Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Sehari-hari

"Mas, istirahat dulu," teriak Nurul ke arah seorang laki-laki yang sedang menyiangi rumput di pematang sawah.

Munding tersenyum melihat istrinya yang membawakan rantang berisi makan siangnya ke sawah. Dia menegakkan badan dan menghirup udara segar pedesaan yang telah menemaninya selama beberapa tahun ini.

Munding kemudian membawa cangkul dan sabit yang tadi dia pakai untuk bekerja dan menyusuri pematang sawah ke gubuk tempat Nurul menunggu sambil tersenyum ceria.

Munding duduk di bale-bale bambu yang ada di gubuk itu setelah meletakkan alat-alatnya di samping gubuk. Dia mendekat ke arah istrinya dan berusaha mencium aroma masakan dari rantang makanan yang ada di depan mereka.

"Dek Nurul masak apa?" tanya Munding.

"Kesukaan Mas. Urap, tempe mendoan, ikan asin sama telur rebus," jawab Nurul mesra sambil menuangkan teh hangat dari termos kecil yang dia bawa.

Munding langsung tersenyum cerah. Memang sederhana. Memang nggak mewah. Tapi inilah kehidupan yang dia impikan. Munding rela melakukan apa saja demi hidup sederhana yang dia jalani bersama istrinya sekarang.

Munding makan siang ditemani senyuman istrinya dan hembusan angin semilir dari sawah miliknya. Sawah yang dulu menjadi tempat langganan Munding menemani Bapaknya setiap pulang sekolah.

Ya.

Munding dan Nurul kini tinggal di Sukorejo. Mereka memang memilih tinggal disini setelah resmi menikah dan mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA. Awalnya Munding ragu, karena dia punya kenangan buruk disini, tapi Pak Yai menasihatinya untuk melupakan masa lalu. Toh sekarang Munding punya Nurul yang menemaninya.

Munding menuruti Pak Yai. Dia dan Nurul kini tinggal di Sukorejo, tapi Munding tidak seperti Bapaknya. Dia membuat sebuah rumah sederhana yang nyaman untuk mereka berdua. Tentu dengan perabot modern yang memang bisa membuat mereka nyaman dan meringankan pekerjaan rumah tangga istrinya.

Munding meminum teh hangat dan menyenderkan punggungnya ke tiang gubuk dari bambu yang ada di belakangnya.

"Enak Mas?" tanya Nurul.

"Nggak," jawab Munding.

"Serius Mas?" tanya Nurul.

"Ya nggak lah," jawab Munding sambil tertawa, "sekalipun beneran nggak enak, aku tetep bakalan bilang enak," lanjut Munding dalam hati.

"Jail bener deh Mas ini," kata Nurul sambil beringsut mendekati suaminya.

"Peluk ya Mas?" bisik Nurul.

"Mas keringetan Dek," tolak Munding.

"Nurul dah biasa sama keringat Mas dari dulu," cibir Nurul sambil tetap maksa nyender ke dada suaminya.

Munding menyerah. Mereka berdua berpelukan di gubuk tengah sawah mereka sambil tersenyum dan menikmati semilir angin siang itu. Berdua.

=====

"Ustazah Nurul, Bambang nakal," teriak seorang gadis kecil sambil berlarian di teras mushola.

"Bambang, nggak boleh nakal," teriak Nurul sambil mendelik ke arah anak yang bernama Bambang.

Dua orang gadis berjilbab terlihat sibuk mengatur anak-anak kecil yang sedang berlarian dan bermain di mushola yang ada di samping rumah Munding.

Mereka adalah Nurul dan Asma.

Selain membuat rumah sederhananya, Munding dan Nurul juga membangun mushola di samping rumah mereka. Sukorejo adalah desa abangan, salah satu tujuan Pak Yai menyuruh Munding untuk kembali dan menetap disini adalah karena Pak Yai ingin mengubah Sukorejo menjadi lebih baik.

Langkah awal yang mereka lakukan adalah dengan membangun mushola ini.

Munding dan Nurul adalah pasangan muda. Mereka tidak bisa datang ke Sukorejo dan menceramahi para generasi tua atau generasi seumuran mereka yang selama ini berbuat maksiat agar mereka tobat. Mereka tidak bisa melakukan itu.

Cara yang mereka pilih adalah dengan jalan merubah generasi penerus yang ada di kampung ini. Mendidik mereka dari kecil dan mengajari mereka sesuatu yang tidak mereka dapatkan dari orang tuanya.

Karena itu, Munding dan Nurul memutuskan untuk membuat TPA di mushola kecil mereka.

Asma bersemangat sekali ketika Munding dan Nurul berencana untuk membuat TPA mereka. Tanpa ragu, Asma langsung menawarkan diri untuk membantu Nurul mengajar di sana.

Sore ini, adalah sore kesekian sejak hari pertama mereka menawari anak-anak tetangga mereka untuk mengaji.

Munding melihat kedua gadis itu dari samping mushola. Dia melakukan apa yang sudah dia lakukan sejak SD dan mungkin sudah menjadi kebiasaannya.

Mengisi air untuk bak wudhu di Mushola.

Kenapa nggak dipasang pompa? Pompa ada dan sudah dipasang, tapi Munding memilih untuk melakukannya dengan tangan. Toh itung-itung anggap sebagai fitness sekalian nemenin istrinya mengajar mengaji.

Petang menjelang. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Nurul dan Asma mengakhiri pelajaran mengaji mereka karena waktu maghrib hampir tiba.

"Mas, adzan dulu," kata Nurul.

Tak lama kemudian, Munding pun berjamaah dengan Nurul dan Asma di mushola. Beberapa anak-anak juga ikut sholat bersama mereka.

"Kami duluan Munding, Nurul, Asma. Makasih ya untuk hari ini," kata seorang wanita muda yang sedang menjemput anaknya dan berpamitan di depan mushola.

"Sama-sama, besok datang lagi ya?" jawab Nurul sambil tersenyum.

Anak kecil yang digandeng Ibunya itu menganggukkan kepalanya ke arah Nurul dan berjalan pulang ke rumah. Beberapa anak lain juga mengalami hal serupa, dijemput Bapak atau Ibunya setelah sholat maghrib. Munding dan Nurul tak pernah menyinggung sekalipun kenapa mereka tak sekalian ikut sholat meskipun mereka tetap sesekali mengajak mereka.

"Mbak Asma makan malam sekalian ya?" tanya Nurul sambil menggandeng tangan Asma.

"Iya," Asma menganggukkan kepalanya dan mereka berdua meninggalkan Munding sendirian di mushola untuk membereskan meja-meja berserakan di sana.

Sejak dulu, Nurul tahu kalau Asma menyimpan rasa untuk suaminya. Tapi, dia sepenuhnya percaya kepada Munding kalau cuma dirinya lah yang ada dalam hati suaminya itu.

Karena itu, bukan perasaan kuatir atau takut yang dia rasakan setiap kali Nurul melihat Asma. Justru Nurul merasa kasihan kepada gadis itu. Gadis yang memendam rasa tak berbalas selama bertahun-tahun.

Selain Asma, ada seorang gadis lagi yang membuat Nurul bersimpati. Gadis yang bernama Amel. Gadis kota yang Nurul tahu juga jatuh hati kepada suaminya. Sama seperti Asma, perasaan Amel tak berbalas tapi sudah terlalu dalam hingga tak bisa dihapus lagi.

Setiap kali Nurul melihat Amel, Nurul selalu mengucap syukur karena Dia mempertemukan Nurul dengan Munding lebih dulu, sehingga Munding dapat menjadi miliknya. Seandainya, Amel yang lebih dulu bertemu dengan Munding, Nurul yakin kalau tak ada kesempatan baginya disamping Munding.

Nurul selalu kagum ketika melihat Amel. Gadis kota yang mandiri, pintar, percaya diri dan kaya, selain memiliki kecantikan yang luar biasa tentunya. Dia merupakan sosok idaman semua gadis desa seperti Nurul.

Tapi, Nurul tetap bahagia dan tak pernah merasa iri, karena dia bisa melihat dengan jelas tatapan iri di mata Amel setiap kali gadis itu menatap Nurul. Dan Nurul tahu jawabannya, Munding.

"Mas, udahan, makan dulu," panggil Nurul kepada Munding yang masih di mushola.

"Bentar, kurang sedikit ini," jawab Munding yang masih menata meja-meja sehabis digunakan untuk mengaji tadi.

"Biarin aja, Mbak Asma udah nungguin tu," sungut Nurul.

Munding melepaskan napas panjang dan berjalan ke rumahnya. Nurul menggandeng tangannya dan mengajak Munding ke meja makan, tempat dimana Asma sudah duduk menunggu.

Munding melirik ke arah Asma, "makin hari, makin gemuk aja," kata Munding bercanda, mencoba mencairkan suasana.

"Beneran ya? Kamu nggak bohong kan Mas?" jawab Asma terlihat panik.

Entah sejak kapan si Asma ngikutin si Nurul manggil Munding 'Mas'. Munding udah nolak, kan mereka seumuran, tapi tetep aja Asma nggak mau berubah.

Nurul cuma ketawa-ketawa saja, "Mbak Asma ini, kan tahu kalau Mas Munding suka jail. Diseriusin pula," katanya.

Dan mereka bertiga makan malam bersama sambil tertawa-tawa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel