Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Warung remang-remang

Kehidupan terus berjalan.

Pada awalnya, hanya Munding sekeluarga dan anak-anak yang sering sholat di mushola, lambat laun beberapa tetangga Munding juga mulai rajin ke sana.

Sebagian dari mereka bernasib sama dengan Munding dulu. Nggak ngerti bacaan sholat, nggak bisa baca Al Quran dan bahkan nggak bisa wudhu. Munding dan Nurul mengajari mereka pelan-pelan. Tentu saja tidak memakai metode sabetan rotan seperti waktu Pak Yai mengajari Munding kecil.

Mushola di samping rumah Munding semakin rame. Mereka tidak hanya datang saat waktu sholat atau saat menjemput anaknya mengaji, terkadang mereka juga akan duduk bercengkerama dan ngobrol ngalur ngidul selepas Isya.

Nurul yang akan selalu kebagian jatah membuatkan kopi dan makanan cemilan untuk mereka.

"Mas," panggil Nurul dari dalam rumah.

"Tunggu, aku ambilin kopi dulu ya?" kata Munding.

"Siap Ustadz," jawab mereka yang asyik duduk dan ngobrol di teras mushola.

Tak lama kemudian, Munding sudah kembali dengan satu teko kopi dan sepiring tempe goreng.

"Makasih Tadz," kata salah seorang bapak-bapak tetangga Munding sambil menyambar tempe di piring, padahal belum juga turun dari tangan Munding ke lantai.

"Aduuhhh," kata si Bapak sambil menjatuhkan tempe itu kelantai.

"Masih panas tempenya," kata Munding sambil tersenyum.

"Ustadz ni apaan sih? Dah dipegang baru ngomong," sungut si Bapak yang langsung disambut gelak tawa yang lain.

Seperti itulah candaan mereka sehari-hari.

=====

"Mas," panggil Nurul pelan.

Munding dan Nurul berpelukan di ruang keluarga. Munding masih asyik menonton channel favoritnya di televisi, Nat Geo.

"Hmmm?" jawab Munding.

"Nurul mau tanya," bisik Nurul pelan.

"Apa?" jawab Munding yang masih asyik melihat ke televisi.

"Kewajiban suami kepada istri tu apa?" bisik Nurul kali ini makin dekat ke telinga Munding dan membuat bulu kuduk Munding merinding.

Munding mengernyitkan dahi, masih belum ngeh dengan kemauan kekasihnya.

"Suami wajib ngasih nafkah lahir dan batin ke istrinya. Ngapain sih Dek Nurul nanya gituan?" jawab Munding.

Nurul makin mendekat dan kali ini Munding bisa merasakan hembusan nafas istrinya di telinga.

"Nurul pengen dinafkahin, Mas," bisik Nurul sambil mencium daun telinga Munding dan membuat suaminya kegelian.

Munding tersenyum dan langsung mencium istrinya, "ngomong kek dari tadi, pake muter-muter segala," kata Munding setelah itu.

"Mas Munding tu yang nggak peka," sungut Nurul.

Munding tertawa kecil dan mengangkat tubuh istrinya ke atas pangkuannya. Enteng kalau buat Munding mah.

Nurul menjerit kaget, "Mas Munding," protes Nurul sambil merapikan bajunya yang acak-acakan.

"Katanya minta dinafkahin?" kata Munding, kemudian tangannya mengeluarkan jurus silat untuk menyerang Nurul.

Setelah itu, hanya suara desahan Nurul yang sedang bergerak naik turun di atas pangkuan Munding dan dinafkahi suaminya terdengar dari ruang keluarga rumah mereka.

=====

"Kurang ajar, makin lama kok makin sepi aja tempat ini," gerutu seorang pria berbadan besar dan tattoo memenuhi lengannya.

Pria itu bernama Aditya.

Aditya adalah preman dari kota yang sekarang 'megang' di Sukorejo. Saat dia datang dulu, dia menantang semua preman yang ada disini dan menghajar mereka semua.

Tapi, itu semua terjadi saat dimana Sukorejo berada dalam masa kekosongan tanpa pimpinan. Baik pimpinan secara resmi, maupun pemimpin dunia perpremanan di Desa ini.

Selama beberapa tahun setelah itu, Aditya menjadi preman nomer satu di kampung ini. Usahanya adalah membuat warung remang-remang yang berkonsep kafe palugada alias one stop services.

Jadi apa aja yang pelanggan mau cari, kafe Aditya menyediakannya. Cewek, mabuk, karaoke, judi, obat, dan banyak lagi yang disediakan oleh warung remang-remang Aditya.

Tapi, belakangan ini, pelanggannya sedikit berkurang, wajah-wajah familiar yang tiap hari dijumpainya disini sebagian menghilang dan tak terlihat lagi.

"Kalian tahu orang-orang itu pada kemana?" bentak Aditya ke arah karyawan kafenya dan wanita-wanita penghibur yang semuanya menundukkan kepala.

Semuanya terdiam dan tak ada yang berani menjawab. Mereka tahu seperti apa si Boss ini. Tak jarang dia main tangan dan menghajar wanita meskipun hanya karena kesalahan sepele.

Melapor polisi? Aditya paling akan ditahan selama semalam di kantor polisi, setelah itu esoknya dilepas lagi. Setelah dia terlepas? Tentu saja dia akan menghajar habis-habisan orang yang membuat laporan ke polisi.

"Kalian semua goblok ya? Tak ada yang tahu satu pun?" teriak Aditya ke arah orang-orang yang menundukkan kepalanya itu.

"Aku tahu,"

Terdengar suara seorang gadis dari sudut salah satu warung yang gelap. Semua mata langsung menuju ke sana.

Si Gadis yang diliat oleh semua karyawan dan wanita penghibur yang bekerja disini menundukkan kepalanya karena ketakutan. Dia memang sudah bekerja di tempat ini selama dua tahun, tapi dia tidak punya kelebihan yang istimewa dibandingkan dengan gadis-gadis penghibur yang lain. Karena itu, dia kurang dikenal oleh koleganya.

"Benarkah?" kata Aditya sambil berjalan mendekati si Gadis itu.

Sesampainya di dekat si gadis, Aditya menyibak rambut yang menutupi wajah gadis itu dan menemukan wajah belia berusia 19-20 tahunan. Seraut wajah yang meskipun tidak bisa dibilang cantik tapi enak dipandang terlihat disana.

Mata Aditya terbelalak, "kok aku punya barang sebagus ini tapi aku sendiri malah tak tahu?" teriak si Preman.

"Berapa lama kamu kerja disini?" tanya Aditya sambil memegang pipi gadis itu.

"Dua tahun," jawab si gadis lirih.

Aditya langsung naik pitam, dia berjalan cepat ke arah si manager kafe dan melayangkan tinjunya ke muka lelaki itu. Sang manager tak berani membalas apalagi mengeluh. Setelah itu, beberapa kali pukulan disarangkan Aditya ke tubuh sang manager dan membuatnya terkapar.

"Rawat dia," kata Aditya pendek.

Setelah itu, Aditya memberi isyarat tangan kepada gadis tadi agar mengikutinya. Gadis tadi menuruti perintah Aditya dan mereka berdua masuk ke kamar pribadi milik si Boss.

=====

"Istimewa," puji Aditya ke arah gadis yang terkulai lemas di atas tubuhnya.

"Mulai sekarang, kau wanitaku. Tak boleh lagi melayani tamu. Aku akan memberimu uang bulanan untuk hidup," kata Aditya sambil memegang rambut gadis yang barusan dinikmatinya itu.

"Tapi aku ingin punya kesibukkan," kata si Gadis, sorot mata penuh muslihat terpancar dari sana untuk sesaat.

Aditya terlihat berpikir sebentar, "kau bisa apa?" tanyanya.

"Aku pandai dengan hitungan dan matematika," bisik si Gadis.

"Oke, bagus kalau begitu. Mulai besok kau gantikan si Nana jadi kasir. Dia mulai suka cari bocah di belakangku. Dipikirnya aku tak tahu?" kata Aditya dengan muka sinis.

"Sekarang cerita, kenapa tempat ini menjadi lebih sepi," tanya Aditya ke gadis itu.

"Abang saja belum kenal namaku kan?" protes si Gadis dengan manja sambil mengelus-elus dada Aditya.

"Ha? Iya juga ya?" kata Aditya sambil tertawa terbahak-bahak.

"Namaku Puji Astuti. Panggilanku Puji. Aku asli Sukorejo. Jadi, ini sebenarnya adalah kampungku sendiri," kata si Gadis sambil tersenyum tipis dan sinis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel