Kilatan Kenangan-1
Gelap. Itu yang gadis berambut hitam lihat. Kedua netranya ditutup kapas dibalut kain kasa. Dokter mata dan dua suster siap membantu proses membuka kapas pada si Gadis.
Wanita yang lebih tua darinya terharu, karena adiknya akan bisa melihat kembali memilih berdiri menepi, memberi ruang pada dokter melakukan tugasnya, sementara ia memperhatikan dari jauh.
"Kau siap?" tanya dokter itu pada si Gadis.
"Siap, dokter." Gadis itu menjawab mantap. Ia tak sabar melihat dunia kembali setelah dunia menjadi 'gelap' setelah kecelakaan waktu itu.
Gadis itu meremas tangannya gugup, rasanya ia ingin segera membuka mata dan menemukan wajah kakaknya yang sangat ia rindukan.
Dokter selesai, meminta pada si Gadis untuk tidak gegabah membuka matanya langsung karena kornea mata barunya butuh penyesuaian dan boleh ia buka setelah ada instruksi darinya.
Suster membuka satu per satu kapas yang membalut sisi kanan-kirinya dilepas.
"Baik, buka perlahan. Lakukan dengan perlahan, oke?" Dokter memberinya instruksi.
Mata berbulu mata lentik itu bergerak membuka perlahan. Yang ia lihat adalah buram dan terasa perih, ia memejam lagi dan dokter masih menunggu. Ia membukanya perlahan, yang ia lihat semakin jelas tak lagi seperti dalam selaput tipis atau kabut. Ia bisa melihat garis yang ada di membentuk kubus, tepian ubin lantai rumah sakit.
Kemudian sepatu pantofel dokter dan suster, lalu semakin naik dan naik. Ia menemukan sosok wanita yang lama tak ia lihat rupanya.
"Kakak," ujar si Gadis tersemyum haru melihat kakaknya.
"Ouh, syukurlah Monica." Puji syukur wanita yang dipanggil Kakak olehnya.
Dokter itu tersenyum dan langsung memeriksa si Gadis dengan senter kecil yang mengarah ke matanya.
"Terasa pusing? Jika iya, itu wajar dan nanti akan hilang dengan sendirinya. Atau kau bisa pejamkan mata saja dan mengerjab." Dokter memberinya instruksi.
"Terima kasih dokter, saya bisa melihat kembali!" Gadis itu senang bukan kepalang.
Dokter dan suster memberinya ucapan selamat dan meninggalkan kamar rawat inap pasca operasi matanya.
Wanita yang berusia jauh di atasnya itu langsung memeluknya senang. Ia mengecup kening si Gadis lembut dan penuh haru.
"Kakak senang kamu bisa melihat lagi, Monic."
"Iya, Monic senang akhirnya bisa melihat wajah Kakak lagi," ujar Monica ikut terharu.
Pintu kamar rawat inapnya terayun dari luar, seorang pria dan seorang gadis kecil berponi membawa sebuket bunga yang besar dan harum.
"Wah sudah dibuka perbannya, masih ingat Kakak 'kan?" tanya pria yang datang bersama gadis kecil berponi.
"Kakaak!" Monica membalas rengkuhan Kakaknya haru.
"Bella juga kangen Tante Monica!" Gadis kecil berusia enam tahun itu memeluk Monica dengan haru.
"Yakin sudah jelas kan penglihatanmu?" tanya Crissan memastikan.
"Jelas sekali Kak, sampai upil di hidung Kak Crissan juga kelihatan!" Monica berseru. Mereka tertawa mendengar lelucon Monica sudah kembali sedia kala.
"Kapan Monic boleh pulang, Sayang?" tanya Crissan pada isterinya, Cheryl.
"Ini mau kutanyakan ke dokter sekalian mengambil resepnya." Kakak perempuan Monica bersiap hendak keluar dan puterinya sudah menggandeng tangannya.
"Oh, ya sudah." Kakak lelaki Monica duduk di tepian bangsal dan tersenyum lega bahwa adiknya bisa melihat lagi.
Monica menyentuh tangan kakak lelakinya, Crissan dengan lembut.
"Kak, terima kasih sudah mencarikan donor mata buat Monica." Gadis itu merengkuh hangat tangan kakaknya.
"Itu sudah kewajiban seorang Kakak pada adiknya, sungguh kakak lega melihatmu sudah bisa melihat lagi." Crissan melepas rengkuhan tangan Monica dan memeluk tubuh gadis dua puluh delapan tahun itu hangat.
"Aku sayang Kakak." Monica mengucapkannya tulus.
"Kami menyayangimu selalu, Monica." Crissan memeluk erat Monica.
Crissan melepas pelukannya setelah berpuas diri dan mengusap air mata di pipi adiknya. Menyuruhnya berbaring dan mengistirahatkan matanya agar tak mudah lelah.
Monica mengiyakan keinginan kakaknya, ia memejamkan matanya dengan tenang meski rasanya ia ingin sekali berteriak dan pergi keluar atap gedung, melihat luasnya dunia dan itu jelas dilarang keras oleh kakaknya.
Ia merebahkan diri dan menghadap ke arah senja yang sudah turun, hanya ada biasnya yang seolah membuat gedung di seberang menjadi bersinar. Ia tak merasa lelah, tubuhnya, tapi akan berbeda jika pada mata yang baru saja ia dapatkan setelah menunggu sekian lama. Jadi, ia memejamkan matanya seperti permintaan kakaknya.
Ia merasakan gerakan di ujung kakinya, tempat kakaknya itu tadinya duduk. Bisa dipastikan bahwa kakaknya itu sedang berdiri namun tak keluar. Benar saja, Crissan menerima telepon dan sudah tenggelam dalam percakapannya.
Entah mengapa Monica bisa merasakan keadaan sekitarnya, bisa jadi dikarenakan selama sembilan bulan ia harus membiasakan diri dalam ketidakmampuannya melihat dunia jadi ia dengan mudah bisa melihat dengan telinganya.
Crissan usai menelepon dan melihat adiknya terlelap mungin karena pengaruh obat, suster membuka pintu kamar rawat inap membawakan makan malam untuk Monica. Tak lama isteri dan puterinya datang, memberitahunya bahwa jika besok tak ada masalah berarti Monica diperbolehkan pulang.
"Pulanglah dengan Bella. Besok kau 'kan ada pertemuan wali murid di sekolahnya."
"Bella mau temani Tante Monica," rengek Bella pada papanya. Ia menengadah pada mamanya juga, namun mamanya hanya mengedikkan dagunya pada suaminya.
"Tante Monica besok pulang, Sayang. Jadi, Tante Monic masih perlu istirahat di sini dan Papa yang temani dia." Crissan membujuk puterinya.
"Kau kan juga capek, biar aku saja yang temani Monic, Criss." Cheryl kini yang menawarkan diri.
"Tidak, pulanglah. Sini peluk Papa dulu, jangan nakal nurut sama Mama, ya?" Crissan memutuskan. Itu dengan otomatis membungkam tawaran Cheryl dan berlaku juga pada Bella.
"Oke, Papa." Bella akhirnya menyetujui perintah papanya meski dengan muka masam. Crissan mengecup puterinya.
Bella mengambil tas ransel merah dia tas sofa dekat papanya duduk dan memakainya. Tangan Crissan menyentuh pipi puterinya agar tersenyum. Bella menyunggingkan senyumnya sebelum mengikuti langkah mamanya keluar dari kamar.
Crissan kembali menekuni layar ponselnya, sementara ia melihat sekilas adiknya yang masih terlelap.
Ia membuka mata, yang terlihat adalah sebuah kamar. Ada seorang pria berkaos hitam dan bercelana jeans tersenyum melangkah mendekatinya. Pria itu tersenyum mengelus lembut wajahnya, dan mengecup lembut bibirnya.
Gelenyar aneh merambati tengkuk hingga tulang ekornya membuatnya bergidik. Ia memang sudah dewasa tapi soal percintaan Monica nol besar.
Monica tergagap kaget sampai brankarnya bergetar. Ia seketika membuka mata dan bangkit duduk, ia benar melihat pria dewasa di depannya, tetapi itu bukanlah pria yang ada dalam mimpinya melainkan kakaknya, Crissan.
"Ada apa, Monic?" tanya Crissan yang juga terkejut melihat adiknya terbangun dengan terengah-enggah.
Monica menalarkan pikirannya, ia merasa mimpi itu nyata. Tetapi jelas-jelas ia sedang tidur, tetapi entah mengapa mimpinya itu terasa nyata sekali.
"Ada apa Monica? Apa matamu sakit? Pusing? Nyeri?" tanya Crisssan yang memegang kedua pundak Monica meminya perhatian adiknya.
"Tidak apa, Kak. Hanya mimpi aneh saja," ujar Monica dengan sisa napasnya yang sengal.
"Yakin? Mau Kakak panggilkan dokter?" tanya Crissan khawatir.
"Tidak usah Kak, aku baik-baik saja kok." Monica tersenyum memenangkan kakaknya.
Crissan duduk merileks di dekat adiknya, meraih nampan makan malamnya dari rumah sakit beserta obat oral untuk matanya. Monica menerimanya, dan mulai memebuka plastik penutup meski pikirannya menerjemahkan apa yang ia impikan tak menemukan artian.
