Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 Misteri Nyai Ratu Blorong Part 2

Saat matahari mulai menyinsing, mereka beranjak pulang dan menyisihkan janji esok hari. Ronald langsung pulang kembali ke hotel tempat ia menginap, sementara kedua temannya pulang ke rumah masing-masing, Sarji pulang dengan membawa harapan besar untuk esok hari.

Tapi Udin sebagai sahabat setia hanya perasaan dongkol terbawa sampai ke rumah, karena ia harus ikut berangkat menemani kawan sejatinya.

Esok hari yang sangat ditunggu Sarji telah tiba. Jam sepuluh tepat, setelah mendapatkan izin dari keluarga masing-masing tadi malam mereka berangkat dengan membawa bekal seadanya. Langkah sarji dengan semangat pergi ke warung sesuai janji Ronald kemarin, sedang udin langkahnya gontai saat menemani Sarji di sisinya.

Beberapa saat Sarji dan Udin sudah menunggu di warung, tapi Ronald belum kelihatan. Hari beranjak siang, panas mulai teresa. Kegelisahan terpancar jelas di wajah mereka berdua.

Sarji dan Udin sudah lama menunggu (Ilustrasi), dok: pexels

Sarji terus melihat ke arah jalan di luar warung, hingga hauspun tak terbendung.

“Bu es teh dua," pesan Sarji.

“Hutang lagi mas,” sahut ibu pemilik warung.

“Tenang...! Kali ini saya bayar bu, Kan teman saya bos bu…hehehe," jawab Sarji.

“Halah…mas yang bos itu temen mas, bukan mas Sarji,” jawabnya sinis.

“Iya bu, bentar lagi Sarji jadi bos di daerah sini,” terang Sarji berusaha membanggakan diri.

Sejenak mereka minikmati es teh manis dalam gelas kaca besar, sambil menunggu Ronald tiba. Segar dan nikmat rasanya, panas terik disuguhi dengan es tesh manis. Udin yang dari awal kurang setuju masih terus menggerutu, meragukan perkataan Ronald kemarin.

Tapi tidak dengan Sarji yang sudah 100 persen percaya dengan janji Ronald. “Sudahlah din kamu ikut saja, jangan menggerutu terus”. Dua gelas besar kosong mereka taruh di atas meja, minuman sudah habis.

Nampak di kejauhan mobil MPV hitam dari arah jalan besar masuk ke parkiran warung sederhana. Sarji nampak senang karena ia tahu mobil itu kepunyaan Ronald. Putaran roda ban mobil Ronald berhenti tepat di samping warung, ronald dengan semangat turun dari kendaraannya.

“Ayo ji, kita langsung berangkat saja sekarang,” kata Ronald yang tetap berdiri di samping mobilnya.

“Ayo nald,” sahut Sarji dengan langkah kakinya mendekati Ronald, disertai telapak tangannya memegang erat pergelangan tangan Udin dan menyeretnya untuk masuk ke dalam mobil.

Beggg…Beggg...beggg (suara pintu mulai tertutup dan ditarik dari dalam)

Mereka bertiga masuk ke mobil, dan Ronaldpun langsung bergegas menjalankan mobilnya ke jalan raya kembali. Sarji duduk di samping Ronald di depan, sedang Udin duduk di kursi tengah sendirian.

Saat mulai perjalanan Ronald membuka perbincangan di dalam mobilnya...

“Ji, kita jadi mampir ke rumahku dulu ya,” pinta Ronald.

“Terus kapan kita ke dukunnya Nald,” jawab Sarji.

“Nanti habis dari rumah, kita ke mbah dukun. Aku mau jenguk istri dulu Ji, soalnya sudah lama aku gak pulang. Sekalian udin sama kamu biar tahu kalau aku di rumah sudah kaya..hahahaha,” jelas Ronald.

“Ya sudah terserah kamu saja Nald,” sahut Udin yang duduk di belakang Sarji.

“Iya Nald gak papa,” jawab Sarji.

Mobil tetap dikemudikan Sarji menuju rumahnya ke arah barat provinsi. Perjalanan ditempuh sekitar 5 jam dari warung tadi. Merekapun harus sesekali berhenti untuk sekadar ngopi.

Setelah beberapa lama penantian di perjalanan, tibalah rombongan bertiga di rumah Ronald yang besar dan mewah.

Karena kesepakatan itu tidak hanya akan mengikat Sarji seorang, tapi juga semua anggota keluarganya sampai akhir hayat. Bukan persoalan main-main, sehingga harus dipikirkan dengan matang dan sudah dipertimbangkan dengan baik

“Njih mbah, dalem pun siap. Kinten-kinten dimulainipun ritual kapan nggih?” (iya mbah, saya sudah siap. Kira-kira dimulainya ritual kapan ya) Jawab dan tanya Sarji yang tak sabar dan sudah ingin cepat kaya.

“Sak iki ora popo le, sesajene ben di siapno kancamu Ronald. Pie nald?” (sekarang tidak apa-apa nak, sesajennya biar disiapkan temanmu ronald) Kata mbah Dirjo setelah memberi lampu hijau kepada Sarji, dan ia menoleh kearah Ronald untuk meminta persetujuanya untuk membantu Sarji.

“Injih Mbah, kulo siapaken” (iya mbah saya siapkan) Jawab Ronald.

Selesai kesepakatan, sekitar jam dua dini hari Ronald dan Udin kembali ke bawah untuk belanja kebutuhan ritualnya Sarji.

Waktu mau turun ke bawah mbah Dirjo berpesan “Nald, Ritual kancamu Sarji bakale mangan wektu kiro-kiro sodok sui. Dadi gawakno bekale mesisan”. (Nald ritual temanmu sarji akan mekan waktu lama, jadi bawakan bekalnya sekalian).

Ronald hanya mengangguk sebagai jawaban sepakat kepada mbah Dirjo. Kemudian mbah Dirjo langsung kembali pulang. Sedangkan Ronald dan Udin pergi untuk membeli perlengkapan yang disyaratkan.

Malam itu juga, Sarji menetap di pendopo dan mulai melakukan ritual bersemedi menghadap ke selatan. Mulai saat itu perjanjian Sarji untuk mencari kekayaan dunia sudah dimulai. Dan tidak ada kata mundur lagi bagi dia karena tekadnya sudah bulat.

Esok harinya, Ronald dan Udin kembali datang ke pendopo kecil dengan membawa sesajen lengkap. Susah payah dua orang teman Sarji ini membawa sesajen yang disyaratkan melalui jalan naik yang tidak mudah dan juga menguras tenaga.

Saat mereka berdua sampai di depan pendopo, ternyata Mbah Dirjo sudah menunggu dan tidak ada yang tahu dari jam berapa ia disana. Ronald menemui Mbah Dirjo dan langsung memberikan sesajen lengkap untuk memenuhi syarat ritual Sarji.

Setelah itu, mbah Dirjo dengan cekatan menata rapi sesajen didepan sarji yang sudah bersemedi sejak malam hari. Sejenak mereka bertiga melihat sarji yang sedang serius melakukan laku ritualnya.

Sarji tetap duduk bersila menghadap ke laut selatan tanpa menghiraukan kehadiran mereka bertiga. Terlihat Sarji sangat khusyuk menjalani ritual itu dan pancaran wajahnya menujukkan keseriusan niat untuk cepat kaya raya.

Akhirnya Ronald, Udin dan mbah Dirjo memutuskan untuk meninggalkan Sarji sendirian di pendopo. Mereka pergi kerumah mbah Dirjo di bawah lereng bukit. Rumah mbah Dirjo terbuat dari kayu biasa yang sederhana berukuran kecil dan nampak seperti rumah kuno, jauh dari kesan mewah.

Sampai didepan rumah, mereka langsung menuju ke teras rumah dan duduk di kursi kayu kusam yang tertata melingkat. Udin dan Ronald rehat sejenak sambil bercengkrama dengan Mbah Dirjo. Obrolan santai terus mengalir diantara mereka, sungguh akrab.

Pagi hari yang sangat sejuk dan menyenangkan. Selanjutnya Ronald dan Udin pamitan untuk pergi mencari sarapan. Kemudian dua orang ini beranjak pergi dari rumah Mbah Dirjo menuju ke Pasar di bawah. Memang selama Sarji masih melaksanakan ritualnya.

Ronald mengajak Udin untuk menemaninya. Hanya kata “iya” yang bisa diucapkan Udin untuk temannya.

Waktu terus berjalan, hari berganti hari dan siang berganti malam, semua harus dilalui Sarji. Sarji sudah tidak lagi menghiraukan kondisi apa pun yang ada di sekitarnya, hanya fokus untuk bisa bertemu dan bersekutu dengan sang ratu. Sang ratu pujaan yang akan membawa perubahan hidupnya.

Sedang kedua temannya harus naik turun untuk melihat serta mengawasi Sarji, baik pagi dan sore hari. Akhirnya, ritual Sarji sudah memasuki hari ke tujuh.

Pagi hari Sesuai perhitungan mbah Dirjo, malam itu ialah malam bulan purnama penuh. Mbah Dirjo memerintahkan Sarji untuk pergi ke pantai dan melanjutkan ritualnya disana. Sarji harus bersemedi di atas batu karang yang telah ditentukan oleh Mbah Dirjo, Sebuah batu karang yang langsung menghadap ke laut selatan.

Ketika malam telah tiba, Sarji bersiap-siap untuk turung bukit menuju ke tempat semedi baru. Dia harus turun bukit sendiri sambil membawa beberapa sesajen yang telah ditentukan oleh Mbah Dirjo.

Sekitar jam 8 malam, Sesajen di tata dengan rapi sekitar tempat semedi. Sarji mulai menaiki batu karang dengan penuh harap dan hati yang telah mantap. Dia lalu bersila dan melakukan ritual langsung menghadap pantai selatan diatas batu karang.

Malam semakin larut, Sarji tetap dalam semedinya. Sekitar jam dua belas malam, suasana disekitar tempat semedi mulai berbeda.

Sampai pada suatu keadaan dimana Sarji tidak bisa menyadari dia sedang berada di alam mana, nyata tau gaib.

Tubuh serta pikiran Sarji antara sadar dan tidak sadar mulai merasakan suatu cahaya yang terang dihadapannya. Secercah cahaya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Perlahan dan sangat hati-hati Ia mulai memberanikan diri untuk membuka kelopak mata.

Semakin lebar kelapa mata dibuka, semakin besar cahaya yang memancar didepan mata. Pancaran kilauan cahaya seperti kilauan emas yang tersebar dimana-mana, sungguh menakjubkan. Istana megah berhiaskan emas berkilau menerangi area semedi Sarji.

Dia yang masih duduk bersemedi merasakan dekatnya jarak antara dirinya dengan istana yang megah itu, sekitar tiga puluh meteran.

Ia mulai bangkit untuk berdiri, tubuhnya seakan ada yang memanggil untuk masuk kedalam istana.

Sarji berjalan pelan masuk kearah istana dengan mengamati keindahannya, sampai di istana matanya tetap melirik pemandangan kanan kiri. Setiap gerbang yang ada penjaganya dengan sigap langsung membuka pintu istana seperti kedatangannya sudah ditunggu.

Ia disambut suasana keraton yang tenang dengan bau harum tapi sedikit amis. Mata Sarji tak henti-hentinya melihat bangunan tinggi menjulang yang begitu megah dengan tiang-tiang besar berwarna keemasan.

Ukiran-ukiran yang melekat di semua istana Nyi Ratu begitu indah menghiasi setiap jengkal semua bangunan Nyi Ratu. Ketika langkahnya sampai di pintu istana ia melihat sosok Nyi Ratu yang berwibawa duduk diatas singgasana.

Disamping kanan kirinya terdapat masing-masing satu orang perempuan yang berpakaian serba hijau, berselendang hijau pula. Mereka berdua memegang kipas besar warna hijau yang diayunkan dari samping kepada sang ratu secara perlahan.

Sosok Nyi Ratu yang memakai kemben warna hijau, bawahan kain batik warna merah gelap sampai menutup kakinya. Sedang bentuk tubuh ular kuning keemasan melilit dibawah singgasananya. Dikanan kiri bahunya berbalut selendang hijau yang menjuntai ke bawah, sedang untaian kembang kantil yang menjulur tiga helai sampai ke perut.

Mata sang Ratu menatap tajam Sarji dari singgasananya, Sarji tetap berjalan dan mengamati bentuk singgasana yang berwarna kuning keemasan dengan pegangan tangan kanan kirinya berbentuk kepala ular.Masih dalam diam tertegun dan tercengang, Sarji berdiri tepat di hadapan Nyi Ratu.

Belum pernah Sarji jumpai di dunia istana sebesar dan semegah ini didunia nyata. Sampai akhirnya ia sadar sedang berada didalam istana Nyi Ratu, seketika itu juga sarji langsung duduk bersimpuh memelas dengan wajah penuh harap.

Sarji duduk membungkuk penuh harap kepada Nyi Ratu, dok: pixabay

Dari jarak yang dekat inilah ia benar-benar bisa melihat dengan jelas sosok sang Ratu, yang selama ini ia cari sesuai petunjuk Mbah Dirjo. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat seorang Nyi Ratu dengan paras wajahnya sangat cantik jelita, menawan, menggairahkan dan berkulit cerah seperti gadis yang masih baru berumur sembilan belas tahunan. Sang Ratu ini berambut hitam tergerai kebelakang sampai pinggang sedang diatas kepalanya dihiasi sebuah mahkota berwarna keemasan, dengan hiasan beberapa kepala ular diatas mahkotanya.

“Nyi….” Ucap sarji membuka pembicaraan dengan kepala setengah menunduk.

“Yo, aku wes ngerti karepmu (Ya saya sudah tahu maumu)” Jawab Tegas Nyi Ratu dengan suara lantang

“Mbalik’o muleh, siapno kamar siji seng khusus gawe aku. Sakben padang mbulan, awakmu kudu mujo aku neng kamar iku” (kembalilah pulang, siapno kamar satu yang khusus buat saya. Setiap bulan purnama, kamu harus memuja saya di kamar itu) Jelas Singkat Nyi Ratu Blorong

“Injih nyi” (Iya Nyi) Jawab Sarji dalam kondisi kepalanya tertunduk total kebawah.

Sarji yang merasa sudah berhasil ia berjalan mundur pelan dengan tubuh setengah membungkuk sampai ke tempat duduknya semula.

Ketika ia sudah duduk kembali dengan memejamkan matanya kembali, tiba-tiba keadaan berubah.

“Byuuuurrrrr” (hempasan ombak pantai yang mengenai tubuhnya)

Perasaan kaget dan bingung, Sarji langsung berdiri dan melihat sekeliling. Ia mengamati dengan seksama, ternyata ia sudah berada di pantai tepat dibawah karang. Setelah sadar ia sangat senang sudah kembali ke dunia nyata, dan ia juga merasa sudah berhasil bertemu dengan Nyi Ratu.

Perasaan bahagia atas keberhasilan ritualnya membuat dirinya langsung kembali dengan cepat ke pendopo,

Sampai di pendopo ia tak menemukan siapa pun, karena waktu sudah menjelang subuh. Sarji putuskan untuk langsung membersihkan diri di samping pendopo dan melanjutkan untuk istirahat sambil menunggu teman-temannya dan mbah Dirjo.

Pagi menjelang, sekitar jam tujuh pagi Sarji masih terlelap. Kedua temannya datang tanpa sepengetahuan Sarji, sedang Ronald dan Udin hanya menunggui sarji yang tidur disampingnya. Tak lama kemudian mbah Dirjo pun datang dan ikut duduk dengan mereka…

“Piye le hasile?(Gimana hasilnya)” Tanya mbah Dirjo

“Kirangan mbah, dalem dereng ngertos. Sarji nggih niki, tasek sare” (tidak tahu mbah, saya belum mengerti. Sarji ini, masih tidur) Jawab Ronald sambil menunjuk sarji yang masih tidur lelap disampingnya.

“Oh..ya wes, babahno cek turu sek” (Oh ya sudah biarkan biar tidur dulu) Jawab mbah Dirjo Tenang

Sambil menunggu bangunnya sarji mbah Dirjo mulai perbincangan bersama ronald dan udin. Beberapa jam kemudian Sarji terbangun dengan sendirinya, ia langsung duduk sambil menguap dan mengucek mata merahnya.

“Jam piro iki Nald” (jam berapa ini Nald) Tanya sarji

“Jam rolas ji, wes ndang raup disek kono”(Jam duabelas Ji, sudah cepet cuci muka dulu sana).Jawab Ronald

Dirjo kembali melanjutkan ceritanya, beberapa saat sarji kembali dan ikut duduk bersama didalam pendopo.

“Piye le, wes kasil?”(gimana nak sudah berhasil). Tanya Mbah Dirjo

“Sampun mbah, wau dalu kulo sampun ketemu nyi ratu. (sudah mbah, tadi malam saya sudah bertemu Nyi Ratu).

Selanjutnya Sarji menceritakan secara detail kepada mereka dari awal sampai akhir tentang kejadian bertemu dengan nyi ratu’.

“Wes maringene dang balik muleh, siapno opo sing dijaluk karo nyi ratu” (sudah habis ini cepat balik pulang, siapkan apa yang diminta sama Nyi Ratu). Perintah Mbah Dirjo

“Injih mbah, matur nuwun sanget” (Iya mbah, terima kasih banyak). Kata Sarji

“yo le, podo-podo” (ya sama-sama nak). Jawab mbah Dirjo

“Menawi ngonten, dalem nyuwun pamit wangsul sepindah njih mbah” (kalau begitu, saya minta ijin pulang sekalian mbah). Pinta Sarji

“yo wes, ngati-ngati neng dalan le”(Ya sudah, hati-hati di jalan nak). Jawab Mbah Dirjo

“Njih mbah” (Iya mbah). Jawab Sarji

Hari masih siang, tapi hawa dingin di gunung masih tetap sejuk menusuk tulang. Sarji dan kedua temannya langsung berkemas untuk segera pulang, setelah bersalaman dan memberi amplop kepada mbah Dirjo mereka langsung turun ke bawah menuju mobil.

Sampai di parkiran bawah, mobil Ronald tetap diisi tiga orang, Perjalanan dimulai dari jalan berbatu yang menggoyangkan isi didalamnya, sampai goyangan mereda di jalan beraspal.Ketiga orang yang berada dalam mobil masih terdiam,belum ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka.

Sarji duduk terdiam di jok depan, tatapannya kosong kedepan. Dalam lamunannya harapan kaya raya dan bahagia sarji mulai tertanam di otaknya. Tapi kenyataannya waktu itu, sarji masih miskin.

Lambat laun dari tempat duduknya yang berada di samping kemudi ia mulai tersadar akan kondisinya yang terkini, tatapan matanya mulai berisi…

(Tinnnn…tinnnn...tinnn,,,Ciiiittttt) suara klakson dan rem mobil Ronald mendadak membuyarkan lamunan Sarji dan Udin, mobil seketika dihentikan dengan spontan. Bersamaan dengan itu semua badan dan kepala yang berada didalam mobil terayun kedepan.

“Enek opo nald (ada apa nald)” Tanya sarji denga

n tatapan kaget terhenyak kepada Ronald,

sedangkan Udin hanya setengah berdiri berjongkok kedepan ikut melihat tanpa berkata apapun.

“Onok…, iku mau koyok ulo gede liwat (ada….itu tadi kayak ular bersar lewat)” Jawab Ronald tetap memandangi jalan beraspal yang sepi, tanpa ada mahluk apa pun

“Lha endi sak iki ulone (Lha mana sekarang ularnya)” Tanya Sarji mulai memperhatikan jalan di depannya

“Embuh, mau liwat neng ngarep kunu. Mlakune cepet, tapi kok wis gak enek ya (Gak tahu, tadi lewat didepan itu.

Jalannya cepat, tapi kok sudah tidak ada ya)” Jawab Ronald yang mematung dan tertegun

Selesai kejadian secara tiba-tiba itu, Ronald mulai melajukan kembali mobilnya dengan pelan-pelan di jalan beraspal, sedangkan sarji dan udin kembali duduk dengan tenang.

Mereka berdua memikirkan cara untuk membawa uang saat sampai di rumah. Sebab waktu itu mereka berdua benar-benar tak ada uang sama sekali di kantongnya.

"Nald, saya boleh pinjam uang?" tanya Sarji.

“Buat apa Ji?," jawab Ronald.

“Buat makan Nald, minggu kemaren tepatnya mau berangkat saya pamit ke istriku mau kerja di tempatmu," jelas Sarji dengan memelas.

“Terus,” ucap Ronald yang masih tegang karena habis melihat sosok ular yang tiba-tiba menghilang.

“Ya masa aku pamitnya kerja di tempatmu, selama satu minggu pulang tidak bawa uang Nald," jelas Sarji.

Ronald masih diam dan tetap mengemudikan mobilnya, ia tidak langsung memutuskan untuk memberi pinjaman. Dalam diamnya masih berpikir antara memberi pinjaman atau tidak, setelah beberapa menit ia menoleh ke arah Sarji di sampingnya sambil mengemudi.

“Butuh berapa kamu Ji?" tanya Ronald.

“Ya kalau bisa yang banyak Nald, masalahnya mau buat makan, bayar utang terus yang paling penting untuk mempersiapkan kamar sama perlengkapannya kanjeng Ratu," tegas Sarji lirih.

Udin di belakang hanya tiduran tak menanggapi serius pembicaraan mereka berdua. Hanya deru mobil yang terdengar jelas di telinganya, sedang matanya hanya memandangi dedaunan pohon-pohon menghijau dari dalam mobil.

“Dua puluh juta cukup Ji?" ucap Ronald tanpa banyak curiga kepada Sarji.

“Cukup Nald,” jawab Sarji dengan senyum melebar.

“Aku ya mau rek, kalau dipinjami uang. Aku kemarin pamitnya ke ibunya anak-anak kerja di tempatmu juga Nald," sahut Udin dari kursi belakang Ronald.

“Kamu ini Din ikut saja, apalagi kalau pembahasan utang-piutang mau langsung cair langsung ikut, kalau diajak berguru gak mau," jawab Ronald dengan ketus.

“Ya tidak boleh Din, ini Sarji sudah jelas pembayarannya. Lha kalau kamu gimana? masalahnya kamu tidak ikut berguru kepada Mbah Dirjo," Terang Ronald dengan jelas.

“Ya jelas nald, Pasti aku bayar Nald besok lusa kalau sudah punya uang,” jawab Udin dengan keyakinannya.

“Tidak bisa din, masalahnya Sarji ini pinjam uang karena sudah satu perguruan sama saya. Salah kamu sendiri tidak ikut berguru," tegas Ronald lagi dari kursi depannya.

“Anj*ng beneran kamu Nald, asli pelit kamu Nald. Lha, terus nasibku gimana ini?," keluh Udin yang sudah jengkel.

“Ya gak tahu din!!!" jawab Ronald cuek.

“Sudah gini saja Nald, tambahi saja pinjamannya. aku yang pinjam, yang bayar nanti aku saja. Udin nanti urusanku," jawab Sarji untuk menengahi perdebatan diantara mereka berdua.

“Begitu ya?" sahut Ronald.

“Ya...ya sudah, Nanti kalau sudah sampai rumahmu saja uangnya tak kasihkan kamu. Aku percaya sama kamu ji...hehehe," jawab Ronald.

Udin dan Ronald sempat memanas, dok: pixabay

Sekian jam perjalanan dan sekian kali berhenti untuk melepas lelah, beberapa jam kemudian mereka sampai dirumah Sarji pada malam hari. Ronald turun dari mobilnya dan berjalan kebelakang mobil, tangannya dengan cepat langsung mengambil tas ransel yang berisi penuh gepokan uang tunai.

Setelah mengambil beberapa gepok ia berjalan menemui Sarji yang masih di samping mobil dan memberikan uangnya kepada Sarji. Selesai itu Ronald langsung pamit ke kota, rencananya ia menginap di hotel karena pagi hari Ronald harus belanja dalam jumlah besar untuk menyuplai toko bangunannya, dan beberapa toko bangunan di daerahnya.

Sarji dan Udin masih berdiri di halaman rumahnya, Sarji sendiri yang habis mendapat pinjaman dari Ronald menepati janjinya kepada Udin. Saat mereka berjalan menuju rumah masing-masing, Sarji langsung memberikan uang pinjaman kepada Udin.

Tapi dengan perjanjian udin yang berhutang kepada sarji, Setelah itu mereka pulang kerumah masing-masing. Pagi yang cerah mewarnai rumah Sarji, karena ia telah mendapatkan uang banyak meski pinjaman.

Sarji memberikan sebagian uang kepada istrinya dan meminta persetujuan gudangnya dijadikan kamar khusus untuk ritualnya, dengan berbagai alasan serta bujuk rayunya akhirnya ia mendapat persetujuan sang istri juga.

Selanjutnya ia beralih menemui kedua orang tuanya yang sedang duduk-duduk dibelakang rumah, dengan basa-basi sebentar sambil Sarji memberikan uang kepada ayah dan ibunya.

Berbagai alasan ia utarakan, Sarji meminta gudangnya digunakan untuk ibadah khususnya karena diperintah sang guru, sejenak dalam diam kedua orang tua Sarji berpikir. Tapi akhirnya dengan berat hati orang tuanya menuruti keinginan anak semata wayangnya.

Setelah mendapat persetujuan dari semua penghuni rumah ia pergi ke rumah udin lewat pintu dapurnya.

[Sarji mengetuk pintu tanpa salam]

"Diin," panggil Sarji.

“Eh Mas Sarji mari masuk," tawar istri Udin.

“Mas udin di mana mbak, saya ada perlu sebentar," tanya Sarji

“Ini mas udin masih tidur di depan," jawab istri Udin sambil membersihkan kedua tangannya.

“Sebentar mas, saya bangunkan dulu," jawabnya istri Udin dengan berjalan kedepan.

“Ya, saya tunggu di belakang saja mbak," sahut Sarji

Beberapa menit kemudian Udin bangun, ia berjalan kebelakang rumah dengan bekas air yang masih menempel di wajahnya dan menemui Sarji di bawah pohon keres.

“Ada apa Ji? Pagi-pagi sudah cari aku," tanya Udin yang mulai duduk disamping Sarji.

“Din, awakmu kan iso nukang! Sak iki garapen gudangku seng ndek ngguri iku dadi kamar,” pinta Sarji.

“Lha, mau buat apa Ji," tanya Udin yang tak tahu tujuan Sarji.

“Buat tempat khusus ngaji buat aku din, aku disuruh mbah Dirjo waktu di gunung kemarin," terang sarji

“Oh begitu ceritanya. Ya sudah, hitung-hitung kemarin habis kamu beri pinjaman ayo dikerjakan sekarang, mumpung masih pagi," jawab Udin dengan bersemangat.

Saat itu juga mereka berjalan menuju gudang yang mau dijadikan kamar khusus. Dengan cekatan udin langsung membersihkan dahulu gudang berukuran 4x4, dengan satu jendela kecil sebagai sumber penerangan di siang hari dan sebagai sirkulasi udara.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel