dengan pakaian kasualnya, pria itu memakai jeans berwarna coklat dengan kaos berwarna biru dengan cardigan tipis berwarna putih.
Pria itu bahkan lebih terlihat seperti laki-laki berusia 20 tahun dibandingkan dengan pria berusia 27 tahun dan juga memiliki anak.
"Tadi Ibu menelpon Ayah, dia meminta Ayah untuk menjemput kalian."
Sean melirik kearah Risa yang masih memajang wajah datarnya, meskipun ada rona merah yang menghiasi pipinya terlihat begitu jelas.
"Jadi masih mau bermain atau pulang?"
"main—,"
"Tidak." tolak Risa, ini sudah cukup malam dan besok Kevin harus sekolah.
"Besok kamu harus sekolah Kevin, bukankah Kevin sudah janji tadi hanya sebentar, kita bisa berkunjung lagi kesini nanti saat kamu libur sekolah, oke sayang?"
Kevin mengangguk pelan, Risa mengusap pipi Kevin pelan mencoba memberi pengertian pada Kevin, bahwa masih banyak waktu untuk mengunjungi pasar malam.
"Ibu hanya tidak ingin Kevin kelelahan, bukankah Kevin tidak ingin melewatkan sekolah besok untuk mengumpulkan kerajinanmu besok?"
"Ibu benar ayo kita pulang. Kevin sudah mengantuk."
Sean menggendong Kevin sampai di apartemen Risa, putranya tertidur saat perjalanan pulang. dia memarkirkan mobilnya di apartemen Risa, lagipula jaraknya memang tidak terlalu jauh dari pasar malam.
Risa sedikit jengkel ketika Sean mengatakan dia akan menginap di apartemennya, bukankah sama saja dia bohong, dia menginap disini untuk menghindari Sean, tapi sepertinya sia-sia jika pada akhirnya tanpa diduga pria itu muncul di hadapannya.
"Kamu bisa menidurkan Kevin di kamarku, dan kamu bisa tidur di kamar Keira atau di ruang tamu."
Risa membiarkan Kevin tidur di atas ranjangnya, dia bisa tidur bersama Kevin, sementara Sean bisa tidur dikamar Asyla nantinya, dia tidak ingin berbagi kamar dengannya, dia takut jantungnya kembali berdetak kencang.
"Aku lapar." ucap Sean, dia melirik Risa yang mengerutkan keningnya, gadis itu menghentikan langkahnya saat berniat menuju ke kamar Asyla.
Bukankah di rumahnya ada banyak pembantu yang sudah menyiapkan berbagai makanan, kenapa pria ini tidak makan di rumah atau paling tidak menghampiri restoran jika memang dia begitu lapar.
"Aku tidak makan dulu saat pulang, aku langsung bergegas kemari, saat kau mengatakan akan menginap di apartemenmu" ucap Sean, dia berkata seolah dia bisa membaca kebingungan diwajah Risa.
"Hanya ada sup ayam, jika kamu mau aku bisa membuatkan ramen untuk tambahannya." tawar Risa, dia mulai merasa tidak nyaman. Pembicaraan yang terasa berbeda.
Sean hanya mengangguk.
"Risa—," suara Lian kali ini terdengar lebih serak kali ini.
"kamu tahu?"
'Tahu apa?'
Risa merasa pria di depannya kini melangkah mendekatinya, Tatapannya Sean seperti sudah mengunci pergerakan Risa, dia bahkan tak bisa menggerakkan kakinya untuk kembali melangkah.
"Kamu membuatku bergairah saat bermain hula-hoop tadi." entah bagaimana caranya jarak Sean dan Risa sudah sangat dekat, bahkan pria itu kini mulai melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
"Jangan lakukan hal seperti itu lagi." bisik Sean penuh penekanan, tubuh tegapnya yang tinggi itu sedikit menunduk agar bisa leluasa mencium aroma lavender yang berasal dari tubuh Risa.
"Apa—yang—tak—boleh, ku—lakukan lagi?"
Risa terlihat bingung dengan pertanyaan Sean, tubuhnya menegang, untuk kedua kalinya Sean memeluk tubuhnya begitu erat, hampir membuat syaraf-syaraf tubuh Risa kaku karena efek tegang yang begitu terasa.
"Membuatku gairah."
Sean meniup berulang kali helai rambut Risa, matanya menatap mata Risa, bibir gadis itu sedikit terbuka mungkin efek terkejut karena perkataannya.
Ibu jarinya yang besar menyentuh pelan pipi Risa yang bersemu merah, perlahan tapi pasti jarinya itu merayap ke bibir Risa, menekan bibir bawahnya membuat Risa memejamkan kelopak matanya dengan begitu erat.
Risa sebisa mungkin tidak mengerang ketika nafas hangat Sean menerpa tubuhnya.
"Kalau aku melakukannya lagi? Apa yang akan terjadi?"
Risa membuka matanya, memberanikan diri menatap Sean seolah-olah dia sedang menantang pria itu, walau sebenarnya dia hanya penasaran dengan reaksi Sean.
"Coba saja lakukan lagi." Sean mengecup pelan bibir Risa, dan melepaskan detik berikutnya.
"Dan kamu akan tahu akibatnya, saat aku tidak bisa menahan gairahku."
Risa tahu itu bukan sekadar ancaman, Apapun itu terdengar seperti hal yang buruk untuknya, lagi pula Risa mana tahu hal apa yang tidak boleh dia lakukan agar seorang Grew Sean tidak bergairah padanya, dan sekarang ketika Sean melarangnya, bolehkah Risa melarangnya Sean untuk tidak menciummnya sembarangan, ini tidak baik untuk kinerja jantungnya.
"Dan kamu tidak boleh menciumku semaumu seperti itu." Akhirnya Risa bisa menyuarakan isi hatinya, pria di depannya terkekeh ringan membuat Risa bingung menatapnya.
"Kamu sebut itu ciuman?" tanya Sean. Tatapan begitu menekan setiap melihat pergerakan gadis itu.
"Tentu saja, kamu sudah menciumku dua kali!"
Risa kembali menggigit bibirnya bawahnya, wajahnya semakin merah mengingat ciuman yang pernah dia lakukan, bukan! Yang pria itu lakukan padanya.
"Itu bukan sebuah ciuman Risa." Sean mengusap wajahnya kembali.
"Dasar kelinci bodoh!"
"Sudah aku bilang jangan memanggilku, kelinci bo—,"
Risa tidak mampu melanjutkan perkataannya sesuatu tengah menghentikan ucapannya, bibir Sean kini sedang menari indah diatas bibirnya, pria itu menggigit pelan setiap senti bibir Risa, tangannya memeluk erat tubuh Risa ketika ciuman semakin dalam.
Rasanya manis, mungkin bibir Risa bisa menjadi candu untuk Sean, bukan pilihan baik memang jika Sean bisa menahan hasratnya hingga Risa tidak berakhir diatas ranjang tanpa sehelai benangpun, tangan Risa melingkar di leher Sean untuk menahan tubuhnya agar tidak jauh.
Hidung mereka bersentuhan, nafas keduanya tengah seperti baru selesai berlari maraton yang membuat mereka kekurangan pasokan udara.
"Ini baru namanya ciuman." Sean mengecup ujung hidung Risa.
"jika hanya menempelkan bibir saja, itu hanya kecupan, kelinci bodoh!"
Risa menyusupkan lehernya di perpotongan leher Sean, dia terlalu malu hanya untuk sekedar menanggapi ucapan Sean.
"Aku akan dengan senang hati mengajarimu hal lain, jika kamu mau mempelajarinya." bisik Sean dengan nada penuh kenakalan dan membuat tubuh Risa menegang, sepertinya malam ini dia tidak bisa tidur nyenyak.
Bahkan Sean melupakan makan malamnya dan lebih memilih untuk memandangi wajah Risa yang merona.
Helaan nafas itu saling beradu, bertukar oksigen hembusan demi hembusan, Risa masih tidak mengerti.
kenapa dia bisa begitu dengan mudahnya jatuh pada Sean?
Apa karena pesona Sean yang begitu kuatkah?
Atau Risa yang lemah?
Hatinya sudah terlalu mendambakan pria itu, sudah berapa lama Risa tak menjalin hubungan pacaran. Dia bahkan tidak mengingat sejak kali pertama dia berpacaran, Risa tidak pernah mau mencoba lagi, dia takut pada kegagalan yang menyapanya, tapi Sean dengan mudahnya mengirim getaran hangat di hatinya.
Gairah ingin bercintanya melambung tinggi saat dia sedang bersama Sean. Oh Risa, kamu bahkan harus menguatkan dirimu untuk tidak terlihat bodoh di depan Sean.
"Kamu akan pergi bersama Mira?" tanya Risa, bibirnya bengkak nyaris berdarah, Sean terlalu kuat menciumanya.
"Kemana?" Suara Sean terdengar lebih berat kali ini, bibirnya masih menempel di atas pipinya Risa, keduanya masih berdiri di ruang tengah.
"Resepsi pernikahan Tuan Karan." jelas Risa, dia mencoba tidak mendesah saat Sean mencium sudut-sudut lehernya, lengan kekar Sean semakin memeluknya sangat erat, tidak membiarkan Risa bergerak sedikitpun.
"Aku belum memikirkannya." jawaban Sean menggantung di udara.
Hening rasa canggung menyeruak membingkai rasa gugup di hati Risa, apa yang harus dia lakukan sekarang? Risa tidak menyukai ini, dia tidak suka terlihat begitu mudah jatuh dalam pelukan Sean.
"Ini tidak seharusnya terjadi, ini semua salah!" Risa mencoba melepaskan pelukan Sean, meski sedikit sulit tapi akhirnya dia bisa melepaskannya.
"kamu dan aku, kita tidak seharusnya seperti ini—," Risa menatap Sean, mencoba menjelaskan ucapannya begitu melihat raut kebingungan terlihat di wajah Sean.
"hm—maksudku, aku—,"
"Hubungan kita, kurasa kita sudah melewati batas yang kita sepakati, dan aku mohon padamu berhenti menebar pesona seperti aku seorang gadis yang mendambakanmu!"
Meskipun sudah menarik nafas-nafas dalam entah mengapa paru-parunya masih terasa sesak, Risa lebih memilih meninggalkan pria itu, tapi sebelum Risa menyentuh handle pintu kamarnya, Sean sudah menghimpit tubuhnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu!" Sean menatap tajam Risa yang menciut di bawah kungkungan tubuhnya.
"Menebar pesona? gadis mendamba?"
Sebelas alis Sean terangkat, yang benar saja, apa gadis di depannya sedang mengira bahwa Sean menebar pesona untuk menggodanya.
"Aku tidak melakukan itu, itu reaksi alami seorang pria ketika ada sesuatu yang membuatnya gairah."
Bibir Risa tertutup rapat, sebenarnya apa permasalahannya dengan Sean?
Batas, ada batas yang tidak boleh dilawati, kenyataan mengingatkannya dia hanya seorang gadis yang diminati pertolongan oleh Sean, dan tidak boleh berharap lebih hanya arena Sean menciumnya dua kali.
"Aku ingin tidur, aku lelah Sean." Risa menundukan kepalanya dia tidak mau berdebat dengannya.
Setelah ini Risa harus menjaga sifatnya, dia harus menjaga hatinya agar tidak mudah jatuh cinta pada Sean, dan pada akhirnya dia akan terluka.
