Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 : Synantó

Dan inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh mahasiswi fakultas psikologi—kecuali Ranya. Mereka sudah sampai di hutan, tempat mereka akan mengadakan camping selama 3 hari 2 malam itu. Langit sudah mulai menggelap, tanda malam akan tiba. Semuanya sibuk mendirikan tenda termasuk Ranya. Gadis itu tampak kesusahan mendirikan tenda sendirian. Sementara teman setendanya malah bersantai-santai sambil berfoto ria. Ranya menghela napas lelah.

"Woi, miskin!"

Ranya menghentikan aktifitasnya. Ia berbalik dan menatap Audrey bersama dua dayangnya berdiri tegap dengan wajah angkuhnya.

"Kau disuruh Kak Silvia mencari kayu bakar untuk api unggun nanti malam."

Ranya mengernyit. Kenapa Kak Silvia bisa mendadak menyuruhnya? Bahkan ia tidak mengenal orang itu. Ia menatap Audrey curiga. Takut ini adalah jebakan dari cewek itu.

"Apa? Kau tidak percaya denganku?"

"Bukan sep--"

"Ah sudah lah! Pokoknya aku sudah menyampaikan. Terserahmu mau percaya atau tidak. Aku tidak tanggung jawab ya, jika kau dihukum olehnya."

Ranya menatap punggung Audrey yang mulai menjauh dari pandangannya. Ia menggaruk tengkuknya bingung. Di satu sisi, ia takut dihukum. Tetapi di satu sisi lagi, ia juga takut itu semua hanyalah akal-akalan dari Audrey saja.

"Biar aku temani."

Ranya tersentak kaget melihat seorang lelaki berdiri di depannya tiba-tiba. Ia memicingkan matanya, merasa familiar dengan lelaki itu. Apa mereka pernah bertemu? Tetapi di mana?

"Kenalkan namaku Faro Hermes."

Ranya membulatkan matanya. Faro Hermes, seniornya yang sudah semester 7 itu? Ya Tuhan, Ranya langsung menjauhkan tubuhnya dari pria itu. Bukannya apa, Faro adalah laki-laki paling populer di Brown University. Dan jika ada yang melihat dirinya dekat bahkan berbicara dengan Faro, maka tamatlah dia.

"Ada apa? Apa wajahku seseram itu?"

"Ah tidak. Hanya ... hanya ...."

Faro terkekeh. "Lupakan. Jadi kau mau kutemani atau tidak?"

"Temani apa?" tanya Ranya bingung seraya menatap kanan kiri waspada.

"Mencari kayu bakar."

"Tidak usah. Aku bisa sendiri," tolak Ranya halus.

"Kau yakin?" Faro menyipitkan matanya, "Seorang gadis masuk ke dalam hutan sendirian?"

"Bagaimana kau bisa seyakin itu dirinya masih gadis?" celetuk seseorang.

Mata Ranya membulat sempurna. Tamatlah sudah. Audrey berdiri di belakangnya dengan seringai menyeramkan. Bukan rahasia lagi kalau Audrey menyukai Faro sejak satu bulan yang lalu. Dan bukan rahasia lagi, Audrey akan menghabisi setiap perempuan yang berbicara dengan Faro.

"Mati lah aku,” gumam Ranya memutuskan untuk pasrah.

"Maksudmu apa, Audrey?" Faro menatap cewek itu tak suka.

"Maksudku, menapa kau bisa begitu yakin kalau dia masih perawan? Dia itu gadis miskin, Faro! Bisa saja dia menjual diri demi ua--"

"CUKUP, AUDREY! Kau kelewatan!" bentak Faro, ia menghela napas gusar, "Sebaiknya kita pergi mencari kayu sekarang sebelum langit tambah gelap," ujarnya lalu menarik tangan Ranya.

Baru beberapa langkah, Audrey menghadang mereka. "Aku ikut!"

"Untuk apa? Tidak usah!" tolak Faro.

"Siapa yang bisa menjamin sepasang laki-laki dan perempuan yang masuk ke dalam hutan berduaan, tidak melakukan hal-hal aneh?"

"Kau benar-benar ...," geram Faro, "terserah!"

Audrey bersorak girang lalu memeluk lengan Faro. Cowok itu tampak menepisnya beberapa kali sebelum pasrah dengan tingkah agresif Audrey. Sementara Ranya hanya dapat diam, jika tidak ingin diterkam singa betina.

***

Ranya tampak kesusahan membawa kayu bakar yang sangat banyak di pelukannya. Ia melirik sinis Audrey yang malah mesra-mesraan bersama Faro. Sama sekali tidak membantu! Sementara Faro terus berusaha menarik paksa lengannya. Dirinya sangat ingin membantu Ranya, tetapi nenek sihir di sebelahnya ini sangat kuat.

"Sepertinya sudah cukup. Ayo kembali, langit sudah sangat gelap." Ranya memandang langit-langit yang mulai dipenuhi bintang itu.

Faro mengangguk setuju. Mereka berbalik, hendak kembali ke tempat mereka mendirikan tenda sebelum sebuah geraman mengerikan terdengar. Audrey berbalik secara perlahan lalu berteriak, "ANJING!!!!"

Audrey melepaskan pelukannya pada lengan Faro dan berlari sekencang mungkin. Sementara Ranya terdiam mematung melihat seekor hewan yang sangat besar menatap dirinya dan Faro dengan tatapan lapar.

"Aku hitung sampai tiga. Lari dan jangan menoleh ke belakang. Paham?"

Ranya mengangguk.

"Satu ... dua ... ti--ga! Lari!"

Ranya berlari sekuat tenaga. Tetapi pada dasarnya kakinya pendek dan lamban, ia tertinggal dari Faro yang sudah berlari jauh darinya. Fokusnya hanya berlari. Ia tidak peduli dengan sekitarnya. Ia tidak peduli ke arah mana ia berlari. Ranya semakin mempercepat langkahnya ketika mendengar lolongan hewan itu yang makin dekat, hingga ia kehilangan fokusnya dan tersandung oleh sebuah batu yang cukup besar.

"Sial!" umpatnya.

Ok, good! Sekarang ia akan mati dicabik-cabik oleh hewan buas di hadapannya. Tanpa ia sadari, setetes air mata mulai mengalir di pipinya. Mengapa hidupnya semenyedihkan ini? Belum cukup disiksa, kini ia akan mati dengan mengenaskan.

Hewan buas itu berjalan menghampirinya. Ranya baru menyadari bahwa hewan yang mirip seperti anjing itu memiliki ukuran yang lebih besar bahkan berkali lipat lebih besar dari kawanannya. Sial, sepertinya ia adalah pemimpin dari kumpulan hewan buas ini.

Ranya menyeret tubuhnya mundur hingga punggungnya membentur pohon. Ya Tuhan, hilang sudah kesempatannya untuk kabur. Ranya memejamkan matanya erat-erat ketika hewan itu makin dekat dengannya. Pasrah akan apa yang terjadi. Toh, jika ia hidup juga terus mendapat siksaan. Jadi untuk apa ia hidup?

Berbanding terbalik dengan bayangannya. Ranya justru merasakan jilatan-jilatan geli di kakinya. Ranya melotot

kaget melihat kakinya yang penuh goresan besar dan bersimbah darah. Ia meringis pelan ketika merasakan perih yang teramat pada bagian kakinya. Perihnya baru terasa ketika ia menyadari keberadaan luka itu. Ia menatap luka itu lekat, berusaha mengingat di mana ia mendapat luka itu. Ia mengalihkan matanya pada hewan itu, apakah hewan itu baru saja menggigitnya? Tapi ia tidak merasakan sakit, justru geli.

Ranya menatap hewan buas itu yang juga menatapnya lekat. Ranya baru menyadari hewan itu sangat teramat besar, ia memiliki bulu abu-abu yang indah. Hanya sekali lihat saja, Ranya dapat menebak bulu itu akan sangat lembut dan halus jika dielus. Jangan lupakan bola mata hewan itu yang sangat indah dan jernih. Entahlah ... Ranya juga tidak mengetahui warna bola mata itu. Ia belum pernah melihatnya.

Tunggu sebentar! Ranya merasa seperti pernah mengalami kejadian ini. Ranya mengerutkan dahinya ketika tiba-tiba merasakan pusing yang teramat sakit di kepalanya. Perlahan kesadarannya mulai menghilang. Sebelum kegelapan benar-benar menjemputnya, samar-samar ia mendengar lirihan seseorang.

"Mate."

***

Ranya POV*

Aku mengernyit kecil mendengar suara sesuatu dibanting kencang. Aku membuka mata perlahan. Lagi-lagi aku mengernyit. Di mana ini? Ruangan penuh barang antik yang terlihat kuno. Ruangan ini tampak asing. Sebentar ... aku melototkan mata ketika sesuatu terlintas di benak. Aku mengangkat selimut dengan cepat. Aku menghela napas lega melihat pakaianku masih lengkap. Lalu, di mana aku? Aku menaikkan sebelah alis, menatap tanganku yang tertancap infus.

"Kau sudah bangun?"

Aku tersentak kaget, tidak menyadari ada seorang laki-laki yang ternyata dari tadi duduk di sebelah ranjangku. Lelaki itu tampak sangat muda, bahkan sepertinya lebih muda dariku. Dan ehm ... lelaki itu tampan. Aku belum pernah melihat lelaki yang lebih tampan darinya, walau terlihat seperti bocah.

"KAKAK!!" Tiba-tiba lelaki itu berteriak kencang. Benar-benar seperti bocah. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Tanpa kusadari, mulutku menganga lebar. Astaga, aku meralat kata-kataku tadi. Lelaki yang baru saja masuk jauh berkali lipat lebih tampan dari bocah di sebelahku ini.

Mata birunya sangat tajam, hidung mancungnya yang berbanding terbalik dengan hidung pesekku, kemudian rahangnya yang membuatnya terlihat tegas, ditambah lagi bibir seksi yang sangat menggoda iman. Gila, apa yang baru saja kupikirkan? Sadarlah, Ranya! Sekarang kau bahkan tidak tahu sedang berada dalam situasi aman atau bukan. Bagaimana kalau ternyata kedua lelaki itu memiliki niat jahat seperti ingin memperkosaku? Eh sebentar ... walau berat mengatakannya, tapi tubuhku sebenarnya tidak terlalu menggoda untuk diperkosa.

"Jangan melamun!" Aku tersentak kecil mendengar teguran dari bocah kecil di sebelahku. Aku hanya tersenyum kaku. Sebenarnya aku sangat bingung dengan situasi sekarang ini.

Awalnya aku disuruh mencari kayu bakar, kemudian segerombolan binatang buas datang, dan kini aku berakhir di sini. Jadi pertanyaannya ... siapa orang-orang di hadapanku ini?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel