Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Hal terpenting

Bambang sudah menduga kalau Ambar akan mempunyai reaksi seperti itu. Jangankan Ambar yang merupakan perwira karier, dia sendiri, seorang prajurit lapangan belum bisa menerima sepenuhnya tentang Munding.

“Selain kejadian di Lapas Umum tadi. Saya rasa Bu Ambar juga perlu mengetahui bagaimana cara untuk berinteraksi dengan Munding,” lanjut Bambang.

“Maksudmu?” tanya Ambar pendek, kali ini sama sekali tidak ada cibiran atau pandangan meremehkan darinya.

“Sebelum penugasan ini, saya sudah berkonsultasi dengan mentor saya. Dia seorang serigala petarung juga. Tapi hanya tahap awakening. Dia pernah beberapa kali bersentuhan dengan orang-orang sekaliber Munding,” Bambang menghela napas panjang sebelum melanjutkan kembali.

“Mentor saya mengajarkan, ada tiga hal terpenting untuk berinteraksi dengan serigala petarung. Pertama, kita harus memberikan respect yang memang layak diterimanya. Kedua, kita harus tahu latar belakangnya. Dan ketiga, kita harus tahu apa yang paling penting baginya.”

“Dari ketiga hal tersebut, untuk point pertama, tak terlalu sulit buat saya. Jadi kalau Bu Ambar beranggapan bahwa saya takut terhadap Munding, Ibu salah. Saya memberikan dia respect yang memang seharusnya dia dapatkan, sebagai seorang petarung yang memang dapat menghabisi saya dalam hitungan detik. Karena itu artinya saya harus menempatkan diri saya sendiri di posisi yang lebih rendah darinya, karena memang seperti itu kenyataannya.”

“Itu tidak masuk akal. Dia seorang tahanan. Kamu adalah pengawasnya. Kenapa kamu harus menghormatinya?” potong Ambar.

“Bu Ambar salah. Di mata orang-orang seperti Munding, hal-hal seperti pangkat, status, kekayaan, jabatan dan semacamnya adalah sebuah omong kosong besar. Mereka tidak berpikir dan berlogika sesuai dengan norma yang kita gunakan,” jawab Bambang.

“Karena itulah Mentor saya menyuruh saya menanyakan langsung kepada Munding, apa hal yang terpenting dalam hidupnya. Tujuannya cuma satu, kalau kita tidak ingin berhadapan dengannya, jangan pernah menyentuh apa yang Munding anggap penting.”

“Apa yang paling penting bagi Munding?” tanya Ambar penasaran, dia tidak sadar kalau dirinya tak lagi menyebut Munding sebagai bocah atau bocah ingusan lagi.

“Saya menanyakan langsung kepada Munding apa yang paling penting baginya. Dan dia tahu maksud saya. Waktu itu, Munding tersenyum sambil menjawabnya, ‘Pak Bambang, yang paling penting bagi saya cuma ada tiga, keyakinan, keluarga dan naluri’ itu katanya,”

“Mungkin untuk keyakinan dan keluarga, aku bisa mengerti. Tapi untuk naluri? Aku sama sekali tak paham maksudnya,” potong Ambar terlihat sedikit kebingungan.

“Tidak. Ibu sama sekali tidak mengerti,” kata Bambang.

Muka Ambar terlihat memerah, dia agak sedikit marah ketika Bambang secara terus terang mengatakan dia tidak mengerti. Berani sekali seorang sersan mencela perwiranya?

Tetapi sebelum Ambar bisa mengucapkan kata-kata, Bambang memotongnya, “Bu Ambar tidak mengerti seberapa pentingnya keyakinan bagi Munding atau bagi serigala petarung lain. Kalau Bu Ambar mengerti, pasti Ibu akan mau menunggu Munding selesai sholat Ashar tadi.”

Ambar kembali teringat kejadian tadi dan dia malu sendiri.

“Pesen saya, kedepannya, jangan pernah menghalangi Munding melakukan ibadahnya. Karena itu mungkin satu-satunya norma yang dia anggap layak untuk dipercayai kebenarannya. Dan selama dia masih memegang teguh norma agamanya, kita masih bisa menggunakannya untuk berdiskusi dengannya.”

“Kalau untuk point keluarga, saya rasa Bu Ambar pasti paham. Tapi kalau untuk point naluri. Ini sebenarnya sangat mudah. Semuanya tergantung dari kita. Mereka, para serigala petarung yang sudah melewati tahap awakening, akan mempunyai naluri yang lebih peka dari orang normal.”

“Apalagi terhadap ancaman bahaya bagi dirinya sendiri. Itu artinya, jika semisal Bu Ambar, punya niat jahat terhadap Munding. Sebaiknya Ibu menjaga jarak dengannya. Karena bisa saja, dia akan membunuh Bu Ambar terlebih dahulu karena merasakan ancaman dari Ibu.”

Bulu kuduk Ambar merinding membayangkan kemungkinan dia akan diserang oleh Munding. Foto di Lapas tadi benar-benar membuatnya shock. 17 orang terkapar oleh satu orang pemuda. Kalau Ambar menjadi lawan Munding, sekalipun dengan sabuk hitam taekwondo-nya, dia tidak yakin kalau dirinya bisa bertahan lebih dari satu menit.

“Masih ada satu hal lagi yang belum kamu beritahukan kepadaku,” kata Ambar.

“Ehmmmmm, maksud Ibu?” tanya Bambang.

“Latar belakang Munding!” kata Ambar tegas.

“Saya tidak yakin kalau Ibu mau mengetahui hal ini,” kata Bambang.

“Saya butuh semua informasi yang berkaitan dengan Munding, karena dia akan mendapatkan penugasan dari Makodam dalam durasi yang lama,” paksa Ambar.

“Baiklah kalau begitu. Kebetulan ada empat orang anggota Yonif yang menjadi saksi mata saat malam itu Munding melakukan inisiasinya. Dan aku bisa mendapatkan cerita detail tentang Munding dari mereka,” kata Bambang.

“Munding adalah seorang anak yang malang. Kelas 4 SD, dia kehilangan ayahnya. Selama 2 tahun dia mengalami bullying oleh kawan-kawannya. Saat kelas 6 SD, dia ditolong oleh seseorang yang mengubah jalan hidupnya, Izrail,”

“Izrail?” potong Ambar dengan cepat.

“Bu Ambar mungkin tidak tahu, tapi bagi kami tim lapangan, nama Izrail adalah sebuah legenda. Dan dialah yang mendidik seorang petarung seperti Munding.”

“Hanya butuh empat tahun bagi Munding untuk mencapai tahap awakening. Dia lalu memutuskan untuk membalas dendam ke pembunuh Bapaknya.”

“Malam itu, Munding ke desa kelahirannya. Di tengah jalan dia menyelamatkan seorang gadis yang sedang diperkosa oleh sebuah gerombolan pemuda. Dia menghajar mereka dan menghancurkan kemaluan pemimpin mereka,” kata Bambang.

Ambar menganggukkan kepalanya. Tidak ada yang istimewa.

“Lalu dia ke rumah kakak kandungnya yang ternyata telah menjadi istri selingkuhan ibunya yang dulu bersekongkol dengan ibu kandungnya untuk menghabisi ayah Munding,” kata Bambang.

“Tunggu, aku tidak menangkap maksud kalimat yang barusan,” potong Ambar.

“Ibu Munding berselingkuh. Dia dan selingkuhannya bersekongkol untuk membunuh Ayah Munding. Kemudian laki-laki yang menjadi selingkuhan Ibunya itu yang di kemudian hari menikahi kakak kandung Munding,” jawab Bambang dengan bahasa yang mungkin lebih mudah dimengerti.

“Sungguh, hubungan keluarga yang benar-benar fucked up,” kata Ambar tak tahan untuk mengeluarkan makian.

“Endingnya, Munding membunuh laki-laki tadi, ibu kandungnya, kakak kandungnya dan kelima preman anak buah mereka.” kata Bambang mempersingkat ceritanya.

“Apa? Munding membunuh selingkuhan Ibunya adalah suatu hal yang wajar. Tapi dia juga membunuh Ibu dan kakak kandungnya?” kata Ambar benar-benar terkaget.

“Bukan itu saja Bu. Kelima preman malang tersebut tewas karena senjata tajam. Tapi ketiga tokoh utama tadi, tewas dengan dicekik menggunakan tangan,” lanjut Bambang.

Bambang mengangkat kedua tangannya sendiri dan melihatnya sambil bergumam, “Ibu bisa bayangkan bagaimana rasanya menghabisi nyawa ibu kandung sendiri dengan tangan ini. Merasakan dia meronta-ronta sampai napasnya habis dan tak bernyawa. Dari tubuh yang terasa hangat penuh dengan kehidupan, menjadi tubuh dingin kaku di genggaman kita.”

Ambar secara tak sadar juga melihat ke kedua tangannya dan membayangkan mencekik Mamanya sendiri. Mama yang selama ini selalu mengasihi dan menyayanginya. Membayangkan Mama meregang nyawa sambil bergeliat di tangannya. Dan tanpa dia sadari, air mata meleleh di pipinya tak tertahankan.

“Munding, what kind of monster are you?” cuma kalimat itu yang terngiang di kepala Ambar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel