Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Iblis

Sebuah mobil Isuzu Panther Grand Touring yang berwarna hijau tentara melaju di jalan raya yang agak lengang. Mobil tersebut menggunakan plat nomor militer yang berwarna hijau. Siapapun tahu kalau mobil itu adalah mobil dinas petinggi Angkatan Darat.

Hanya ada tiga orang yang duduk di dalam mobil tadi. Seorang sopir yang berpakaian dinas lapangan lengkap. Ambar yang duduk di sebelah kiri sopir teresbut dan Munding yang duduk sendirian di jok bangku belakang. Sebuah tas ransel kecil terlihat diletakkan di samping Munding.

Sesekali Ambar melirik ke arah spion tengah dan memperhatikan gerak-gerik Munding. Munding terlihat menikmati pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan mereka. Pandangan matanya tak berhenti bergerak dari satu objek ke objek yang lain. Senyuman juga terkadang tersungging di bibir bocah itu saat dia menemukan objek yang mungkin menarik baginya.

Ambar masih susah mempercayai kalau bocah yang duduk di belakangnya adalah sosok monster brutal yang bisa dengan mudah menjadi mesin pembunuh keji dalam hitungan detik. Dia teringat cerita Serda Bambang tadi saat Ambar berniat memarahinya.

“Aku beri kamu setengah jam untuk membereskan barang-barangmu. Nanti akan ada yang menjemputmu kesini dan mengantarkanmu ke kantor,” kata Ambar mengakhiri kunjungannya ke sel isolasi yang ditempati Munding.

Sepanjang perjalanan pulang ke ruangan kantor penjara militer ini, Ambar menahan kesal dalam hatinya. Terhadap sikap Bambang, sikap Munding dan semuanya. Betapa dia ingin saat ini juga dia menghardik Bambang yang berjalan di sebelahnya.

Ambar dan Bambang masuk ke ruangan kantor penjara militer ini. Bambang segera membersihkan tempat duduk yang ada di belakang meja dan seharusnya menjadi tempat duduknya untuk Ambar. Dia sendiri berjalan ke arah lemari yang ada di samping ruangan dan mencari sesuatu disana.

“Sebagai seorang prajurit, seharusnya kamu tidak boleh bersikap seperti itu terhadap seorang tahanan. Sekalipun dia petarung elite,” hardik Ambar begitu tubuhnya menyentuh kursi nyaman yang ada di belakang meja.

“Tingkahmu sungguh membuat malu kesatuan,” lanjut Ambar dengan nada makin dingin, “aku akan melaporkan semuanya ke atasanku.”

Bambang berjalan cepat mendekati Ambar dengan membawa sebuah folder yang masih dalam keadaan tertutup, “maaf Bu, sebelum anda melakukan itu, tolong lihat dulu dokumen ini,” kata Bambang sambil memberikan folder yang dipegangnya ke arah Ambar.

Ambar menerima dokumen itu dengan tetap memasang muka mencibir dan meremehkan. Bambang cuma terdiam sambil berdiri di tempatnya.

Ambar kemudian membuka dokumen yang ada di tangannya. Folder itu berisi kumpulan foto-foto. Dan ketika Ambar melihat foto tersebut, sesuatu terasa ingin keluar dari dalam perutnya dan mendesak naik ke tenggorokannya.

Dengan cepat Ambar berlari ke arah toilet yang ada di bagian belakang kantor dan muntah disana. Beberapa menit kemudian, Ambar kembali ke ruang kantor setelah mengelap bibir dan keringatnya dengan tissue.

“3 bulan lalu, saya ditugaskan untuk menjadi pengawas Munding. Saya hanya menerima summary biodata seperti yang Ibu dapatkan dari pusat komando. Dan saya juga berpikiran sama dengan Bu Ambar. Apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang anak usia 15 tahun?” kata Bambang.

“Tugas pertama saya adalah melakukan pemindahan Munding dari Lapas biasa ke fasilitas militer. Sebelum di sini, Munding memang dititipkan ke LP umum. Seharusnya, berdasarkan usia Munding, dia harusnya ditempatkan di penjara anak-anak. Tapi Pusat Komando menganggap hal itu sama artinya dengan melemparkan seekor serigala ke kandang ayam,” kata Bambang sambil tersenyum.

“Karena itu, Munding akhirnya dititipkan ke LP untuk umum. Bu Ambar bisa membayangkan nasib seorang anak berusia 15 tahun di kelilingi residivis kambuhan yang sudah bertahun-tahun di dalam penjara?” tanya Bambang.

Ambar terdiam kemudian tiba-tiba bergidik ngeri. Dia tahu seperti apa gambaran kehidupan di penjara. Dan membayangkan seorang bocah dikelilingi pria-pria kekar bertato dan tidak pernah punya kesempatan untuk melampiaskan hasratnya, hanya satu nasib yang akan dialami Munding.

Bambang tertawa melihat reaksi Ambar.

“Saya tahu apa yang Bu Ambar bayangkan. Tapi itu jika yang dimasukkan ke LP umum adalah bocah biasa. Bu Ambar tidak lupa kan kalau Munding itu seorang serigala petarung?” Bambang menghela napas dan melanjutkan lagi, “silakan lihat foto yang ada di folder yang saya berikan tadi. Foto ke 8 dan seterusnya.”

Ambar kembali membuka folder tadi dan berusaha untuk menahan rasa mual yang tetap berusaha keluar dari dalam perutnya. Ketika dia sampai ke foto yang dimaksud Bambang, Ambar melihat sebuah foto yang memperlihatkan sebuah tempat yang terlihat seperti pemandian umum dengan banyak kran dan bilik-bilik yang digunakan untuk mandi.

Seorang laki-laki terlihat sedang duduk sambil menyenderkan punggungnya ke dinding. Kepalanya mendongak keatas dengan mata terpejam. Tangannya tergeletak lemah di samping tubuhnya dan kakinya berselonjor ke depan.

Seluruh tubuh laki-laki itu berlumuran darah. Dan yang paling mengerikan adalah ada bekas luka memanjang di dadanya yang melintang dari kanan atas ke kiri bawah. Di bagian perut juga terdapat bekas luka tusuk yang juga terlihat menakutkan. Selain dua buah luka yang dapat dengan mudah dikenali itu, banyak sekali terdapat bekas luka-luka akibat sabetan sesuatu di sekujur tubuhnya.

Ambar tiba-tiba merasakan perutnya kembali memberontak ketika dia melihat ke sekeliling laki-laki tadi, tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan di sekelilingnya. Sebagian dari mereka mengalami luka parah di kepala, posisi tangan dan kaki yang aneh dan darah yang berlumuran dimana-mana.

Ambar sekuat tenaga menahan gejolak dari dalam perutnya. Dia segera mengembalikan folder itu kepada Bambang dan berlari kembali ke toilet yang ada di belakang kantor penjara itu. Beberapa menit kemudian Ambar kembali dengan muka pucat.

“Siapa laki-laki dengan tubuh penuh luka tadi? Dia yang menyebabkan semua orang disekitarnya seperti itu?” tanya Ambar dengan suara bergetar.

“Laki-laki tadi Munding dan dia memang yang menyebabkan semua orang di sekelilingnya seperti tadi,” jawab Bambang sambil tersenyum.

Raut muka kaget dan tak percaya terlihat di wajah Ambar. Bocah ingusan yang ditemuinya di sel isolasi tadi bisa melakukan sesuatu seperti itu? Bocah ingusan yang menjaga sel-nya selalu rapi dan terlihat seperti seorang anak yang taat menjalankan agama?

“Bu Ambar mungkin tidak percaya, tapi foto yang Ibu lihat tadi, saya yang mengambil gambarnya. Karena petugas lapas sama sekali tidak ada yang berani untuk mendekatinya setelah kejadian itu dan mereka bahkan tidak ada yang berani untuk menolong korban. Sampai saya datang,” lanjut Bambang.

“Kenapa?” tanya Ambar.

“Di hari kedua Munding masuk ke lapas. Salah satu ketua geng yang ada di dalam lapas tersebut langsung berminat untuk ‘menikmati’ Munding. Dia bersama 17 orang anggota gengnya berhasil menjebak Munding dalam kamar mandi umum di lapas. Bu Ambar bisa lihat sisanya di foto. Dari 17 orang yang mengeroyoknya, 2 orang masuk ICU karena kritis, 5 orang mengalami cacat permanen, 6 orang mengalami luka ringan,” jawab Bambang.

Ambar terlihat menghitung sebentar, tak lama kemudian, dia bertanya, “yang 4 sisanya/”

“Mereka yang paling malang,” jawab Bambang, “keempat-empatnya sekarang di RS Jiwa. Mereka didiagnosa mengalami mental breakdown akibat trauma yang diterimanya. Saat ditanya oleh pihak Lapas maupun RS, mereka cuma berteriak-teriak ‘Iblis’, mereka selalu ketakutan jika sendirian dan tidak mau berada di tempat gelap.”

Ambar kehilangan kata-kata untuk sejenak. Dia tidak bisa membayangkan trauma apa yang dialami oleh para residivis kambuhan yang dengan kejam akan melakukan kejahatan tanpa pikir panjang dan bisa membuat mereka mengalami gangguan jiwa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel