MBV 6
Seorang pria duduk di belakang stir kemudi, tengah berbicara dengan seseorang dari seberang panggilan.
"Bagaimana?"
"Aku hampir menabraknya, tapi entah bagaimana cara menghindar. Tiba-tiba sebuah bayangan tampak melintas dan gadis itu menghilang dari pandangan." Pria yang ada di mobil bicara dengan sedikit nada panik.
"Apa? Apa kamu menyetir sambil mabuk, sampai-sampai menyangka kalau orang sudah di depan mata hilang begitu saja, hah?!"
"Aku berani bersumpah, gadis itu menghilang dari jalanan. Aku merasa ada yang aneh, lebih baik tidak berurusan lagi denganmu. Akan aku kembalikan uang yang sudah kamu kirim!"
-
-
Pria yang sengaja ingin menabrak Annabele, baru saja keluar dari klub setelah mabuk. Pria itu masih tidak percaya dengan yang dilihatnya sore tadi, hal yang tak masuk akal dicerna oleh pikiran orang biasa.
"Aku bilang dia hilang, tapi tidak ada yang percaya. Apa aku ini tampak seperti pembohong, hah! Kurang ajar, kenapa aku harus mendapat pekerjaan gila seperti ini? Dia bukan gadis biasa. Ya, aku yakin dia bukan gadis biasa." Pria itu terus meracau, melangkah dengan sedikit gontai menuju parkiran mobil.
Saat akan membuka pintu mobil, tangan pria itu dicekal oleh seseorang lantas ditarik dan punggungnya membentur tembok.
"Aghh!" pekik pria itu.
Baru ingin melihat siapa yang menyeret dan mendorongnya, pria itu terkejut karena lehernya tercekik, bahkan tubuhnya terangkat hingga kakinya tidak menyentuh tanah.
"Si-siapa ka-mu?" Pria itu bicara dengan menahan sakit karena tekanan jari yang begitu kuat di leher, terasa menusuk sampai membuatnya susah bernapas. Kedua kaki di gerakkan untuk menggapai tanah tapi tak bisa.
Pria itu melihat sepasang bola mata berwarna gold, wajah beringas yang terlihat menyeramkan, tatapan mata itu seperti hewan buas yang siap menerkam dirinya.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Ap-pa mak-sud-mu?" tanya pria itu dengan kedua tangan memegang pergelangan tangan yang mencekik, ingin rasanya melepas karena lehernya terasa sakit.
"Siapa yang menyuruhmu menabrak seorang gadis sore tadi?" Suara itu terdengar tenang tapi juga mengintimidasi.
"Di-dia--"
-
-
Annabele pulang naik bus sendirian untuk sampai di rumahnya, itu karena rumah Sam beda arah dengannya. Annabele menyandarkan kepala di jendela, tatapannya tertuju pada aspal jalanan.
"Sejak malam aku mengira kalau jatuh, kenapa semakin banyak hal aneh yang aku rasakan? Seseorang di dalam kamarku, aku yang terhindar dari tabrakan mobil. Lalu dia, kenapa jika itu mimpi, aroma tubuh, dekapan, dan juga tatapan matanya nyata."
Annabele bicara dalam hati, terus melamun melihat ke arah luar jendela dengan pikiran yang menerawang jauh.
"Apa sebenarnya itu bukan mimpi? Benar-benar bukan mimpi? Dia nyata dan apakah itu berarti--" Annabele berhenti bicara dalam pikiran.
Ia menegakkan kepala, melihat siapa yang baru saja naik ke bus yang ditumpanginya.
"Dia?"
Cristian melihat Annabele yang duduk menatap ke arahnya, pria itu langsung duduk di sebelah Annabele.
Annabele menatap Cristian dari waktu masuk bus dan duduk di sebelahnya, tidak mengerti kenapa seorang CEO seperti Cristian naik bus. Namun, Annabele tak berani bertanya, memilih menggeser sedikit posisi duduk agar tidak terlalu rapat.
Cristian duduk tanpa menoleh Annabele, mereka hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun sampai bus itu kembali melaju.
Annabele merasa kikuk, bahkan tidak bisa duduk dengan nyaman, ada yang mengganjal di hati tapi jelas tak bisa diungkapkan.
"Te-terima kasih, karena tadi sudah menolongku. Maaf tadi tidak sempat mengucapkan karena begitu syok," ucap Annabele mencoba mengurai kecanggungan.
Cristian menoleh ketika mendengar ucapan Annabele, membuat manik mata mereka kembali bertemu.
"Bola matanya, kenapa berubah lagi?" tanya Annabele dalam hati. Ia masih menatap dua bola mata Cristian secara bergantian.
"Tidak apa-apa, untung kamu tidak terluka," kata Cristian dengan lengkungan kecil di bibir.
Annabele melihat senyum manis di wajah Cristian, membuatnya sampai bingung harus berkata apa.
"Ah, ya. Berkat Anda, saya tidak terluka." Annabele akhirnya mengalihkan tatapan ke arah luar jendela, entah kenapa menjadi merasa gugup saat bertatapan serta melihat senyuman pria itu.
"Cristian." Cristian mengulurkan tangan, hendak menjabat tangan Annabele.
Ananbele cukup terkejut melihat uluran tnagan Cristian, sampai menatap telapak tangan dan kemudian menatap wajah pria itu.
"Anna, Annabele." Annabele membalas uluran tangan Cristian.
Sejenak tangan mereka saling menggenggam, manik mata mereka saling tatap, seakan dunia terasa berhenti sesaat ketika mereka saling melihat.
"Tangannya sedingin es, tatapannya sehangat sinar matahari, dan senyumnya terlihat begitu memikat."
-
-
Annabele sudah sampai di halte tempat seharusnya turun. Namun, ia merasa bingung karena Cristian juga turun di halte yang sama.
"Apa rumah Anda di sekitar sini?" tanya Annabele.
Mereka sudah berdiri di depan halte, Annabele menatap Cristian yang berdiri di hadapannya.
"Tidak," jawab Cristian.
"Lalu, kenapa Anda turun di sini?" tanya Annabele yang keheranan, gadis itu sampai memutar jari di udara.
"Karena ingin mengantarmu," jawab Cristian lagi.
"Ah, kenapa Anda ingin mengantar saya?" tanya Annabele lagi, merasa canggung jika CEO-nya itu mengantar, terlebih mereka baru saja kenal.
"Karena tidak aman jika seorang gadis pulang sendirian malam-malam," jawab Cristian lagi, tatapannya tidak teralihkan dari wajah Annabele.
"Tapi, aku sudah biasa pulang sendiri," kata Annabele sampai menggaruk kecil belakang telinga.
"Tapi aku mau mengantarmu," kekeh Cristian.
"Ah, itu--. Kenapa Anda mau mengantarku?" Annabele mengulang pertanyaannya.
"Kamu ternyata bawel juga." Cristian langsung berjalan terlebih dahulu, satu telapak tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Eh, dari mana dia tahu arah rumahku?" tanya Annabele pada diri sendiri, hingga akhirnya memilih menyusul Cristian.
Jarak rumah Annabele dengan halte berjarak sekitar 300 meter, mereka berjalan beriringan di bawah rimbunnya pepohonan yang terdapat di sisi jalan.
"Kenapa Anda bisa naik bus, biasanya naik mobil?" tanya Annabele melirik sekilas pada Cristian, tak berani menatap lama wajah pria itu.
"Mobilku mogok, lalu aku baik bus dan melihatmu," jawab Cristian.
"Hmm ... lalu Anda meninggalkan mobil itu begitu saja?" tanya Annabele lagi.
"Ya, ada montir yang akan mengambilnya." Cristian terus menjawab pertanyaan Annabele tanpa menoleh.
"Oh, lalu kenapa tidak pulang naik taksi saja?" tanya Annabele kemudian.
Cristian menghentikan langkah, lantas berdiri menatap Annabele, membuat gadis itu kembali gugup.
"Kamu ini benar-benar bawel," kata Cristian yang membuat Annabele langsung mengatupkan bibir.
"Sama seperti dulu," gumam Cristian yang kemudian memilih melanjutkan langkah.
Annabele mendengar sekilas apa yang digumamkan Cristian, tapi saat bertanya pria itu tak mau mengaku. Akhirnya ia pun hanya menendang kerikil yang berada di jalan, sesekali melirik Cristian yang berjalan di sampingnya. Ada banyak pertanyaan di kepala, tapi takut untuk diungkap.
"Jika ada sesuatu yang ingin kamu katakan. Katakan saja!" Cristian menoleh Annabele, seakan bisa merasakan kegelisahan pada diri gadis itu.
Annabele mengulum bibir, masih terus melangkah dengan kepala menunduk, kedua tangan menggenggam tali tas selempang yang melingkar di depan dada.
"Awas!"
